Yang Tidak Bersedih atas Wafatnya Seorang Alim, Maka Ia Adalah Munafik
Oleh KH Ahmad Nadhif Abdul Mujib, Tayu Pati Jawa Tengah.
Dalam kitab Fathul Bari karya Imam Ibn Hajar Al Asqollany disebutkan:
وَفِي اَلنَّسَائِيِّ وَابْن حِبَّانَ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ عَنْ أَنَسٍ ” قَدِمَ اَلنَّبِيُّ صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَلْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا ، فَقَالَ : قَدْ أَبْدَلَكُمْ اَللَّهُ تَعَالَى بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا : يَوْم اَلْفِطْرِ وَالْأَضْحَى “
Yang artinya bahwa dalam sunan An-Nasai serta Ibnu Hibban dengan sanad yang shahih dari Sahabat Anas bin Malik RA dinyatakan: Nabi Muhammad SAW ketika datang ke Madinah pertama kali Beliau menjumpai penduduk kota tersebut memiliki dua hari di mana mereka bersenang-senang dan bermain.
Kemudian Rasul bersabda, “Sungguh Allah telah mengganti kedua hari itu dengan dua hari yang lebih baik yaitu Idul Fitri dan Idul Adlha”.
Riwayat itu bisa menjadi pijakan bahwa hari Raya itu memang hari baik. Dan karena hari raya itu adalah baik, maka sudah sepantasnya jika hari raya itu merupakan hari kebahagian, suka cita dan penuh keceriaan. Dalam berbagai riwayat disebutkan Nabi menyerukan membayar zakat fitrah dengan alasan « أغنوهم عن المسألة فى هذا اليوم » buatlah mereka kaum papa itu kaya dan tidak butuh meminta-minta di hari ini.
Jelaslah bahwa kesemuanya itu menunjukkan jika memang hari raya adalah hari kebahagiaan dan keceriaan. Karena itu orang-orang Arab suka mengucapkan “Id sa’id”, hari raya yang berbahagia. Dan memang demikianlah bahwa kebahagiaan di hari raya itu mestinya merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan sama sekali.
Akan tetapi hadirin dan hadirat Rohimakumullah, suasana gembira di hari raya Idul Adha tahun ini ternyata telah dikehendaki Allah untuk diiringi dengan kesedihan kita yang sangat amat mendalam atas wafatnya salahsatu guru kita, murobbir ruuh, seorang manusia yang dinyatakan oleh para ulama Salaf dengan pernyataan:
لولا المربي ما عرفت ربي
“Jika tidak karena guru, aku tak akan mengenal Tuhanku”.
Sedemikian mahapenting kehadiran Sang Guru, sehingga kewafatannya memang merupakan peristiwa yang layak disebut sebagai mahamusibah. Karenanya, benar sekali sebuah hadits berbunyi:
مَوْتُ الْعَالِمِ مُصِيبَةٌ لا تُجْبَرُ، وَثُلْمَةٌ لا تُسَدُّ وَنَجْمٌ طُمِسَ، مَوْتُ قَبِيلَةٍ أَيْسَرُ مِنْ مَوْتِ عَالِمٍ
Artinya: “Meninggalnya ulama adalah musibah yang tak tergantikan, dan sebuah kebocoran
yang tak bisa ditambal. Wafatnya ulama laksana bintang yang padam. Meninggalnya satu suku lebih ringan bagi saya daripada meninggalnya satu orang ulama” (HR al-Thabrani dalam Mujam al-Kabir dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman dari Abu Darda’)
Hadirin hadirat Rohimakumullah,
Mari kita lebih cermati secara mendalam hadits Baginda Nabi itu, sepenggal demi sepenggal.
Penggalan pertama adalah: مُصِيبَةٌ لا تُجْبَرُ bahwa kewafatan seorang Alim adalah musibah yang tak tergantikan.
Kita selama ini meyakini bahwa karena Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, maka Allah adalah Maha Pemberi. Dan karena Allah Maha Pemberi, maka Allah akan selalu memberikan ganti terhadap sesuatu yang hilang, dalam hal ini musibah. Akan tetapi terbaca jelas oleh kita dari hadits di atas, bahwa kewafatan seorang Alim adalah musibah yang tak tergantikan. Seolah-olah kita membaca sebuah kaidah bahwa setiap musibah pasti ada gantinya KECUALI musibah wafatnya seorang Alim.
Dengan memiliki pemahaman seperti ini, kita memang sudah seharusnya sangat bersedih dan kemudian prihatin akan musibah yang sedang diturunkan Allah kepada kita saat ini. Dari sinilah kita kemudian juga membaca hadits yang lain:
{مَنْ لَمْ يَحْزَنْ لِمَوْتِ العَالِمِ، فَهُوَ مُنَافِقٌ مُنَافِقٌ مُنَافِقٌ} قالها ثلاث مرات
Barangsiapa yang tidak bersedih atas kewafatan seorang alim, maka ia adalah munafik, munafik, munafik.
Mari kita garis bawahi hadits terakhir ini, di mana Rasulullah mengucapkan kata munafik sampai tiga kali. Ini tentu bukan sembarangan. Ini tentu meniscayakan perenungan yang lebih mendalam. Apalagi jika kemudian kita baca penafsiran Ibnu Abbas terhadap salah satu firman Allah:
أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا نَأْتِي الْأَرْضَ نَنْقُصُهَا مِنْ أَطْرَافِهَا وَاللَّهُ يَحْكُمُ لَا مُعَقِّبَ لِحُكْمِهِ وَهُوَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami, Allah, mendatangi daerah-daerah/bumi-bumi lalu kami kurangi daerah-daerah itu sedikit demi sedikit”.
Dalam menafsiri kalimat “kami kurangi daerah-daerah itu sedikit demi sedikit”, Ibnu Abbas berkata: “Itu artinya Allah mengurangi bumi ini dengan memanggil para kekasihnya satu persatu!
Hadirin hadirat Rohimakumullah
Penggalan hadits yang kedua adalah:
وَثُلْمَةٌ لا تُسَدُّ وَنَجْمٌ طُمِسَ
Bahwa kewafatan seorang alim adalah laksana kebocoran yang tidak bisa ditambal dan juga laksana bintang yang hilang.
Penggalan kedua ini oleh para pensyarah hadits dinyatakan sebagai penjabaran dan sekaligus penegasan atas penggalan yang pertama. Seolah-olah hadits tersebut bisa dimaknai sebagai berikut: bahwa karena kewafatan seorang alim adalah musibah yang tak tergantikan, maka upaya untuk menggantikan posisi ulama yang telah wafat adalah merupakan suatu kemustahilan!
Hal ini sudah seharusnya semakin menambah keprihatinan kita. Dalam kehidupan sehari-hari, kita semakin merasakan bahwa kelangkaan para ulama memang semakin memperkeruh kondisi keberagamaan kita. Sudah bukan rahasia lagi bahwa sudah sejak lama muncul para dai yang tidak berkompetensi keilmuan agama yang cukup.
Selebriti dua hari bisa menjelma sebagai seorang ustadz dan penceramah agama. Bahkan muallaf kemaren sore dengan mudahnya menjadi penceramah dengan ratusan ribu audiens dan pengikut. Atau mantan kelompok timses calon tertentu dan pekerja politik dengan tendensi kepentingan pribadi atau kelompok, kepentingan perusahaan atau konglomerasi, dengan serta merta menggelar pertemuan yang diberi judul ijtima’ ulama secara berjilid-jilid.
Fakta ini tidak boleh kita lewatkan begitu saja. Kelangkaan para ulama telah membuat mereka yang bukan ulama berani dengan lantang dan tanpa malu-malu mengaku sebagai ulama.
Belum lagi konten-konten keagamaan yang ditawarkan oleh mereka dengan bahasa-bahasa milenial yang lugas dan dibungkus dengan logika-logika menyesatkan yang sangat berbahaya.
Kita ambil satu contoh sederhana misalnya soal berjabat tangan setelah sholat berjamaah yang dikatakan sebagai tindakan bida’h yang sesat oleh para ulama karbitan itu. Mereka memakai logika yang terlihat indah sebagai berikut: Kalau Berjabat tangan setelah sholat itu adalah perbuatan baik, maka mengapa Rasulullah tidak mengajarkannya waktu Beliau masih hidup? Adapun ketika Rasulullah tidak mengajarkannya, maka berjabat tangan itu adalah tidak baik dan jangan dilakukan setelah sholat. Begitu logika mereka.
Padahal jawabannya mudah. Padahal untuk membongkar kesesatan logika keagamaan mereka itu sangat amat sederhana. Namun yang terlanjur terbawa dan menjadi pengikut mereka semakin hari semakin bertambah banyak.
Bahwa Rasulullah tidak mengajarkan berjabat tangan setelah sholat bukan berarti berjabat tangan adalah buruk.
Nyatanya, Rasul juga tidak mengajarkan kita MENGUMPULKAN ALQUR’AN KE DALAM SATU MUSHAF. Dan nyatanya, mengumpulkan satu mushaf adalah keniscayaan yang sangat amat positif dan nyata berguna hingga hari kiamat. Demikian juga dengan berjabat tangan, di mana ia tetap positif dilakukan setelah berjamaah sholat asal tidak mengganggu orang yang sedang wirid, sebab ketika kita sholat , secara ideal kita harusnya melupakan hubungan apapun dengan sesama manusia. Ketika kita sholat, yang boleh ada hanyalah hubungan dengan Allah. Maka itu artinya ketika sholat kita sejenak harus memutus silaturrahim dengan sesama. Nah makanya setelah sholat, mari segera kita sambung kembali silaturrahim itu dengan berjabat tangan.
Yang seperti ini mungkin mereka masih tetap bertanya: jika berjabat tangan itu positif, tetapi mengapa Nabi tidak mengajarkannya waktu Beliau masih hidup? Jawabannya sangat amat sederhana: Nabi tidak mengajarkannya waktu itu karena para Sahabat adalah kelompok generasi terbaik yang memilki pemahaman tingkat tinggi sehingga persoalan berjabat tangan tidak perlu diajarkan Baginda Nabi waktu itu.
Hadirin hadirat Rohimakumullah,
Itulah sekedar contoh yang paling sederhana dari kesesatan pemikiran para agamawan masakini yang memang jauh sekali kredibilitas keulamaan mereka namun ternyata mereka lantang berani mengaku-ngaku sebagai ulama.
Ada juga pemikiran mutakhir mereka yang kembali didengung-dengungkan yaitu soal SERUAN NKRI BERSYARIAH yang pada dasarnya juga wajib kita tolak setegas-tegasnya, sama persis seperti seruan khilafah sebagai ganti dari NKRI. Hal ini semestinya juga harus kita jelaskan pada kesempatan ini. Namun tidaklah bijak jika khutbah ini terlalu panjang melebihi kewajaran.
Pada akhirnya, hadits di atas memang sangat benar, bahwa kita mesti semakin prihatin dengan musibah kepergian seorang alim ulama. Keprihatinan dan kesedihan itu bisa kita tuangkan dalam bentuk sikap positif seperti: menambah kewaspadaan terhadap kajian-kajian keagamaan masakini yang semakin marak terutama di medsos-medsos dan bahkan di masjid-masjid yang mulai disusupi oleh kalangan mereka.
Di samping itu juga mari kita masukkan putera-puteri kita ke lembaga-lembaga pendidikan keagamaan yang memilki akar kesejarahan yang kuat, bukan lembaga-lembaga baru yang kini semakin menjamur dengan menawarkan program-program unggulan seperti tahfidh Alqur’an dan kajian praktis agama yang tidak berakar kepada methodologi penggalian ilmu-ilmu agama yang teruji sepanjang sejarah. Naudzubillahi min dzalik.