Oleh: Abdul Adzim Irsad, alumnus Universitas Ummul Qura Makkah, tinggal di Malang.
Sebuah kisah yang sarat dengan makna, pagi-pagi, Rabu 12 Agustus 2015, rumah saya kedatangan seorang tamu dari Trenggalek. Beliau adalah teman waktu ngaji di Abuya Sayyid Muhammad Al-Maliki Makkah. Beliau sudah menjadi seorang Kyai, dengan nama lengkap KH Bahrul Munir Al-Hafid (hafal Al-Quran juga hafal Nadhom Alfiyah). Beliau asal Jember, tetapi di ambil mantu oleh Kyai Mahmud Trengalek.
Pagi-pagi, saya ngobrol ngalor-ngidul seputar pendidikan yang cocok dan tepat untuk masa depan anak-anak. Tidak menyadari, tiba-tiba saya dan Bahrul Munir membincangkan Muktamar NU yang telah berlangsung di Jombang. Sangat asyik dan menarik, sekaligus menegangkan proses pemilihan ketua NU.
Dalam perbincangkan itu, kami berdua berkisah tentang kehadiran Mbah Maimoen Zubair dalam Muktamar NU yang kebetulan merupakan guru dari Bahrul Munir. Setiap even NU, sudah pasti ada Mbah Maimoen Zubair. Seolah-olah, Mbah Maimoen pada tahun 2015-2019 menjadi kekuatan NU. Bukan karena sepuhnya, tetapi memang ilmunya, zuhud, serta budi pekertinya mencerminkan seorang Kyai yang sangat mencintai NKRI.
Tiba-tiba Bahrul Munir bercerita bahwa dirinya pernah mijeti (memijat) Mbah Maimoen Zubair waktu di Rubath Jawa (tempat berkumpulnya santri-santri Nusantara di Makkah). Merupakan sebuah kenikmatan sekaligus kebanggaan tersendiri ketika seorang santri mendapatkan kehormatan bisa mijeti Guru dan Kyainya.
Saat asyik mijeti Mbah Maimoen Zubair, tiba-tiba Bahrul Munir mbatin (terbesit dalam hatinya) tentang Gus Dur (KH Abdurahman Wahid). Tiba-tiba Mbah Maimoen Zubair langsung berkata, “Aku ngak wani dengan Gus Dur karena beliau itu titisane Mbah Muhammad Hasyim Asy’ari.” Artinya “saya tidak berani sama sekali kepada Gus Dur, karena beliau itu titisan dari KH Hasyim Asy’ari”.
Betapa kaget dan terperanjatnya Bahrul Munir terhadap apa yang disampaikan oleh seorang ulama, faqih, muhaddis yang bernama Mbah Maimoen Zubair.
Terbukti, ketika Gus Dur wafat, Mbah Maimoen sendiri yang hadir dan mentalkin. Juga, menjadi rujukan para ulama dan Kyai Nusantara. Hingga sekarang, makam KH Abdurahman Wahid benar-banar memberikan berkah tersendiri bagi masyarakat setempat. Bisa dikatakan KH Abdurhaman Wahid menjadi Sunan Tebu Ireng. Setiap bulan, kotak amal yang dihasilkan mencapai ratusan juta.
Beliau juga selalu hadir saat tahlilan dan khoulnya KH Abdurahman Wahid. Seolah-olah Mbah Maimoen Zubair ingin berkata kepada orang-orang yang dengan mudah mengeluarkan kata “sesat” atau “kafir” terhadap Gus Dur, bahwa Gus Dur itu tidak seperti yang dikira mereka.
Bahwasanya kehadiran Mbah Maimoen Zubair itu menjawab bahwa Gus Dur itu bukanlah seperti yang dikira oleh sebagian orang yang suka “menyesatkan”. Sejak Mbah Maimoen Zubair selalu hadir pada setiap tahlilan Gus Dur, orang-orang yang sok suci, menganggap Gus Dur sesat itu akhirnya semakin terbuka, walaupun kebencian terhadap Gus Dur itu masih ada. Itu masih wajar-wajar sajalah.