Tawassul Dengan Nabi Muhammad Ketika Hidup atau Sudah Wafat

Sebagai Pemimpin, Ini Cara Rasulullah Agar Umatnya Tidak Kelaparan

Pembelaaan tentang tawassul dan tabaruk telah dilakukan Sayyid Muhammad al-Maliki dalam kitabnya berjudul Mafâhim Yajibu an Tushohhah, dan para ulama lain, seperti KH. Ali Maksum al-Jugjawi yang menulis Hujjah Ahlis Sunnah Waljamâ`ah. Kanjeng Nabi Muhammad shollallohu `alaihi wasallam sendiri mengafirmasi tawassul, bukan hanya dengan amal-amal perbuatan kita. Hal ini terlihat dalam sebuah hadits yang bercerita tentang Nabi Adam ketika berdoa dan menjadikan Haqqnya Nabi Muhammad, yang ketika itu belum diciptakan dalam wujud manusia, tetapi masih dalam bentuk nur. Hadits ini berasal dari sahabat Umar rodhiyallôhu `anhu, Nabi Muhammad shollallôhu `alaihi wasallam bersabda:

“Di kala Nabi Adam melakukan kesalahan, dia berkata: “Wahai Tuhanku, as’aluka bihaqqi Muhammadin, aku memohon kepada-Mu, dengan ampunan yang Engkau berikan kepadaku. Maka Alloh berfirman: “Wahai Adam, bagaimana engkau mengenal Muhammad, padahal Aku belum menciptakannya?” Adam menjawab: “Wahai tuhanku, dikarenakan ketika engkau menciptakanku melalui kekuasaan-Mu, dan Engkau tiupkan kepadaku Ruh-Mu, aku tengadahkan kepalaku, maka aku melihat pada tiang-tiang Arsy, tulisan La Ilâha Illallôh Muhammad Rasulullôh, maka aku tahu Engkau tidak menyandarkan asmâ’-Mu kecuali kepada makhluk yang paling Engkau cintai.” Maka Alloh berfirman: “Benar engkau wahai Adam, dia adalah makhluk yang paling Aku cintai. Berdoalah dengan haqqnya –ud`unî bihaqqihi- maka niscaya engkau benar-benar Aku ampuni. Seumpama tidak karena Muhammad, engkau tidak Aku ciptakan.”

Menurut Sayyid Muhammad al-Mailiki, hadits tersebut diriwayatkan al-Hakim, dengan derajat shahih; juga diriwayatkan Imam as-Suyuthi yang juga menyebutnya shahih; diriwayatkan Baihaqi dan Imam al-Qostholani dan az-Zarqoni menyatakan shahih; diriwayatkan Imam as-Subki dan juga Imam Thobroni (Mafahim Yajibu an Tushohah, bagian tawassul). Tawassulnya Nabi Adam kepada haqq-nya Kanjeng Nabi Muhammad ketika masih belum diciptakan dalam wujud manusia, menunjukkan bolehnya tawassul bi-haqqi-hi.

Sedangkan bertawassul ketika Nabi masih hidup, banyak dilakukan sahabaat Nabi, di antaranya diceritakan sahabat Ustman bin Hunaif. Ketika Nabi didatangi orang yang terkena sakit mata, orang itu kemudian diminta untuk wudhu, sholat dua rekaat, dan disuruh berdoa begini:

“Ya Alloh, sesungguhnya aku memohon kepadamu dan menghadap-Mu dengan perantara Nabi-Mu Muhammad shollallôhu alai wasallam sebagai nabi rahmat. Ya Muhammad, sesungguhnya aku menghadapkan diriku dengan perantara dirimu, maka terangkanlah bagiku atas mataku. Ya Alloh syafa`atilah dia dan aku untuk diriku.” Berkata sahabat Utsman bin Hunaif: “Maka demi Alloh kami belum berpisah, dan belum lama percakapan kami hingga laki-laki itu masuk dan sepertinya dia tidak terkena kebutaaan” (Menurut Sayyid Muhammad al-Maliki dalam Mafâhim, tentang hadits itu, al-Hakim dan adz-Dzahabi menyatakan shahih, diriwayatkan juga Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Khuzaimah).

Sedangkan tawassul kepada Nabi ketika beliau sudah meninggal, adalah praktik ayang dicontohkan pula oleh sahabat Utsman bin Hunaif, yang meniru Kanjeng Nabi Muhammad. Kejadiannya, ketika ada orang yang meminta bantuan tentang penglihatannya, setelah berulang-ulang datang kepada Sayyiduna Utsman bin Affan, dan kemudian laki-laki itu bertemu dengan Utsman bin Hunaif, lalu diminta oleh Utsman bin Hunaif agar melakukan, seperti di atas, padahal Kanjeng Nabi saat itu telah wafat.

Begitu dijelaskan Sayyid Muhamamd al-Maliki, tentang tawassul dengan kanjeng Nabi Muhammad. Hal ini berbeda dengan wahhabi-salafi yang tidak membolehkan tawassul dnegan selain amal-amal yang telah dilakukan. Mereka menyatakan ada tawassul syirik dan bid’ah dalam praktik tawassul dengan kanjeng Nabi Muhammad, seperti dikutip di atas, adalah praktik yang dilakukan sahabat Kanjeng Nabi sendiri (ketika Nabi sudah wafat), dan yang diperintahkan Nabi sendiri (ketika ia masih hidup).

Para sahabat Nabi bahkan bertawassul dan mengambil berkah dari peninggalan-peninggalan Rasulullah, di antaranya:

  1. Diceritakan dalam Shohih al-Bukhori bahwa Sayyiduna Umar ingin sekali kalau meninggal dikuburkan dekat dengan Kanjeng Nabi, dan anaknya (Abdullah) diminta untuk minta idzin kepada Sayyidah Aisyah, dan Sayyidah Aisyah membolehkannya. Kata Sayyid Muhamad al-Maliki: “Hal ini tidak dapat dikonotasikan kecuali (Sayyiduna Umar) bertawassul dengan Nabi Saw. setelah beliau wafat, yakni mengambil berkah dengan mendekatkan diri kepada Nabi shollallôhu `alahi wasallam.”
  2. Para sahabat berlomba-lomba mengambil rambut Rasululloh ketika rambut beliau dipangkas;
  3. Cincin Rasululloh dirawat oleh Sayyiduna Abu Bakar (rantai pertama setelah kanjeng Nabi dalam toriqot Naqsyabandiyah), kemudian ke tangan Sayyiduna Umar, Sayyiduna Utsman, dan setelah itu terjatuh ke sumur.
  4. Asma’ binti Abu Bakar merawat jubah Rasulullah Saw. dan dia berkata: “Kami merendam jubah itu yang airnya untuk kesembuhan orang-orang sakit kami.”
  5. Tawassul dengan kubur Nabi, dilakukan oleh penduduk Madinah dan Sayyidah Aisyah, seperti diceritakan Imam ad-Darimi dalam Sunân-nya, bahwa: “Penduduk Madinah terlanda kemarau berkepanjangan, kemudian mereka mengadu kepada Aisyah Ummul Mukminin, maka dia berkata: “Pandangilah kubur Nabi shollallôhu `alai wasallam, maka jadikanlah darinya jendela sampai ke langit hingga tidak ada di antaranya antara langit dan atap. Maka mereka segera melaksanakannya, kemudian diberi hujan hingga tumbuhlah rerumputan dan gemuklah unta-unta, hingga disebut tahun keseburan (HR. Darimi, dalam Sunân-nya, No. 92).

Sayyid Muhammad melanjutkan dan berkata: “Hadits-hadits tentang itu adalah shahih, telah tetap, sebagaimana yang kami sampaikan dalam bab tabarruk.”

Tawassul dengan orang sholih dan selain Nabi Muhammad

Ihwal bertawassul dengan orang sholih, dengan dzat Nabi dan para Nabi, dilarang oleh orang-orang wahhabi salafi, seperti telah dikemukakan perkataan mereka dengan mengambil contoh tulisan Abdulloh Zein LC, MA., yang dimuat dalam al-manhaj.or.id. Padahal ada hadits-hadits lain yang memperkuat tawassul yang demikian, dan oleh Kanjeng Nabi Muhammad tidak dimasukkan sebagai perbuatan syirik, sebagaimana orang wahhabi-salafi menghukumi orang muslim yang telah mendirikan sholat dan bersyahadat tetapi melakukan tawassul demikian, sebagai syirik. Hadits-hadits Nabi itu, demikian:

  1. Dari Ibnu Abbas, Rasululloh bersabda: “Sesugguhnya Alloh memiliki banyak malaikat selain malaikat hafazhoh di kawasan bumi, mereka menulis apa-apa yang jatuh dari pepohonan, maka apabila seseorang dari kalian tertimpa halangan di kawasan gurun, hendaklah ia memanggil: “a`înunî yâ Ibâdallôh”, tolonglah aku wahai hamba-hamba Alloh (HR. Thobroni, yang menurut Sayyid Muhammad al-Maliki para perawinya tsiqqah). Dalam hadits ini, juga ada hadits yang menceritakan hal serupa, ketika ada masalah di gurun, dari Ibnu Mas`ud diriwayatkan Abu Ya’la dan Imam Thobroni.
  2. Tawassul dengan orang yang dekat dengan Nabi, misalnya tawassul sayyidina Umar melalui Sayyiduna Abbas. Ada hadits riwayat Imam Bukhori dari sahabat Anas yang menceritakan bahwa “Sahabat Umar, jika kemarau dia memohon hujan (kepada Alloh) dengan perantara Sayyiduna Abbas bin Abdul Mutholib, maka dia mengucapkan: “Ya Alloh, sesungguhnya kami berwasilah kepada-Mu dengan Nabi-Mu, kemudian Engkau beri kami hujan, dan kini kami berwasilah kepada-Mu dengan paman Nabi kami, maka berilah kami hujan, merekapun diberi hujan.” Di kala Sayyiduna Abbas berdoa, dia berdoa begini: “Padahal masyarakat telah mengadu kepadaku, karena engkau mengetahui keberadaanku di sisi Nabi-Mu, dan jagalah Nabi-Mu mengenai pamannya.” Sayyid Muhammad al-Maliki dalam mengomentari ini: “Yakni terimalah doaku tersebab kemuliaan Nabi-Mu).
  3. Tawassul dengan orang-orang yang selalu berdoa kepada Alloh, yang mencakup orang-orang sholih, berdasarkan hadits riwayat Abu Said al-Khudhri, diriwayatkan Ibnu Huzaimah, Ibnu Sinni, Ibnu Majah, dan Abu Nu’aim: “Rasululloh bersabda: “Barang siapa keluar rumah untuk sholat, kemudian berdoa: “Ya Alloh, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan haqq-nya (derajat) mereka yang memohon kepada-Mu dan haqq-nya perjalanan saya ini, karena saya keluar bukan untuk berlaku sombong, bukan besar kepala, bukan riya, bukan sum`ah, namun keluarku ini takut akan siksa-Mu dan mencari ridho-Mu, maka aku memohon kepada-Mu, selamatkanlah aku dari neraka dan ampunilah dosa-dosaku, karena tak ada yang bisa mengampuni dosa itu melainkan Enghkau. Maka Alloh menghadap kepada-Nya biwajhihi, dan 70.000 malaikat memohonkan ampun kepadanya hingga orang itu selesai sholat” (Ibnu Majah, as-Sunân, No. 770).

Hadits riwayat Abu Said al-Khudri di atas (No. 3), terdapat kata bihaqqis sâ’ilîn, yang menunjukkan pada derajat orang yang memohon dan berdoa kepada Alloh, termasuk orang-orang sholih, wali-wali Alloh, ulama, dan lain-lain. Menurut Tim FBMPP Kediri, dalam buku Meluruskan Kesalahan Buku Putih Kyai NU, hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah (No. 770), Imam Ahmad (No. 10729), Ibnu Sinni, dan al-Baihaqi. Isnad hadits ini memenuhi syarat hasan dan dihasankan oleh 5 orang huffâzhul hadits, yaitu: Hafizh ad-Dimyathi, Hafzih Abul Hasan Muqaddasi (guru Hafizh al-Munzhiri), Hafizh al-Iraqi, Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani, dan Hafizh al-Bushiri. Bahkan Ibnu Huzaimah meriwayatkan dari jalan Fudhail bin Marzuq dan menurutnya adalah shohih (Surabaya: Bina Aswaja, 2011, hlm. 102).

(Nur Khalik Ridwan, Pengajar STAI Sunan Pandanaran Yogyakarta)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *