Akibat Bertengkar Ditanah Suci, Jema’ah Tak Melihat Ka’bah

Akibat Bertengkar Ditanah Suci, Jema'ah Tak Melihat Ka'bah

Kisah Akibat Bertengkar Ditanah Suci, Jema’ah Tak Melihat Ka’bah.

Oleh: KH Helmi Hidayat, petugas haji dan dosen UIN Syarif Hidayatullah.

Sambil membaca salam dan salawat atas Nabi Muhammad SAW, sekitar 40 orang berseragam petugas haji Indonesia 2019 membuat lingkaran kecil.

Mereka berjalan berputar pelan-pelan untuk bersalaman, saling memohon maaf atas segala kesalahan yang sangat mungkin mereka lakukan selama bertugas di Madinah. Sebagian berpelukan erat lama sekali, sambil batin masing-masing berdialog dalam linangan airmata dan kesedihan. ‘’Maafkan saya jika ada salah selama bekerja ya …,’’ kata salah seorang di antara mereka dengan mata berkaca-kaca.

Ini bukan acara perpisahan. Ini hanya sebuah konsolidasi batin yang dilakukan para petugas haji Sektor II Daerah Kerja (Daker) Madinah, sehari menjelang mereka diberangkatkan ke Mekkah. Semua petugas haji di Daker Madinah memang diperbantukan ke Mekkah setelah semua jemaah haji Indonesia dari Madinah diberangkatkan ke Mekkah. Di musim haji 2019, semua petugas haji Daker Madinah dikonsentrasikan di Mina, petugas Daker Bandara dikonsentrasikan di Arafah, sedang petugas haji Daker Mekkah dikonsentasikan di Muzdalifah.

Gagasan konsolidasi batin yang mengharukan dan dilakukan di tengah rapat kerja itu datang dari Kepala Sektor II Madinah, Dr. Muhammad Rusdi Umar. Dialah yang bahkan mula-mula mendatangi satu demi satu anak buahnya untuk meminta maaf secara lisan. Maklum, di tengah ritme kerja yang sangat padat di Madinah, ada saja gesekan kecil di antara sesama petugas. Apalagi Matahari Arab lebih galak, di siang hari suhunya bisa mencapai 50’ Celcius. Sedikit gesekan saat bekerja di bawah terik Matahari bisa mendongkrak suhu emosi.

‘’Kita ke Mekkah memang untuk bertugas, tapi sebagian besar kita ada juga yang bertugas sambil berhaji,’’ kata staf Kakanwil Kemenag Sulawesi Selatan itu tentang konsolidasi batin yang digagasnya. ‘’Saya khawatir jika kita berhaji tak meminta maaf pada kawan-kawan, di tanah suci segala hal tak terduga bisa terjadi.’’

Saya termasuk yang berkeliling bersalam-salaman sambil memohon maaf pada kawan-kawan. Diam-diam saya mengintip pelukan erat beberapa kawan. Saya menduga, mungkin mereka pernah terlibat sedikit ‘’konslet’’. Tapi, sore itu sesungguhnya saya tak melihat kejadian ‘’sangat ajaib’’ dari acara konsolidasi batin itu sampai akhirnya Iptu Amiruddin, petugas perlindungan jemaah (Linjam), mendatangi saya di kamar. ‘’Tolong pak konsultan ibadah, dua kawan kita perempuan tak mau maaf-maafan,’’ kata kepala urusan personalia Sumda Polres Metro Bekasi ini Kota ini dengan wajah serius.

‘’Ah yang bener?’’ kata saya.

‘’Bener, salaman aja gak mau,’’ tegas polisi lulusan pesantren ini.

Wah, bahaya ini, pikir saya. Allah menegaskan bahwa saat berhaji, seorang hamba tak boleh bicara jorok, tak boleh berbuat maksiat, juga tak boleh berkelahi atau bertengkar (QS Al-Baqarah: 197). Maka buru-buru saya putuskan memanggil kedua perempuan itu secara terpisah. Petugas pembinaan ibadah Arif Rahman duduk mendampingi saya ketika saya menggali informasi dari keduanya. Tentu saja mereka mengajukan argumentasi yang menguntungkan diri masing-masing dan itu wajar belaka. Saya tak peduli toh saya bukan hakim. Tugas saya hanya mengembalikan persaudaraan di antara mereka.

Tapi, dari pengakuan mereka, saya merasa ego mereka sama besarnya dengan argumentasi mereka. Keduanya merasa benar dan karena itu merasa tak perlu minta maaf lebih awal. Ini jelas mengkhawatirkan kalau semuanya tak mau mengalah. Akhirnya, setelah sedapat mungkin merayu mereka agar saling bermaafan, tak ada jalan lain saya melepas ‘’bom nuklir’’ sebagai senjata terakhir. ‘’Bom nuklir’’ itu adalah peringatan mungkin saja mereka tak bisa melihat Kabah gara-gara bertengkar seperti kisah nyata yang saya ungkapkan kepada mereka berikut ini:

Pada 2015, saya dipercaya oleh Habibie Tour and Travel di Jakarta untuk menjadi pembimbing ibadah umrah. Setelah tiga hari beribadah di Masjid Nabawi, kami bertolak ke Mekkah dengan selamat. Dengan penuh kerinduan ingin segera bersujud pada Allah di hadapan Kabah, kami memasuki gerbang Masjid Haram di hari pertama kunjungan kami ke kota suci itu. Hati saya bergetar melihat Kabah dari kejauhan, rasanya ingin segera tenggelam dalam tangis di sekeliling kubus hitam itu. Tapi, saya tahan langkah jemaah saya setelah memasuki Masjid Haram beberapa langkah, saya arahkan agar mereka membaca doa melihat Kabah dulu sebelum tawaf.

Lanjut baca kisah selain Akibat Bertengkar Ditanah Suci, Jema’ah Tak Melihat Ka’bah di sini

Maka, ketika semuanya berkumpul di dekat saya lalu mengangkat tangan membaca amin atas doa yang saya bacakan, tiba-tiba salah seorang di antara mereka setengah berteriak::

‘’Pak ustaz, maaf, Kabah kok gak ada? Saya tak melihat Kabah!’’

Hah? – saya seperti disambar petir. ‘’Yang bener pak?’’ tanya saya.

Setelah berkali-kali melihat ke posisi Kabah dia tetap gagal melihat kubus hitam yang dibangun Nabi Ibrahim itu, saya sadar, ada problem mistis pada jemaah saya yang satu ini. Doa bersama saya urungkan, semua jemaah saya bawa keluar masjid. Di halaman masjid, mereka saya perintahkan membuat lingkaran kecil sambil berpegangan tangan. ‘’Bapak dan ibu sekalian, saya mohon tolong semua energi kita konsentrasikan ke langit, mari berdoa dan memohon ampun pada Allah buat kita semua terutama buat saudara kita yang tak bisa melihat Kabah ini.’’

Saya berdoa sambil memejamkan mata sepenuh hati sampai lupa bahwa kami sedang membuat lingkaran di halaman Masjid Haram. Untung tak ada asykar masjid mengusir kami. Usai berdoa, dengan berdebar-debar saya masuk kembali ke masjid suci itu, khawatir jemaah saya ini tetap gagal melihat Kabah. Maka, begitu saya mulai membacakan doa melihat Kabah pelan-pelan, tiba-tiba jemaah saya ini berteriak girang:

‘’Pak Ustaz, itu Kabah. Itu Kabah. Hitam warnanya!’’

Saya menangis. Saya terharu. Sulit saya ungkapkan dengan kata-kata kegembiraan saya kala itu …

Tapi esoknya ujian buat lelaki ini tak berhenti. Ketika kami sedang asyik sarapan, tiba-tiba dia mengabarkan bahwa istrinya sudah beberapa jam hilang. Kami panik, apalagi dia minta dengan sangat agar ‘’Jakarta’’ tak boleh tahu peristiwa ini – dia tak mau keluarganya tahu. Tapi, di tengah kebingungan dan kepanikan, tiba-tiba justru ‘’Jakarta’’ menelepon dia mengabarkan di mana posisi istrinya.

Rupanya, dalam kondisi linglung, istri lelaki ini ‘’dibawa’’ seorang lelaki tak dikenal ke sebuah tempat tersembungi dengan menggunakan kursi roda. Untungnya dalam kondisi setengah sadar, sebelum hal terburuk terjadi atasnya, dia teringat anak-anaknya di Jakarta lalu menelepon mereka. Inilah pertolongan Allah padanya. Maka jadilah, justru dari informasi ‘’Jakarta’’ ini kami tahu di mana posisi perempuan yang sedang kami cari.

Usai dua kejadian ajaib itu, barulah lelaki yang kemarin gagal melihat Kabah ini mengaku bahwa sejak dari Madinah sebenarnya dia dan istrinya sedang bertengkar. Perang tutup mulut suami istri ini terus berlanjut di bus ketika mereka sudah mengenakan pakaian ihram, bahkan ketika mereka sudah sampai di Mekkah. Jadi, ketika masuk ke Masjid Haram, mereka sebenarnya sedang bertengkar dan itu sangat dilarang oleh Allah SWT.

Kedua perempuan kawan saya yang bertengkar di Madinah tercenung mendengar cerita saya. Si A bengong, si B juga termenung ketika saya dua kali bercerita di hadapan mereka secara terpisah. Apalagi di akhir cerita saya tegaskan begini: ‘’Saya menceritakan kisah ini di tanah suci Madinah, tak mungkin saya bohong atau mengarang-ngarang cerita. Anda mau tak melihat Kabah gara-gara bertengkar kayak lelaki itu?’’

Maka, ketika si B mengangguk tanda mau berdamai, saya panggil si A yang sebelumnya lebih awal menyatakan mau berdamai. Si B tetap menunduk di atas tempat tidur ketika si A datang, tapi kemudian menatap wajah kawannya dengan penuh senyum. Saya dan Arif Rahman kemudian menyaksikan pertemuan romantis dua perempuan bersaudara dalam Islam, yang seolah telah bertahun-tahun tak berjumpa ini. Mereka berpelukan dengan hangat, mereka saling berbisik dengan lembut. Wajah mereka ceria, apalagi kemudian saya membaca salam dan salawat atas Nabi di sela perjumpaan yang mengharukan itu.

Azan Maghrib tak lama menggema ketika saya merasakan dari dada mereka kembali mengalir cinta, dari hati mereka kembali mengalir kasih. Tuhan, izinkan kami melihat Kabah, rumah-Mu di muka bumi, dan biarkan kami menangis kepada-Mu di tengah berjuta diosa yang mengepung kami …. …

__________
Semoga artikel Akibat Bertengkar Ditanah Suci, Jema’ah Tak Melihat Ka’bah ini dapat memberikan manfaat untuk kita semua, amiin..

simak artikel selain Akibat Bertengkar Ditanah Suci, Jema’ah Tak Melihat Ka’bah di sini

simak video terkait di sini

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *