Zonasi Sekolah: Penolakan Tak Punya Landasan Teori (02)

ainul yaqin lakpesdam

Setelah mendiskusikan dasar hukum pelaksanaan sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pada tulisan pertama, tema diskusi yang penting lainnya adalah landasan keilmuan dari sistem zonasi maupun sistem “Grouping By Ability”.

Sebagai seorang guru, orang tua murid atau ahli pendidikan, baik yang setuju atau tidak pada sistem zonasi, mendiskusikan landasan keilmuan dari dua sistem penerimaan siswa itu sangatlah penting.

Kenapa diskusi landasan keilmuan ini penting, jawabannya, agar kita tidak berbicara atas dasar asumsi dan pendapat pribadi yang belum teruji. Jujur saja, tidak mudah mencari alasan keilmuan yang ilmiah yang dapat digunakan untuk mendukung sistem penerimaan non-zonasi.

Karena tidak ditemukan alasan keilmuan yang kuat untuk tidak setuju pada sistem zonasi, maka kondisi tersebut memudahkan bagi yang setuju zonasi untuk mematahkan argumentasi mereka yang tidak setuju.

Namun demikian, meskipun para pihak yang tidak setuju dengan sistem zonasi tidak dapat menjelaskan secara ilmiah alasan keilmuan mereka, kita tetap perlu mengulas kajian akademis yang mempunyai kemiripan yang sama atas “kepercayaan” dan asumsi bahwa anak dengan nilai tinggi layak dikumpulkan dalam satu sekolah.

Ada tiga tema kajian yang perlu diulas di sini yaitu tema tentang IQ atau teori Intellegence Quotient-nya Alfred Binet (1916), tes IQ ala Goddard (1912) dan Growth Mindset nya Carol Dweck (2006).

1) Intellegence Quotient Alfred Binet

Teori IQ pertama kali diperkenalkan Alfred Binet (1916) lebih dari 100 tahun lalu. Teori ini awalnya dirancang justru untuk mengidentifikasi dan memberikan perhatian pada anak-anak yang membutuhkan perlakuan khusus alias mereka yang mendapat nilai tes IQ rendah.

Akan tetapi, masyarakat justru salah pengertian pada tujuan awal teori tes IQ ini. Selama ini ada anggapan dari masyarakat awam bahwa tes IQ adalah segalanya dan orang dengan IQ tinggi harus diperlakukan dengan khusus.

Pada dasarnya, Alfred Binet sejak awal sudah khawatir bahwa teori pengukuran IQ nya ini akan disalahkangunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab sehingga anak-anak yang mendapat skor rendah dalam tes IQ dianggap tidak cerdas dan kemudian disingkirkan.

Padahal, menurut Alfred Binet, kecerdasan seseorang dipengaruhi oleh berbagai macam faktor termasuk lingkungan dan latar belakang keluarga, budaya dll.

2) Teori Goddard

Selain teori Alfred Binet ini. Ada studi kontroversial yang dilakukan oleh psikolog terkenal Henry Herbert Goddard.

Goddard (1912) pernah menerapkan tes IQ sebagai prasarat untuk para imigran yang akan masuk ke Amerika Serikat. Hasilnya, para imigran, selain dari Eropa Utara, mempunyai IQ rendah.

Kajian dan kebijakan imigrasi yang didasari oleh kajian Goddard ini kemudian ditentang oleh banyak kalangan ilmuan lainnya karena alat ukur tes IQ tidak mempertimbangkan keragaman bahasa dan latar belakang budaya.

Kebijakan atas hasil tes Goddard ini kemudian dinilai menimbulkan masalah rasisme modern dan diskriminasi terhadap ras, etnis dan kelompok tertantu di Amerika.

Bahkan, tes Goddard ini menimbulkan dampak lebih buruk lagi yaitu diterapkannya kebijakan sterilisasi terhadap orang-orang difabel di Amerika Serikat waktu itu.

3) Teori “Growth Mindset”

Dalam perkembangannya, peneliti dan psikolog dari universitas Stanford, Carol Dweck, menjelaskan selama ini ada salah pengertian di antara para orang tua yang memahami bahwa IQ seseorang dianggap bawaan sejak lahir, tidak berubah (Fixed Mindset) dan akan seperti itu sepanjang hidupnya.

Sebaliknya, hasil penelitian Dweck menunjukkan bahwa kemampuan atau kecerdasaan seseorang itu selalu berkembang (Growth Mindset) apabila diberi motivasi dan bimbingan yang tepat.

Penelitian Dweck ini dilakukan dalam beberapa tahun pada sebuah kelas Matematika di salah satu sekolah di Amerika Serikat. Hasilnya, di tahun terakhir, anak-anak dengan IQ biasa namun terus diberi motivasi yang kuat oleh guru dan orang tua untuk terus belajar dan bekerja keras selalu mendapatkan kenaikan prestasi pelajaran matematika dari tahun ke tahun.

Sedang anak-anak dengan IQ tinggi yang diberi kepercayaan bahwa mereka cerdas justru mengalami penurunan prestasi.

Dalam proses belajar mengajar, anak-anak dengan IQ biasa saja namun diberi motivasi dan bimbingan yang tepat justru berani melakukan usaha dan tidak takut melakukan kesalahan.

Sebaliknya anak-anak dengan aku tinggi terlalu percaya diri, akibatnya mereka menjadi terlalu berhati-hati dan takut melakukan kesalahan dan terbebani oleh pikirannya yang dikataan anak cerdas.

Demikianlah, sulit mencari dasar keilmuan yang kuat untuk mendukung sistem penerimaan siswa berdasarkan nilai tertinggi ke dalam satu sekolah atau “Students Grouping By Ability”, karena memang sistem itu tidak sesuai dengan prinsip dasar pendidikan.

Selama ini, yang terjadi pada sistem non-zonasi hanya sebatas mengumpulkan anak-anak dengan input nilai tinggi yang didapat dari jenjang sekolah sebelumnya ke dalam satu sekolah. Kemudian, sekolah tersebut meluluskannya dengan nilai yang tinggi pula.

Dalam kondisi yang demikian, seperti yang saya tulis dalam penutup tulisan pertama kemarin, anak-anak yang nilainya rendah akan terus berkumpul dengan anak-anak yang nilainya rendah. Mereka akan terus terperangkap ke dalam sekolah dengan nilai rendah. Sungguh sebuah kebijakan yang egois apabila hal seperti itu terus terjadi.

Penulis: Dr KH Ainul Yaqin, Ketua Lakpesdam PWNU DIY dan Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *