Akhlaq Kiai Nafi’ Abdillah Kajen yang Penuh Ketawadluan

Ini Penjelelasan Makna Barokah Menurut KH Nafi' Abdillah Kajen Pati

Semenjak pagi setelah resmi mendengar kemangkatan beliau, dada serasa sesak, guruku satu persatu telah ditimbali kundur keharibaan yang maha Esa. Mulai pagi ini pula, tulisan dan gambar tentang beliau beredar banyak sekali di medsos.

Aku menahan diri tidak menulis. Namun aku baca seluruh tulisan yang muncul terkait beliau. Akhirnya, aku tidak kuat untuk tidak ikut meramaikan penulisan tentang beliau yang aku ketahui dan rasakan semenjak aku menjadi santri beliau. 

Ingatan saya yang masih jelas tentang beliau adalah ketawadlu’an dan kesopan santunan yang sudah menjadi bagian dari kehidupannya. Saat aku di kelas 2 Aliyyah, beliau mengampu Mustholah Hadis, saat hataman diakhir tahun, beliau menangis didepan kelas, dihadapan kami sembari Dawuh dalam bahasa has Jawa Kajen medok yang maksudnya:

“Aku tidak pantas mengajar kamu, karena aku tidak sesuai dengan kriteria sebagai seorang muallim karena itu, maafkan aku” demikian Dawuh beliau ditengah isak tangisnya.

Peristiwa itu sudah terjadi diera tahun 1980 an saat beliau masih sebagai guru yang relatif masih muda, karena waktu itu masih ada generasi sepuh, semisal Romo Kyai Rifai Nasuha, Romo Kyai Hasir juga masih ada Mbah Abdullah Salam.

Dan ternyata ajaran ketawadlu’an beliau masih tetap diajarkan kesaya, saat beliau sudah memegang tongkat estafet kepemimpinan di Kajen pasca Mbah Sahal Mahfudz.

Masih gamblang dalam ingatan saya, saat acara 1000 hari Mbah Sahal. Ketika beliau Mbah Nafi’ ini rawuh di halaman depan rumah Mbah Sahal, beliau tidak mau pinarak di dalam rumah bersama para Kyai yang lain. Maka aku berusaha mendekati dan Sungkem ta’dzim dengan cara Mushofahah, sembari aku matur; “diatur pinarak wonten lebet”.

Jawaban beliau, merupakan hadiah ilmu yang sulit dinilai harganya bagiku: “Masak aku pinarak di dalam, sementara sebentar lagi guruku rawuh, Mbah Maemun Zubair Sarang, ora pantas Yak”

(Ya Allah matur nuwun, telah Engkau karunia aku dengan Guru mulia.)

Sehingga selama acara itu, beliau berdiri didepan ndalem Mbah Sahal memerankan diri sebagai penerima tamu, berjajar dengan adik beliau, Gus Zakki. Meskipun akhirnya Mbah Maemun karena kondisi kesepuhannya tidak jadi hadlir, Mbah Nafi’ tetap menunggu di depan ndalem, sebagai bentuk ta’dzim terhadap sang Guru.

Ya Allah lapangkan jalan beliau menuju Ridlo-Mu. Dan berkahi kami para santri dengan ketabahan untuk bisa mewarisi ilmu ilmunya.

19 Februari 2017.

Penulis: Abdullah Khoirzad.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *