Alasan Prof Quraish Shihab Tak Mau Dipanggil Habib
“Ilmu saya belum dalam, akhlaq saya belum sesuai dengan yang diajarkan agama. Jadi tak usah pangil saya habib. Biar saya berjuang dulu.”
Itulah alasan Prof Quraish Shihab tak mau dipanggil Habib. Kalimat masyhur itu langsung disampaikan Prof Habib Quraish Shihab, cendekiawan muslim Indonesia yang diakui dunia. Kepakaran Prof Qurash dalam bidang Al-Quran dan tafsirnya bukan saja menjadi rujukan masyarakat Indonesia, tapi juga umat Islam di seluruh dunia. Gaya bicaranya santun, menyejukkan dan membuat hati tentram.
Banyak kalangan yang menilai, panggilan habib dan kiai seharusnya layak disandang Prof Quraish Shihab. Secara silsilah dan keilmuan, tidak ada yang meragukan Penulis Tafsir Al-Misbah ini. Namun secara pribadi, Mufassir yang dikenal luas ini tidak mau dipanggil habib dan kiai.
Kenapa?
Dalam buku “Cahaya, Cinta dan Canda Quraish Shihab” terbitan Lentera Hati yang ditulis oleh Mauluddin Anwar dan kawan-kawan, dijelaskan soal urusan habib dan kiai tersebut. Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ) ini hanya mau dipanggil habib oleh cucunya saja, karena lebih cocok berdasarkan artinya.
Di kalangan Arab-Indonesia, habib menjadi gelar bangsawan Timur Tengah yang merupakan kerabat Nabi Muhammad SAW (Bani Hasyim). Khususnya dinisbatkan terhadap keturunan Nabi Muhammad melalui Sayyidatina Fatimah Az-Zahra yang menikah dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Panggilan habib juga penanda Arab-Indonesia yang memiliki Moyang yang berasal dari Negeri Yaman, khususnya Hadhramaut. Kakek Prof Quraish Shihab, Habib Ali bin Abdurrahman Shihab berasal dari Hadhramaut.
Dalam Bahasa Arab, habib berakar dari kata cinta. Jadi habib berarti “yang mencintai” atau bisa juga “yang dicintai”. Tetapi kemudian maknanya berkembang menjadi suatu istilah, habib adalah orang teladan, orang baik yang berpengetahuan, dan seseorang yang mempunyai hubungan dengan Rasulullah.
Alasan kedua itulah yang membuat Quraish menolak dipanggil habib. Padahal, sebagai orang yang menghabiskan usia bergelut dengan ilmu pengetahuan, Quraish layak mendapat gelar itu. Quraish adalah profesor doktor bidang Ilmu Tafsir, hafal al-Quran, pernah jadi Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan mantan Menteri Agama. Tapi ia berkukuh tetap menolak. Semata-mata karena, “itu mengandung unsur pujian.”
Baginya, gelar habib tidak perlu diberikan kepada sembarang orang. Sebangun dengan gelar kesarjanaan, yang harus ada usaha untuk mendapatkannya, maka habib pun harus ada usaha, terutama dari akhlaknya. “Saya merasa, saya butuh untuk dicintai, saya ingin mencintai. Tapi rasanya saya belum wajar untuk jadi teladan. Karena itu saya tidak, belum ingin dipanggil habib,” kata Quraish merendah.
Apalagi, ada ajaran ayahnya, Habib Abdurrahman, agar tidak menonjolkan garis keturunan. Beliau enggan menggunakan gelar “Sayyid”, “Haji”, atau “Kiai”. Bahkan tidak juga gelar akademis. Ada sajak yang acap didendangkan Habib Abdurrahman dan ditulis dalam buku tersebut: Kami, kendati memiliki garis keturunan terhormat Tidak sekalipun mengandalkan garis keturunan Kami membangun sebagaimana leluhur kami membangun Dan berbuat serupa dengan apa yang mereka perbuat. Tidak hanya Prof Quraish, keluarga Shihab yang lain, seperti Umar Shihab dan Alwi Shihab pun sependapat.
Alwi lebih keras, menyebut ada “inflasi habib”, karena pemakaian yang tidak pada tempatnya. Bahkan sudah sampai pada tahap berkonotasi buruk, seperti didengar Quraish dari sopir taksi, saat ia terjebak macet akibat adanya pengajian yang menutup badan jalan. Maka mereka pun bersepakat, memakai gelar habib hanya sekadar sebutan untuk kakek.
“Karena kakek itu sangat mencintai cucunya, terkadang lebih dari cinta kepada anaknya. Cucu juga kadang-kadang lebih mencintai kakeknya daripada bapaknya,” kata Quraish.
Pesan lain dari penolakan itu untuk memberikan contoh keteladanan, siapa yang wajar diberi gelar kehormatan. Tak hanya sapaan habib, Prof Quraish juga emoh dipanggil “kiai”. Lagi-lagi alasan serupa, gelar itu jabatan yang sangat tinggi. Baginya, kiai berkonotasi ulama besar yang tulus. Tapi, diksi ‘besar’ itu bisa mengandung pujian. Sesuatu yang selalu ia hindari. Belum lagi, sebutan kiai juga mengalami inflasi, karena dipakai banyak orang yang berpotensi menurunkan makna sebenarnya.
Ia mencontohkan seseorang bergelar kiai atau ki, yang sedang dirundung masalah karena penipuan pengobatan alternatif.
“Jadi udah deh nggak usah repot-repot pangil saya habib atau kiai. Panggil saya ustadz saja,” katanya tergelak. Ia tak menolak, karena ustadz berarti guru, dan ia sejak belia sudah menjadi pengajar, dengan raihan tertinggi menjabat Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Demikian alasan Prof Quraish Shihab tak mau dipanggil Habib, sangat berharga untuk jadi pelajaran kita semua.
Data Singkat Prof Quraish Shihab
PENDIDIKAN :
– SD sampai dengan SMP di Sulsel,
– Pesantren Darul Hadis al-Faqihiyah, Malang, Jatim, 1956-1958
– Kelas dua I’dadiyah Al-Azhar Mesir, 1958-1963
– S1, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir dan Hadits, Universitas Al-Azhar, Mesir, 1963-1967
– S2, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir dan Hadits, Universitas Al-Azhar, Mesir, 1967-1969
– S3, Studi Tafsir Alquran, Universitas Al-Azhar, Mesir, 1980-1982
KARIER :
– Dosen IAIN Alauddin, Makassar, Sulsel
– Wakil Rektor Bidang Akademis dan Kemahasiswaan pada IAIN Alauddin, Makassar, Sulsel
– Koordinator Perguruan Tinggi Swasta Wilayah VII Indonesia Bagian Timur,
– Pembantu Pimpinan Kepolisian Indonesia Timur dalam Bidang Pembinaan Mental
– Dosen, Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Pasca-sarjana IAIN (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1984
– Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, sejak 1984
– Anggota Lajnah Pentashbih al-Qur’an Departemen Agama, sejak 1989
– Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional, sejak 1989
– Rektor IAIN Jakarta selama dua periode,1992-1996, dan 1997-1998
– Menteri Agama RI, 1998
– Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk negara Republik Arab Mesir
– Direktur Pusat Studi Al-Quran, Prof Dr. M. Quraish Shihab MA,2004- sampai sekarang
KARYA :
– Tafsir al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung Pandang, IAIN Alauddin, 1984)
– Menyingkap Tabir Ilahi; Asma al-Husna dalam Perspektif al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 1998)
– Untaian Permata Buat Anakku (Bandung: Mizan 1998)
– Pengantin al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 1999)
– Haji Bersama Quraish Shihab (Bandung: Mizan, 1999)
– Sahur Bersama Quraish Shihab (Bandung: Mizan 1999)
– Panduan Puasa bersama Quraish Shihab (Jakarta: Penerbit Republika,Nopember 2000)
– Panduan Shalat bersama Quraish Shihab (Jakarta: Penerbit Republika, September 2003)
– Anda Bertanya, Quraish Shihab Menjawab Berbagai Masalah Keislaman (Mizan Pustaka)
– Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab Seputar Ibadah Mahdah (Bandung: Mizan, 1999)
– Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab Seputar Al Qur’an dan Hadits (Bandung: Mizan, 1999)
– Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab Seputar Ibadah dan Muamalah (Bandung: Mizan, 1999)
– Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab Seputar Wawasan Agama (Bandung: Mizan, 1999)
– Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab Seputar Tafsir Al Quran (Bandung: Mizan, 1999)
– Satu Islam, Sebuah Dilema (Bandung: Mizan, 1987)
– Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama, 1987)
– Pandangan Islam Tentang Perkawinan Usia Muda (MUI & Unesco, 1990)
– Kedudukan Wanita Dalam Islam (Departemen Agama)
– Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Kedudukan Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994)
– Lentera Hati; Kisah dan Hikmah Kehidupan (Bandung: Mizan, 1994)
– Studi Kritis Tafsir al-Manar (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996)
– Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996)
– Tafsir al-Qur’an (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997)
– Secercah Cahaya Ilahi; Hidup Bersama Al-Qur’an (Bandung; Mizan, 1999)
– Hidangan Ilahi, Tafsir Ayat-ayat Tahlili (Jakarta: Lentara Hati, 1999)
– Jalan Menuju Keabadian (Jakarta: Lentera Hati, 2000)
– Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an (15 Volume, Jakarta: Lentera Hati, 2003)
– Menjemput Maut; Bekal Perjalanan Menuju Allah SWT. (Jakarta: Lentera Hati, 2003)
– Jilbab Pakaian Wanita Muslimah; dalam Pandangan Ulama dan Cendekiawan Kontemporer (Jakarta: Lentera Hati, 2004)
– Dia di Mana-mana; Tangan Tuhan di balik Setiap Fenomena (Jakarta: Lentera Hati, 2004)
– Perempuan (Jakarta: Lentera Hati, 2005)
– Logika Agama; Kedudukan Wahyu & Batas-Batas Akal Dalam Islam (Jakarta: Lentera Hati, 2005)
– Rasionalitas al-Qur’an; Studi Kritis atas Tafsir al-Manar (Jakarta: Lentera Hati, 2006)
– Menabur Pesan Ilahi; al-Qur’an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Lentera Hati, 2006)
– Wawasan al-Qur’an Tentang Dzikir dan Doa (Jakarta: Lentera Hati, 2006)
– Asmâ’ al-Husnâ; Dalam Perspektif al-Qur’an (4 buku dalam 1 boks) (Jakarta: Lentera Hati)
– Sunnah – Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?; Kajian atas Konsep Ajaran dan Pemikiran (Jakarta: Lentera Hati, Maret 2007);
– Al-Lubâb; Makna, Tujuan dan Pelajaran dari al-Fâtihah dan Juz ‘Amma (Jakarta: Lentera Hati, Agustus 2008)
– 40 Hadits Qudsi Pilihan (Jakarta: Lentera Hati)
– Berbisnis dengan Allah; Tips Jitu Jadi Pebisnis Sukses Dunia Akhirat (Jakarta: Lentera Hati)
– M. Quraish Shihab Menjawab; 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui (Jakarta: Lentera Hati, 2008)
– Doa Harian bersama M. Quraish Shihab (Jakarta: Lentera Hati, Agustus 2009)
– Seri yang Halus dan Tak Terlihat; Jin dalam al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati)
– Seri yang Halus dan Tak Terlihat; Malaikat dalam al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati)
– Seri yang Halus dan Tak Terlihat; Setan dalam al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati)
– M. Quraish Shihab Menjawab; 101 Soal Perempuan yang Patut Anda Ketahui (Jakarta: Lentera Hati, Maret 2010)
– Al-Qur’ân dan Maknanya; Terjemahan Makna disusun oleh M. Quraish Shihab (Jakarta: Lentera Hati, Agustus 2010)
– Membumikan al-Qur’ân Jilid 2; Memfungsikan Wahyu dalam Kehidupan (Jakarta: Lentera Hati, Februari 2011)
– Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW, dalam sorotan Al-Quran dan Hadits Shahih (Jakarta: Lentera Hati, Juni 2011)
– Do’a al-Asmâ’ al-Husnâ (Doa yang Disukai Allah SWT.) (Jakarta: Lentera Hati, Juli 2011)
– Tafîr Al-Lubâb; Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah Al-Qur’ân (Boxset terdiri dari 4 buku) (Jakarta: Lentera Hati, Juli 2012), dan lain-lain.
Karya Prof Quraish sangat banyak, bukti keulamaan yang tak terbantahkan. Semua merindukan sosok Prof Quraish, karena perkataan dan tindakannya selalu menjadi rujukan setiap umat. (Mukhlisin)
Demikian Alasan Prof Quraish Shihab Tak Mau Dipanggil Habib. Semoga bermanfaat.