Abu Nawas Mengubur Hati Nurani.
Sudah seminggu ini Abu Nawas heran melihat tingkah lelaki yang baru sepekan lalu menetap di kampungnya. Setiap salat berjamaah di masjid, baik siang maupun malam, dia selalu membawa dua obor. Lelaki itu juga selalu buru-buru meninggalkan masjid begitu salat selesai, tak pernah sekali pun dia mau duduk berlama-lama berzikir bersama jemaah.
Apa pekerjaan lelaki itu sampai dia tak punya waktu buat berzikir berjamaah di masjid, guman Abu Nawas. Usai salat Magrib ini, Cendekiawan Baghdad itu bertekad akan mencegat lelaki itu di depan pintu. Dia ingin buru-buru bertanya apa maksud dia selalu bawa obor ke masjid dan mengapa dia seperti antisosial, tak mau duduk berlama-lama berzikir bersama.
Usai salat Magrib, giliran Abu Nawas buru-buru bangun dari duduk lalu berdiri menghalangi pintu. Dengan tegang dia menunggu orang aneh itu keluar masjid. ‘’Ya sayyidi, duduk sebentar, ada yang mau saya tanya,’’ ujar Abu Nawas sopan kepada lelaki aneh yang membuatnya penasaran itu. ‘’Anda selalu membawa dua obor setiapkali ke masjid dan selalu pulang cepat-cepat. Boleh saya tahu mengapa?’’
‘’Nama saya Nashiruddin. Dua obor itu adalah simbol dua pengawal hidup saya agar saya tidak terjerumus ke dalam jurang kezaliman.’’
‘’Saya tidak paham,’’ sergah Abu Nawas.
‘’Obor itu kan penerang. Dia adalah nur, cahaya yang menerangi jalan saya. Satu obor adalah ‘nur’, dua obor adalah ‘nurani’. Obor pertama adalah akal sehat saya, obor kedua adalah ajaran agama yang saya yakini. Jika keduanya selalu berjalan beriringan, mereka menjadi nurani buat saya.’’
‘’Lalu mengapa Anda selalu terburu-buru meninggalkan masjid usai salat? Saya tak pernah melihat Anda berzikir bersama kami di masjid ini.’’
‘’Saya buru-buru pulang justru karena saya ingin cepat-cepat salat sunat dan berzikir di rumah. Zikir di masjid ini terlalu pendek. Saya terbiasa berzikir minimal 10.000 kali setiap usai salat,’’ jawab Nashiruddin tenang.
‘’Apa? Zikir 10.000 kali setiap usai salat?’’ Abu Nawas kaget.
‘’Tuan, sudahlah jangan menanyaiku lagi. Menjawab pertanyaan dengan baik adalah perintah agama, maka satu obor saya tetap menyala,’’ kata Nashiruddin menunjuk kedua obornya yang ia gantungkan di punggung unta. ‘’Tapi ketika saya menyebut angka 10.000 tadi, terus terang, ada rasa bangga dalam diri saya. Ujub dan riya’, itulah yang membuat satu obor saya mati. Makanya saya tak pernah mau berzikir bersama lalu salat sunat di masjid ini, saya khawatir satu obor saya mati.’’
Usai menjawab seperti itu, Nashiruddin ingin cepat berlalu, tapi Abu Nawas menahan dadanya. ‘’Guru, jangan pergi dulu,’’ kata Abu Nawas memelas kepada guru yang baru dikenalnya ini. ‘’Satu pertanyaan lagi, dalam situasi seperti apa kedua obor guru akan mati?’’
Dengan lembut dan matanya menatap tajam ke arah mata Abu Nawas, Nashiruddin yang baru diangkat jadi guru spiritual oleh sastrawan Baghdad itu menjawab:
‘’Ketika Anda membunuh ibu kandung sendiri, di situlah kedua obor hidayah yang kita miliki mati. Membunuh berarti melawan ajaran agama, membunuh ibu kandung berarti melawan akal sehat. Ketika Anda membunuh ibu kandung sendiri, membunuh dokter yang merawat Anda, membunuh guru yang mengajari Anda, menolak pemakaman jenazah perawat atau dokter yang terkena wabah penyakit hanya karena otak tolol Anda menduga wabah itu akan menulari Anda padahal mereka sudah dikubur dengan cara yang aman, di saat itulah nurani Anda mati!’’
Nashiruddin lalu beranjak pergi, Abu Nawas ternganga sambil berdiri.
Tanpa diduga, Magrib itu dia mendapat penjelasan tentang hati nurani yang sangat indah. Sekarang dia paham mengapa lelaki aneh itu selalu membawa dua obor ke mana pun dia pergi, baik siang maupun malam.
Abu Nawas kemudian kembali duduk bersama jamaah, berzikir berjamaah seperti yang kerap ia lakukan usai salat. Setelah itu ia membaca al-Quran, juga seperti yang biasa ia lakukan usai salat Magrib. Ketika sedang membaca kita suci ini sambil bersila, Abu Nawas merasa seperti ada yang memperhatikannya. Ia melirik sejenak. Benar, seorang lelaki tengah memperhatikannya dengan wajah kagum, seperti menikmati bacaan Abu Nawas. Penyair Baghdad ini kemudian meninggikan suaranya, berharap lelaki itu semakin mengagumi dirinya.
‘’Wahai Abu Nawas yang saleh, bacaan Quran Anda indah sekali. Apakah setiap hari Anda membaca Quran seperti ini di sini?’’ tanya lelaki yang memperhatikannya itu.
‘’Ya benar. Jika tadi tidak menemui seseorang di depan pintu, saya bisa membaca lebih banyak lagi. Biasanya saya membaca lebih dari satu juz usai salat Magrib,’’ jawab Abu Nawas sumringah.
‘’Wahai Abu Nawas, ketahuilah bahwa tadi saya menguping percakapan Anda dengan lelaki aneh itu di depan pintu,’’ kata lelaki ini dengan lembut. ‘’Menurut saya, dengan cara Anda membaca Quran tinggi-tinggi begitu Anda sadar saya memperhatikan Anda, dan kini Anda dengan bangga menjelaskan bahwa Anda kerap membaca Quran sampai berjuz-juz, satu obor Anda sudah mati. Mengaji firman Allah yang suci itu berarti mencoba memahami bahasa komunikasi Zat tak terlihat tapi Maha Suci, lalu mempraktekkannya dalam bentuk akhlak sehari-hari, bukan untuk dijadikan objek bernyanyi-nyanyi. Anda baru saja mengubur obor Anda sendiri … ’’
Lelaki itu bangun dari duduk lalu pergi, Abu Nawas ternganga sambil duduk.
Abu Nawas tersadar, kali ini ternyata ia bukan murid spiritual yang baik. Baru saja dia mendengarkan petuah indah dari Nashiruddin tentang nurani, tiba-tiba saja ia telah memadamkan satu nur dalam dirinya. Obor akal sehatnya telah dikalahkan oleh hawa nafsu, ia ingin dipuji, tinggal satu obor agama yang masih menyala dalam dirinya.
Esok ketika Subuh tiba, jamaah masjid heran tidak melihat Abu Nawas salat di masjid. Saat Zuhur tiba, mereka celingukan mencari Abu Nawas. Waktu salat Ashar, jamaah mulai bertanya, Abu Nawas sakit? Maka, Ketika salat Maghrib dan Isya tiba Abu Nawas tak tampak juga di masjid, jamaah mulai resah. Selama ini mereka terhibur dengan ‘’nyanyian’’ Abu Nawas saat membaca Al-Quran.
Barulah, dua hari setelah Abu Nawas menghilang dari masjid, penduduk Baghdad geger. Abu Nawas ditemukan tergeletak di kuburan dengan dua obor yang masih menyala. Rupanya dia pingsan karena dua hari tidak makan dan tidak minum, bertafakkur di tanah kuburan itu. Khalifah Harun Al-Rasyid, yang kaget mendengar berita itu, memerintahkan orang-orang membawa Abu Nawas ke istana.
‘’Abu Nawas, kamu sudah gila bertapa di kuburan dengan dua obor itu?’’ tanya khalifah ketika sang pujangga telah sehat kembali.
‘’Tidak, paduka, hamba hanya ingin mengubur kedua obor ini di kawasan pemakaman itu. Tapi tak mungkin hamba mengubur mereka hidup-hidup. Jadi, hamba tunggu sampai keduanya benar-benar mati. Satu obor hamba sudah mati, tapi satu obor lainnya masih hidup. Saat menunggu satu obor lainnya mati inilah hamba keburu pingsan,’’ jelas Abu Nawas.
‘’Abu Nawas, semoga kali ini kamu tidak sedang gila … ‘’
Penulis: Helmi Hidayat, dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
__________
Semoga artikel Abu Nawas Mengubur Hati Nurani ini dapat memberikan manfaat dan barokah untuk kita semua, amiin..
simak juga artikel selain Abu Nawas Mengubur Hati Nurani Sendiri di sini
simak juga video terkait di sini