Ushul Fiqh 2, Tujuan Mengkaji Fiqh dan Ushul Fiqh

kitab ushul fiqh karya syeikh wahbah zuhaili

Oleh: Dr Jamal Ma’mur Asmani, Dosen Ushul Fiqh IPMAFA Pati

الغاية من تدريس الفقه والاصول ؟

Bacaan Lainnya

Apa tujuan mempelajari Fiqh dan Ushul Fiqh ?

Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab Ushul al-Fiqh al-Islami menjelaskan pertanyaan di atas.

Tujuan Ilmu Fiqh

Tujuan mengkaji ilmu fiqh adalah menerapkan hukum syara’ pada perbuatan dan ucapan manusia (تطبيق الاحكام الشرعية علي افعال الناس واقوالهم ). Fiqh menjadi rujukan ulama untuk mengetahui hukum syara’ dari ucapan dan perbuatan yang dilakukan manusia. Fiqh juga menjadi rujukan hakim (qadli) dalam memberikan keputusan, dan rujukan juru fatwa (mufti) dalam fatwanya.

Tujuan Ilmu Ushul Fiqh

Syekh Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan lima tujuan mengkaji ushul fiqh.

Pertama, mengkaji sejarah. Mengkaji kaidah-kaidah yang ada dalam ushul fiqh akan diketahui sumber hukum kajian ulama fiqh yang ahli ijtihad, metode penetapan hukumnya (مدارك الفقهاء المجتهدين وطرق استنباطهم) dan menghubungkannya untuk mengetahui hukum syara’ secara mendalam, sehingga diperoleh pemahaman dan ketenangan hati.

Kedua, mengkaji sesuatu secara ilmiah dan menindaklanjuti dalam amaliah. Maksudnya adalah mendapatkan kemampuan untuk menetapkan hukum berdasarkan dalil (استنباط الاحكام من الادلة). Hal ini bagi mujtahid. Sedangkan bagi orang yang bertaklid (muqallid), mengkaji ushul fiqh membuat muqallid mampu memahami sumber-sumber hukum hukum dan sandaran yang digunakan para imam mujtahid dalam menetapkan hukum, sehingga hati bisa tunduk dan tenang dengan pendapat imam mujtahid. Hal ini mendorongnya untuk mengamalkan pendapat mujtahid, patuh, dan tunduk dengan hukum syara’ yang menjadi pijakan kebahagiaan dunia-akhirat (مناط السعادة الدنيوية والاخروية).

Ketiga, mendorong ijtihad. Mengkaji ushul fiqh bagi mujtahid akan membantunya dalam kegiatan استنباط الاحكام من الادلة. Mengkaji ushul fiqh bagi para peneliti dan ilmuwan juga mendorong lahirnya proses ترجيج (mengunggulkan hukum) dan تخريج (mengeluarkan hukum dari sumbernya) atas pendapat ulama ahli fiqh terdahulu. Selain itu, mengkaji ushul fiqh juga mendorong lahirnya hukum syara’ terhadap persoalan-persoalan baru yang terjadi di tengah masyarakat, akibat munculnya kebutuhan-kebutuhan individu dan sosial.

Hal ini menjadi keniscayaan mengingat teks-teks al-Qur’an dan sunnah selesai dan terbatas, dan peristiwa baru dan problem yang bermunculan tidak pernah berhenti. Sedangkan sesuatu yang sudah selesai tidak mampu meliputi sesuatu yang tidak pernah selesai kecuali dengan ijtihad (لان نصوص الكتاب والسنة متناهية محدودة والحوادث والقضايا العارضة للناس غير متناهية, وما يتناهي لايحيط باحكام غير المتناهي الا بطريق الاجتهاد). Ijtihad tidak mungkin dilakukan kecuali dengan mengetahui kaidah-kaidah ushul dan menemukan illat-illat (legal reason) hukum syara’.

Keempat, melakukan perbandingan (مقارنة). Perbandingan yang produktif tidak terjadi tanpa berpegang kepada dalil naqli, akal, dan ushul fiqh. Perbandingan madzhab di era sekarang menjadi kebutuhan mendesak, baik dalam konteks syariat dalam berbagai madzhab atau antara syariat dan undang-undang formal. Di dua hal ini, mengetahui kaidah-kaidah ushul adalah keharusan, dan pijakan utamanya adalah dalil-dalil hukum.

Perbandingan yang mendalam akan berujung pada perbedaan beberapa pendapat madzhab dan mengunggulkan pendapat yang paling kuat dalilnya (ترجيح الاقوي دليلا). Di sini tampak fungsi mengkaji ushul fiqh bagi muqallid (orang yang taklid) agar ia mampu membandingkan dalil yang digunakan madzhabnya dan dalil madzhab lain.

Kelima, mengokohkan agama. Mengkaji ushul fiqh menjadi jalan mengikat dasar-dasar hukum syara’ dan dalil-dalilnya dan mendorong mukallaf (muslim-akil-baligh) menunaikan hukum-hukum syariat dan perintah-perintah agama (القيام بالتكاليف والاوامر الدينية). Dari tujuan ini, ulama ahli ushul berkata: fungsi ushul fiqh adalah mengetahui hukum-hukum Allah Ta’ala yang menjadi sebab memperoleh kebahagiaan agama dan dunia.

Setelah menjelaskan lima tujuan mempelajari ushul fiqh, Syekh Wahbah Az-Zuhaili menegaskan, bahwa tidak relevan orang yang berkata: bahwa sesungguhnya hukum-hukum syara’ sudah dibukukan (kodifikasi) dan sudah dituntas oleh ulama ahli ijtihad (mujtahid). Manusia sekarang tinggal mengambil pendapat-pendapat mereka. Oleh sebab itu, mengkaji ushul fiqh untuk melatih ijtihad ditutup pintunya.

Ucapan ini dijawab: “Mengunci pintu ijtihad ditujukan bagi orang yang tidak punya kemampuan yang cukup untuk ijtihad. Hal ini dibuktikan dengan ulama-ulama kontemporer (العلماء المتاْخرون ) yang menutup pintu ijtihad mereka bergegas mengkaji ushul fiqh sehingga banyak dari mereka yang tuntas mempelajarinya karena manfaat mengakaji ilmu ini yang sangat besar”.

Kesimpulan (والخلاصة):

Ushul fiqh termasuk ilmu utama bagi semua mujtahid, juru fatwa, dan semua pelajar yang ingin mengetahui bagaimana metode menetapkan hukum berdasarkan dalil. Orang yang tidak membutuhkan ushul fiqh adalah orang awam yang mencukupkan diri dengan pendapat ulama tanpa mengetahui dalil dan argumentasi (دليل وبرهان).

Sedangkan orang alim: adalah orang yang tidak cukup dengan hanya menerima hukum dari para imam, tapi ia mengkaji dalil-dalil setiap hukum, kemudian dari kajian itu ia berlatih serius untuk berijtihad yang bermanfaat untuk mengetahui hukum-hukum peristiwa baru dan kejadian-kejadian baru yang terus terjadi (معرفة احكام الحوادث والوقائع الجديدة).

Catatan:

Banyak kasus-kasus baru akibat revolusi teknologi informasi membutuhkan jawaban hukum, baik di bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, dan pertahanan keamanan, dalam skala lokal, regional, nasional, dan global. Oleh sebab itu, ilmu ushul fiqh sangat dibutuhkan kapanpun dan dimanapun supaya lahir produk hukum yang dinamis, solutif, dan kontekstual.

IPMAFA, 1-03-2018

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *