Ushul Fiqh 3, Sejarah Lahirnya Fiqh-Ushul Fiqh

al wajiz fi ushul fiqih

Oleh: Dr Jamal Ma’mur Asmani, Dosen Ushul Fiqh IPMAFA Pati

Lahirnya Fiqh

Sebuah ilmu lahir biasanya tanpa nama. Substansi ilmu itu berjalan dan mengakar kuat di masyarakat. Ketika realitas mendistorsi substansi tersebut, maka simbol nama baru dibutuhkan untuk keperluan afirmasi dan koreksi terhadap distorsi yang terjadi. Fiqh dan ushul fiqh tidak lepas dari tesis ini.

Bacaan Lainnya

Abdul Wahab Khalaf dalam kitab Ilmu Ushul al-Fiqh علم اصول الفقه menjelaskan, pertumbuhan fiqh berbarengan dengan pertumbuhan Islam (نشاْت احكام الفقه مع نشاْة الاسلام). Islam adalah kumpulan dari akidah, akhlak, dan hukum amali (praktis). Hukum amali ini pada era Rasul dibangun dari hukum yang ada dalam al-Qur’an dan dari hukum yang disampaikan Nabi, baik berupa fatwa Nabi dalam satu peristiwa, keputusan Nabi dalam suatu permusuhan, atau jawaban Nabi terhadap pertanyaan. Dari periode Nabi ini, hukum fiqh dibangun dari hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya. Sumber hukum para era ini ada dua, yaitu: al-Qur’an dan sunnah Nabi (ومصدرها: القراْن والسنة).

Pada era sahabat, bermunculan realitas dan peristiwa baru yang belum ada pada era Nabi. Maka, para sahabat yang sudah mencapai posisi ahlul ijtihad (pakar ijtihad) melakukan ijtihad untuk memberikan putusan, fatwa dan syariat terkait realitas dan peristiwa baru tersebut yang disandarkan pada hukum-hukum fiqh pada era Nabi. Dari sini, diketahui bahwa hukum fiqh pada periode kedua (sahabat) dibangun dari hukum Allah, Rasul-Nya, fatwa dan keputusan para sahabat. Sumber hukum pada era ini ada tiga, yaitu: al-Qur’an, sunnah Nabi, dan ijtihad sahabat (ومصادرها: القراْن والسنة واجتهاد الصحابة).

Pada era tabi’in, tabi’it tabiin, dan imam mujtahid, kira-kira pada abad ke-2 dan ke-3 hijriyah, Negara Islam sudah semakin luas dan banyak faktor eksternal yang mempengaruhi agama Islam. Peristiwa, kesulitan, kajian, gerakan pembangunan dan dunia intelektualitas semakin berkembang. Hal ini mendorong ulama ahli ijtihad untuk menggalakkan aktivitas ijtihadnya untuk merespons peristiwa-peristiwa baru. Gairah intelektualitas mengalami peningkatan, sehingga terjadi dialektika yang dinamis. Bahkan, ulama ahli ijtihad sudah berani memberikan hukum pada peristiwa yang sifatnya prediktif (احكام فرضية). Pada periode ini, hukum fiqh dibangun dari hukum Allah, Rasul-Nya, fatwa dan keputusan sahabat, fatwa dan ijtihad ulama ahli ijtihad. Sumber hukum pada era ini ada 4, yaitu al-Qur’an, sunnah Nabi, ijtihad sahabat, dan ijtihad ulama ahli ijtihad (ومصادرها: القراْن والسنة واجتهاد الصحابة والائمة المجتهدين).

Pada periode ini, ilmu yang dikaji ini baru ada namanya, yaitu ilmu fiqh dan ulama yang menggelutinya dikatakan fuqaha (وسمي رجالها الفقهاء وسمي العلم بها علم الفقه). Bentuk ilmiah (صبغة علمية) ini tidak lepas dari banyaknya faktor luar yang masuk ke dalam Islam. صبغة علمية ini dibuktikan dengan sistematika kajian yang menarik, mulai dari rumusan hukum, dalil-dalilnya, illat-illatnya, dan dasar-dasarnya yang bersifat umum yang melahirkan banyak cabang hukum (واصطبغت الاحكام بالصبغة العلمية لانها ذكرت معها ادلتها وعللها والاصول العامة التي تتفرع عنها).

Kitab yang pertama kali dibukukan adalah al-Muwaththa’ (الموطاْ) karya Imam Malik atas permintaan Khalifah Manshur. Dalam kitab ini, Imam Malik mengumpulkan hadis-hadis shahih dan fatwa-fatwa sahabat, tabi’in, dan tabiit tabiin. Kitab ini menjadi kitab hadis dan fiqh yang menjadi dasar utama Fiqh Ulama Hijaz (اساس علماء الحجازيين). Tradisi ini dilanjutkan oleh Imam Abu Yusuf, murid Imam Abu Hanifah, yang menulis sejumlah kitab dalam bidang fiqh yang menjadi dasar utama fiqh Ulama Iraq (اساس فقه العراقيين).

Imam Muhammad bin Hasan, murid Imam Abu Hanifah, juga menulis beberapa kitab tentang enam riwayat yang dikumpulkan oleh Imam Hakim Asy-Syahid dalam kitab Al-Kafi (الكافي) yang dielaborasi oleh Imam Sarakhsi dalam kitab al-Mabsuth (المبسوط) yang menjadi referensi fiqh madzhab Abu Hanifah (مرجع فقه المذهب الحنفي). Muhammad bin Idris As-Syafii menulis kitab Al-Um ( الام) di Mesir yang menjadi pilar utama fiqh madzhab Syafii (عماد فقه المذهب الشافعي).

Lahirnya Ushul Fiqh

Ilmu ushul fiqh lahir pada abad ke dua hijriyah. Pada abad pertama hijriyah belum ada kebutuhan mendesak untuk melahirkan ilmu ushul fiqh. Nabi memberikan fatwa dan mengambil keputusan hukum sesuai wahyu yang diberikan Allah. Selain itu, juga dari ilham dan ijtihad Nabi, tanpa harus dibatasi dengan dasar dan kaidah istinbath dan ijtihad. Begitu juga dengan sahabat Nabi. Mereka memberikan fatwa dan mengambil keputusan hukum dengan nash-nash (النصوص) yang dipahami dengan benar dari kemampuannya yang mendalam terhadap bahasa arab dan belum dibutuhkan kaidah bahasa yang mengantarkannya untuk memahami nash (فهم النصوص).

Kemampuan istinbath (menetapkan hukum berdasarkan dalil) para sahabat dalam masalah yang tidak ada nashnya (فيما لا نص فيه) sudah terlatih karena lamanya mereka belajar dan menemani Nabi. Para sahabat mengkaji asbab an-nuzul al-ayat, asbab wurud al-ahadits, memahami tujuan Syari’ (Pembuat Syariat), dan dasar-dasar syariat dalam memutuskan hukum.

Distorsi Faktor Eksternal

Namun, ketika daerah kekuasaan Islam sudah luas, maka terjadilah kontak budaya dan pengetahuan dengan non-Islam yang mempengaruhi pemahaman terhadap metode bahasa arab. Sedangkan di sisi lain terjadi krisis generasi yang mempunyai kemampuan genuine dalam memahami bahasa arab dengan benar (ملكة عربية سليمة). Realitas inilah yang mendesak untuk merumuskan standar ikatan dan kaidah bahasa yang dijadikan alat untuk memahami nash sebagaimana orang arab memahaminya. Di era ini, kaidah-kaidah nahwu juga dirumuskan supaya seseorang mampu berbicara dengan benar dalam bahasa arab.

Selain itu, saat itu juga terjadi perdebatan keras antara ahli hadis dan ahli pikir (اهل الحديث واهل الراْي), dan ada keberanian orang yang mengikuti selera nafsu untuk menyampaikan hujjah (dalil) dengan sesuatu yang tidak bisa dijadikan hujjah dan mengingkari sebagian dalil yang bisa dijadikan hujjah. Realitas inilah yang mendorong perumusan ikatan dan kajian dalam dalil-dalil syara dan syarat-syarat mengambil hukum dari dalil (وضع ضوابط وبحوث في الادلة الشرعية وشروط الاستدلال بها وكيفية الاستدلال بها ). Akumulasi dari proses inilah lahir ilmu ushul fiqh.
Ilmu ushul fiqh tumbuh dari kecil, terus berkembang, dan meningkat pesat. Ulama yang pertama mengumpulkan kajian ushul fiqh adalah Imam Abu Yusuf, murid Imam Abu Hanifah sebagaimana disampaikan Ibn an-Nadim, namun karya tersebut tidak sampai kepada kita.

Adapun ulama yang pertama kali membukukan ilmu ini dalam satu kajian yang terpadu dan sistematis yang disertai dengan dalil dan analisis yang mendalam adalah Imam Muhammad bin Idris As-Syafii dalam kitab Ar-Risalah (الرسالة) yang diriwayatkan oleh muridnya Rabi’ al-Muradi. Inilah kitab ushul fiqh pertama yang sampai kepada umat Islam, sehingga menurut para ulama, peletak dasar ilmu ushul fiqh adalah Imam As-Syafii (واضع اصول علم الفقه الامام الشافعي ).

Dr. Abul Karim Zaidan dalam kitab Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh الوجيز في اصول الفقه menambahkan, dalam kitab Ar-Risalah Imam Syafii menjelaskan tentang al-Qur’an dan penjelasannya dalam hukum, penjelasan sunnah terhadap al-Qur’an, ijma’, qiyas, nasikh, mansukh, amar, nahyi, membuat hujjah dengan khabar wahid, dan lain-lain dari topik kajian ushul. Metode yang digunakan Imam Syafii dalam kitab Ar-Risalah ini sangat mendalam dengan mengetengahkan dalil dan perdebatan pandangan orang yang menentang dengan metode yang ilmiah dan kuat (اقامة الدليل علي ما يقول ومناقشة اراء المخالف باسلوب علمي رائع رصين).

Setelah Imam Syafii, Imam Ahmad bin Hanbal menulis satu kitab tentang ketaatan kepada Rasul (طاعة الرسول), menulis kitab lain tentang Nasikh dan Mansukh, dan menulis kitab ketiga tentang ‘illat. Tradisi ini diikuti ulama lain secara lebih sistematis, sehingga ilmu ushul fiqh tersusun dengan mantap dan kokoh.

Catatan :

Imam Ghazali dalam kitab Al-Mustashfa menjelaskan, ilmu ushul fiqh adalah ما ازدوج فيه العقل والنقل ilmu perpaduan akal dan naql (wahyu). Oleh sebab itu, ilmu ini sangat bermanfaat untuk mendinamisir paradigma umat sebagai syarat menggapai kemajuan di segala bidang.

Sejarah Imam Syafii menulis kitab Ar-Risalah yang didekte (imla’) kepada muridnya Rabi’ bin Sulaiman Al-Muradi sering disampaikan KH. Said Aqil Siradj dalam banyak ceramahnya. Di Rengasdengklok Jawa Barat dalam kegiatan PKPNU (Selasa, 12 Maret 2013), Kiai Said menjelaskan kisah ini, yaitu: Gubernur Abdurrahman Al-Mahdi mengirim surat kepada Imam Syafii yang isi suratnya adalah bertanya kepada Imam Syafii bagaimana memahami Islam yang benar. Surat Gubernur ini dijawab Imam Syafii dalam surat yang mencapai sekitar 300 halaman. Intinya, jika ingin memahami Islam dengan benar, maka harus memahami: Pertama, penjelasan Tuhan (بيان الهي) yang meliputi: muhkamat, mutasyabihat, mutlak, muqayyad, haqiqi, dan majazi. Kedua, keterangan Nabi (بيان نبوي) yang meliputi: mutawatir, masyhur, dan ahadi. Ketiga, keterangan akal (بيان عقلي) yang meliputi: ijma’ (qauli, fi’li, sukuuti), yang disebut akal kolektif dan qiyas (aulawi, burhani, manthiqi, istiqrai, jadali, khithabi, syi’ri, dan iqnai) yang disebut akal individu.

Dahsyat Imam Syafii. Saatnya pengikut Imam Syafii meneladani semangat belajar, meneliti, dan berkarya Imam Syafii demi kemajuan umat dan bangsa tercinta.

Wallahu A’lam Bis Shawab

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *