Arif Maftuhin, Dosen UIN Sunan Kalijaga
Salah satu manfaat paling ‘mengerikan’ dari kontroversi cadar ini adalah UIN Sunan Kalijaga ‘naik kelas’ untuk dibandingkan dengan UGM, UNY, atau UN-UN (universitas NGERI) lainnya. Anda tahu kan, perbandingngan itu harus duren-to-duren, gundhul-to-gundhul. Itu kalau pakai mikir. Kalau nggak, ya sudah. Pokoknya universitas versus universitas, pasti sama.
Dari ratusan komentar, saya pilih satu sebagai contoh (nggak dapat hadiah sepeda!). Komentar ini sangat saya sukai karena sangat detil, pakai riset, dan terasa memenuhi syarat ‘kritik membangun’. Rektor UIN tuh daripada repot mikir cadar, katanya, mbok mikir gimana caranya UIN bisa maju agar rangkingnya sama dengan UGM (dan semisalnya). Keren kan?
Hanya orang cerdas yang punya kritik seberat itu. KECUALI, bahwa kritik itu tidak melihat ‘mesin’nya. Seperti membandingkan mobil. Orang ini berharap agar daripada repot ‘ndempul’ bodi mobil Starlet yang karatan, mbok Pak Rektor mikir agar mobil Starlet berplat UIN itu bisa ngebut seperti All New Corolla di kampus sebelah.
Anda tahu berapa anggaran UGM dan UIN? Kalau belum, saya kasih bocoran: UGM 2,8 trilyun (data RKAT 2017) sedangkan UIN Rp. 300 milyar (kata teman saya yang pernah jadi WR 2). Sampai lebaran kuda, lebaran tokek, lebaran kadal, pun kalau plot anggaran tidak berubah ya nggak bakal UIN sebanding UGM.
Kata si mbak, “Alhamdulillah, universitas-universitas terbaik ini cukup toleran, tidak melarang cadar sebagaimana dilakukan pengelola UIN Sunan Kalijaga.” Ini contoh komparasi yang pakai mikir, tetapi sedikit.
Apa yang membedakan UIN dengan UN? “I” di tengahnya. Di UN yang tanpa “I”, Anda mau berpakaian apa pun selama sopan tidak dilarang. Pakai cadar, OK. Pakai jilbab, OK. Tidak pakai jilbab, OK. Berpakaian 3S (sopan-seksi-sedikit), juga masih OK.
Mengapa? Ya memang harus begitu. UGM bukan universitas Islam! Saya pasti ikut demo menurunkan rektor UGM kalau ikut-ikutan rektor UIN.
Kalau di UIN? Anda wajib berjilbab. Itu pun belum cukup. Seperti beli jilbab di Bringharjo, penjual saja nanya “yang syar’i” atau “nggak”. Banyak dosen UIN menolak ngajar mahasiswa yang jilbabnya tidak syar’i. Di post saya, banyak tuh yang belum pernah kuliah di UIN tapi nyinyir begini, “yang pakai cadar dilarang, yang seksi-seksi dibiarin.” Ah, lambe turah.
Kalau Anda ke UIN, jilbab saja tidak pernah cukup. Perempuan nyaris kehilangan kuasa atas tubuhnya sendiri.
Catat ini kaum liberal genit! Anda baru teriak galak saat cadar dilarang, tetapi Anda lupa bahwa (pinjam bahasa genitmu) ada ‘penindasan’ terhadap tubuh perempuan di UIN bertahun-tahun atas nama ‘syariah’ dan tafsir patriarki. Saya ingin ngakak saat seorang dosen di UIN “sana” mengritik kebijakan UIN Jogja dengan mempertanyakan dimana “intelektualitas”, “komitmen pada kebhinekaan”, “perlindungan HAM”, dan jargon-jargon genit liberalisme lainnya sementara di tengkuknya sendiri ada aturan anti-liberal yang mewajibkan jilbab syar’i pada tubuh perempuan.
Jadi, apakah UIN itu pengecualian? Anda sendiri yang harus menjawab. Ini bukan artikel di Al-Jami’ah Journal of Islamic Studies. Saya juga sedang mikir. Kalau ini perguruan tinggi negeri dan dihidupi oleh pajak rakyat, apa hak UIN mewajibkan berjilbab dan atau melarang bercadar?
Melia, apa mending kita ganti UIN jadi UGM-S (UGM cabang Sapen) jangan?
Catatan kecil:
Di post terdahulu, banyak yang kaget saat saya sebutkan “menurut sebagian Muslim, jilbab tidak wajib.” Jika Anda termasuk yang kaget, Anda perlu piknik dan baca buku. Jangan sok tahu dan nyuruh saya ngaji lagi (capek, tahu!).