Oleh Dr KH Arif Maftuhin, Dosen UIN Sunan Kalijaga
Dalam teologi kita, tidak semua orang dipilih Allah untuk menerima wahyu, dan tidak semua orang yang menerima wahyu mengabarkannya kepada orang lain.
Ada dua jenis penerima wahyu: nabi dan rasul. Seperti yang kita pelajari di kitab-kitab ilmu tauhid, ‘nabi’ hanya menerima wahyu untuk dirinya; sedangkan ‘rasul’ untuk didakwahkan. Pertanyaanya, mengapa para nabi tidak menyampaikan wahyu kepada orang lain?
Karena belum menemukan penjelasan dari kitab-kitab Tauhid semisal Nurul Zhalam (Imam Nawawi) atau Tuhfatul Murid (Baijuri), ijinkan saya memperhatikan dua hal. Pertama, karena tidak semua syariat Allah itu dapat dipahami oleh rata-rata manusia. Kedua, karena untuk menyampaikan ke orang lain diperlukan bahasa, ukuran, kepatutan, yang tidak semua nabi bisa memenuhi.
Anda pernah dengar cerita Nabi Khidir dan Musa kan?
‘Syariat’ yang diterima Nabi Khidr hanya bisa berlaku bagi seorang dirinya dan tidak bisa bagi orang banyak. Merusak perahu nelayan dan membunuh orang itu kalau diamalkan oleh orang banyak bisa kacau dunia ini. Tetapi Allah memerlukan orang-orang seperti Khidr ini agar syariat-Nya yang lebih luas, keadilan, bisa terwujud. Agar orang tua itu mendapatkan ganti anak yang saleh, dan agar si nelayan tidak dizalimi perompak, dibuatlah syariat yang secara lahirnya tidak bisa diterima ‘syariat generik’ Nabi Musa.
Di sisi lain, diperlukan Rasul Musa untuk menyampaikan syariat yang menata masyarakat secara umum, yang diajarkan kepada setiap orang. Dari ribuan Nabi, konon hanya ratusan yang diberi mandat sebagai Rasul. Hanya 25 yang kita tahu. Untuk menjadi rasul, yang menyampaikan ayat Tuhan kepada masyarakat, diperlukan empat syarat berat: siddiq, tabligh, amanah, dan fathanah. Nggak sembarang orang jadi rasul.
Rasul ini biasanya dari kaum mereka sendiri, agar paham bahasa kaumnya; agar ngerti tradisi kaumnya; sehingga wahyu bisa dipahami dengan baik oleh kaumnya dan dalam ukuran yang pas menurut akal kaumnya. Anda perhatikan, tidak ada kan ceritanya orang Arab tanya ke Nabi siapa itu “Allah”? Karena Nabi dan orang Quraisy sudah tahu persis tentang Allah.
Nah, bagaimana dengan kita? Selaras dengan tulisan saya sebelumnya tentang tidak mudahnya memahami Qur’an, mungkin kita perlu menahan diri dari peran sebagai ‘rasul’ penyampai firman Tuhan. Jangan mentang-mentang ada Hadits ‘Ballighu ‘anni walau ayah’ njuk semua orang diberi panggung kultum dan dipanggil ustadz. Hadits itu yang pasti ditujukan untuk para Sahabat Nabi! Bukan untuk kita. Kita sih siapa?