Tulisan Khilma Anis: Santri Baru “Nangis” Saat Adzan

Nangis

Suara adzan Isya mengalun lantang. Saya dan kang Mas sedang di teras duduk santai membahas cover untuk novel selanjutnya. Anak anak riuh rendah berhamburan dari ruang diniyah, berebut mengambil wudhu’.

Eh la kog pas adzan dapat separuh, suara adzane berhenti. Jeda sebentar. Dilanjut lagi dengan terbata bata. Suaranya terdengar semakin parau. Lalu berhenti lagi dan tidak berlanjut.

Saya pikir ada kendala teknis dengan mik nya.
Eh kog makin lama, isaknya sayup sayup mlebu mik.

Saya bergegas ke belakang.

Saya lihat seorang santri baru, duduk terpekur di dekat mihrab. Ia memeluk lutut. Kepalanya ia benamkan di atas lutut. Bahunya berguncang hebat.

Dia santri baru yang tadi pas Magrib adzan dengan ceria, suka rela. lalu pujian dengan apiknya, melafalkan shalawat jawa yang merdu, yang katanya, seperti yang sering ia lagukan di langgar depan rumahnya.

La kog sekarang nangis?

“Lho, Ya Allah … Lahopo nangis, Le?” Saya mendekat. Kaget.

“Kulo kangen Ibuk…” Dia semakin mendekap lutut. Nangis terisak isak.

Saya gemetaran. Bingung.

“Kangen ibuk … kulo kangen ibuk… kangen adek….”

Saya pengen kasih nasehat opo ngunu, dadak reflek malah air mata saya dleweran.

“Sholat sek ya, habis ini kita telpon ibuk.”

“Wangsul, bu … Sekedap mawon … Kangen ibuk … Pengen panggeh ibuk.”

Saya makin gemetaran. Duh Allah, ini piye tadi? Tengah tengah adzan kog mak tratap ileng ibuke. Howalah le …

Tibaknya di belakang saya wes kebak arek arek liyane do ngrubung. Diam diam lihat sambil melok nangis. Sampai santri kawak ya melok mbrebes. Ileng ibune dewe dewe.

Anak ini diantar ke kamar. Adzan diambil alih kawannya. Kami sholat berjamaah dalam haru soale tangis anak ini makin banter meraung raung dengan suara yang menyayat. Kamare gak jauh dari mushola.

Abah pasti ingat mas Haidar yang mondok, dan jadi santri baru. Ibuk juga jadi kangen anak lanang satu satunya itu. Saya mbayangke anak saya dewe yang mondok. Anak anak podo kelingan wong tuwane dewe dewe. Misek misek dewe dewe.

Selesai sholat, kami ke kamarnya. Tangise tambah banter. Saya biasanya gak gimana gimana sama anak begini ini. Biasa sebenarnya santri baru nangis gini. Biasae malah ta guyoni.

Tapi ini lain, soale nangis di tengah tengah adzan.

Sekarang sedang ditenangkan Abah dan ibuk.

Saya mundur gak kuat. Saya beringsut ke kamar. Rukuh saya wes teles Kabeh. Saya menangis.

Sabar ya, Le. Menuntut ilmu di pesantren memang berat. Apalagi kalau kangen ibuk begini. Tapi jangan pernah lupa, Le. Kau harus bertahan, karena ini adalah jalan menuju kemulyaanmu kelak.

Wes ojo nangis ya, Le.

Penulis: Khilma Anis, penulis Novel “Hati Suhita”.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *