Waktu Subuh Tidak Perlu Berubah

Waktu Subuh Tidak Perlu Berubah

Waktu Subuh Tidak Perlu Berubah.

Oleh: Muh Ma’rufin Sudibyo, Lembaga Falakiyah PBNU dan anggota International Crescent Observations Project (ICOP), sebuah lembaga khusus pengamat hilal international.

Sejak 2010 hingga sekarang telah banyak periset muda Nahdliyin yang berkecimpung menyelidiki fenomena cahaya fajar (fajar shadiq). Hampir semuanya bekerja dalam sunyi dan nyaris tanpa publikasi, didorong sikap ta’zhim kepada para kyai dan masyayikh falakiyah yang juga relatif tenang dalam menghadapi isu awal waktu Subuh di Indonesia dalam sedasawarsa terakhir. Meski isu tersebut belakangan terasa kian provokatif. Dari kerja keras mereka, untuk saat ini kita bisa mengetahui bahwa awal waktu Subuh di Indonesia tidak perlu berubah. Tinggi Matahari minus 20º sebagai patokan awal waktu Subuh memiliki landasan ilmiahnya.

Waktu shalat ditentukan oleh kedudukan Matahari, baik pada shalat wajib maupun sunat. Lebih spesifik lagi, waktu shalat didasarkan pada berkas cahaya Matahari yang diterima / tidak diterima oleh satu titik di muka Bumi, baik secara langsung maupun tidak. Misalnya shalat gerhana Matahari, ditentukan oleh melemahnya intensitas sinar Matahari akibat penutupan oleh bundaran Bulan. Demikian halnya shalat Gerhana Bulan, yang ditentukan oleh melemahnya sinar Matahari yang dipantulkan paras Bulan akibat penghalangan bola Bumi.

Begitu pula pada awal waktu Subuh, bundaran Matahari pun tidak terlihat sama sekali. Hanya pendar cahayanya yang telah menyentuh ufuk timur saja yang menjadi penanda. Pendar cahaya tersebut mewujud sebagai cahaya fajar atau fajar shadiq (eastern twilight). Awal waktu Subub terjadi manakala cahaya fajar tepat menyentuh ufuk timur sehingga membentuk panorama garis tipis keputih–putihan yang membentang ke utara–selatan.

Fenomena ini membentuk kondisi gholas dalam waktu Subuh sebagaimana tersebut dalam sabda Rasulullah SAW dari Aisyah RA. Dalam kondisi gholas maka cahaya fajar yang awalnya tipis membentang perlahan–lahan mulai menebal, namun intensitas cahayanya belum sanggup menerangi jalan–jalan dan pemukiman. Sehingga seseorang yang menunaikan shalat Subuh di Masjid Nabawi saat itu (sebagai masjid beratap terbuka dan tanpa penerangan), tidak bisa mengenali wajah orang lain disamping kiri dan kanannya.

Ciri cahaya fajar

Cahaya fajar adalah produk pembiasan cahaya Matahari saat melewati lapisan–lapisan atmosfer. Udara yang menyelimuti paras Bumi tidaklah homogen di setiap ketinggian. Kerapatan terbesar molekul–molekul udara terdapat di lapisan troposfer, yang membentang hingga ketinggian 20 km di atas kawasan khatulistiwa. Di atas lapisan troposfer, kian tinggi maka kerapatannya kian merenggang. Sehingga praktis untuk ketinggian lebih dari 120 km sudah mendekati hampa udara.

Perbedaan kerapatan udara ini menyebabkan atmosfer Bumi memiliki sifat optis tertentu. Maka dapat membiaskan / membelokkan berkas cahaya. Maka berkas cahaya Matahari yang seharusnya hanya menyentuh pucuk atmosfer akan terbiaskan demikian rupa saat melewati lapisan demi lapisan udara hingga akhirnya bisa tiba di paras Bumi. Kita melihatnya sebagai cahaya yang membentang horizontal (mendatar) mengikuti ufuk timur.

Selain cahaya fajar, khasanah ilmu falak juga mengenal adanya cahaya zodiak atau fajar kadzib (zodiacal light). Cahaya zodiak sesungguhnya juga merupakan cahaya Matahari, namun tiba di paras Bumi tidak melalui proses pembiasan. Melainkan pemantulan. Jadi tata surya kita dipenuhi oleh debu–debu antarplanet berukuran mikron yang bertebaran dimana–mana meski kerapatannya sangat rendah. Debu–debu antar planet ini sanggup memantulkan / menghamburkan cahaya Matahari hingga tiba di paras Bumi.

Berbeda dengan cahaya fajar, cahaya zodiak jauh lebih lemah dan memendar dalam struktur yang berbentuk mirip segitiga dengan tinggi segitiga mengikuti kedudukan garis ekliptika. Cahaya zodiak muncul dalam 2 hingga 3 jam sebelum kemunculan cahaya fajar dan terus meninggi di atas ufuk timur hingga akhirnya cahaya fajar tiba. Intensitas caha zodiak demikian lemah sehingga dapat disetarakan dengan pendar Bima Sakti yang bisa dilihat laksana kabut di langit malam pada tempat–tempat cukup gelap selama musim kemarau. Ilmu falak menyebut cahaya zodiak sebagai fajar semu, kebalikan dari cahaya fajar yang merupakan fajar nyata.

Penyelidikan cahaya fajar merupakan bagian tak terpisahkan dari penelitian atmosfer Bumi sejak berabad–abad silam. Sedari awal, kemunculan cahaya fajar dikaitkan dengan tinggi Matahari di bawah ufuk timur. Atau disebut juga sudut depresi Matahari. Ada 12 pendapat terkait tinggi Matahari untuk kemunculan cahaya fajar. Ibn Yunus (wafat di Mesir 1009 M), salah satu ahli falak terbesar pada masanya, berpendapat tinggi Matahari tersebut adalah minus 19º. Karya Ibn Yunus sangat menarik perhatian, karena dia adalah salah satu cendekiawan pertama yang mencoba mengukur ketebalan dan sifat optis atmosfer. Berabad berikutnya Ibn Syatir (wafat di Suriah 1375 M) melalui penelitiannya juga menghasilkan tinggi Matahari minus 19º. Sedangkan al–Hasan al–Marrakushi (wafat di Marakesh abad ke–13 M) menyebutkan tinggi Matahari saat awal waktu Subuh adalah minus 20º.

Kinerja dari trio ibn Yunus, ibn Syatir dan al–Hasan al–Marrakushi menunjukkan bahwa tinggi Matahari minus 19º hingga minus 20º sudah dikenal Umat Islam sejak masa Abbasiyah. Bukan nilai yang dicangkokkan penjajah Inggris manakala menguasai Mesir di abad ke–19 M sebagaimana klaim satu kelompok.

Penelitian cahaya fajar modern

Klaim waktu Subuh di Indonesia terlalu awal mulai didengungkan lebih dari satu dasawarsa silam. Dan belakangan klaim tersebut terus berevolusi. Sebuah lembaga riset dari Jakarta yang berlandaskan ratusan data pengamatan mencoba meneguhkan klaim tersebut dengan menyatakan awal waktu Subuh di Indonesia terlalu cepat hingga 26 menit. Dengan kata lain, menurut lembaga ini tinggi Matahari untuk awal waktu Subuh di Indonesia seharusnya bernilai minus 13,5º.

Pada masa kini penelitian cahaya fajar memang telah berkembang jauh sehingga tak lagi hanya mengandalkan pandangan mata yang sifatnya subyektif. Kini penelitian tersebut bisa memanfaatkan aneka instrumen pengindra terang gelapnya langit guna memperoleh data kuantitatif. Mulai dari SQM (sky quality meter) yang mengukur langsung ke dalam besaran angka–angka, hingga kamera yang memproduksi citra/foto dimana setiap citra dapat diubah menjadi angka–angka melalui proses pengolahan tertentu.

Sejumlah peneliti Nahdliyin muda pun turut berkecimpung dalam hal ini. Bekerja dalam sunyi. Misalnya upaya Gus Basthoni dan Lembaga Falakiyah PCNU Gresik (2019) mengambil lokasi P. Bawean (Jawa Timur). Bersenjatakan SQM dan kamera, penelitian mereka berhasil mengidentifikasi baik fajar semu maupun fajar nyata dan menyimpulkan cahaya fajar muncul pada tinggi Matahari minus 19,7º. Gus Basthoni juga menyelenggarakan penelitian mandiri di Kep. Karimunjawa (Jawa Tengah) dengan instrumen serupa. Dan mendapati cahaya fajar muncul pada tinggi Matahari minus 19,9º

Selanjutnya Lembaga Falakiyah PCNU Gresik (2020) yang digawangi KH Muhyidin Hasan dan KH Abdul Moeid berupaya menggelar penelitian lain mengambil lokasi Banyuwangi (Jawa Timur). Selama tiga bulan SQM dan kamera dari penelitian memproduksi data melimpah. Dari 37 data, 17 data diantaranya menunjukkan cahaya fajar terdeteksi pada tinggi Matahari minus 20º.

Temuan–temuan tersebut senada dengan Ning Nihayatur Rohmah (2010–2014), perempuan tangguh yang merintis penelitian cahaya fajar hanya dengan menggunakan kamera pada sejumlah lokasi di pulau Jawa. Dari 20 data yang diperolehnya, 7 data diantaranya menunjukkan cahaya fajar terdeteksi saat tinggi Matahari minus 20º atau lebih.

Data–data tersebut menunjukkan tinggi Matahari minus 20º sebagai awal waktu Subuh yang selama ini dipedomani memiliki landasan ilmiah yang kukuh. Jadi waktu Subuh di Indonesia tidak perlu berubah. Sudah waktunya masalah waktu Subuh ini tak perlu dibuat ramai lagi.

*Opini berjudul “Waktu Subuh Tidak Perlu Berubah” ini adalah pendapat pribadi.

Gambar 1.

Cahaya fajar (fajar shadiq) produk pengamatan Ning Nihayatur Rohmah, Madiun, 2010 TU.

Waktu Subuh di madiun

 

Gambar 2.

Kurva kecerlangan langit yang diindra instrumen SQM dalam pengamatan LF PCNU Gresik di Banyuwangi, 2020 TU.

Kurva kecerlangan langit yang diindramayu

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *