Oleh KH As’ad Said Ali, Wakil Ketua Umum PBNU 2010-2015
Kafir adalah terminologi agama dan khusus Nasrani dan Yahudi disebut Ahlul Kitab. Dalam kitab-kitab fiqh dijelaskan wanitanya bisa dinikahi oleh laki laki muslim.
Untuk pergaulan / persaudaraan kebangsaan tentu saja sebutan kafir untuk non muslim tidak sesuai dengan tujuan bernegara. Sebab menurut ajaran Islam bernegara tujuan utamanya adalam menjaga kemaslahatan warganya termasuk didalamnya “ketertiban sosial” sehingga bisa terselenggara peribadatan dengan baik.
Ketika sistem politik di negara muslim menerapkan sisten khilafah, non muslim disebut “ dzimmi “ (yang dilindungi). Jadi kata “Kafir“ digunakan dalam kajian agama, tetapi dalam pesaudaraan kebangsaan lebih maslahat istilah itu tidak digunakan.
Dalam pergaulan budaya, istilah kafir berkonotasi mengolok-olok / kebencian sehingga tidak mengandung kemaslahatan.
Jadi fatwa NU sudah benar lambat laun akan memasyarakat, sehingga kita perlu bersabar.