Taman Kecil Anak Dusun Pelat Tak Boleh Hilang

Bu Asirah
Bu Asirah

FEATURE

Di pagi yang kurang bersahabat,  puncak angin selatan menyapa seisi pulau Sepanjang (salah satu anak Kepulauan Kangean Madura) dengan sedikit sinis seolah marah dan melarang agar tidak seorang nelayanpun pergi melaut. Saat seperti inilah para nelayan mulai menghabiskan simpanan, baik uang maupun persediaan makanan, bahkan sering menyisakan hutang pada saat cuaca kembali normal untuk melepas nelayan kembali melaut. Karenanya tidak heran jika sedikit pengasilan nelayan yang didapatkan dari ketidak pastian angka hanya cukup untuk melunasi hutang selama musim angin kencang.

Pagi itu Bu Asirah atau yang lebih akrab dipanggil Bu Irah oleh siswa-siswanya tengah bingung memikirkan bagaimana nasib pendidikan anak-anak di pulau tersebut jika untuk memenuhi kebutuhan pokok saja orang tua mereka sudah kesulitan apalagi untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Sebagai orang yang baru tamat Aliyah (SMA) untuk memecahkan masalah tersebut bukanlah hal yang mudah. Selain faktor tersebut, jika ingin mewujudkan adanya proses pendidikan Bu Irah pun harus mempertimbangkan proses panjang berlangsungnya pembelajaran.

Mengajar bagi  guru pada umumnya mungkin adalah hal yang sangat mudah, yaitu hanya bercerita dan menjelaskan materi sesuai yang ada di dalam buku pelajaran. Demikian pula dengan belajar. Belajar bagi sebagian siswa terutama yang tinggal di daratan atau perkotaan mungkin bukan lagi hal yang sulit, melainkan hal yang sudah biasa dan sangat mudah. Apalagi dengan dukungan teknologi yang serba canggih, akses internet tanpa batas, sehingga untuk melengkapi bahan belajar-mengajar menjadi sangat mudah dan tanpa biaya.

Jika belajar-mengajar yang guru-guru dan  teman-teman pembaca rasakan semudah di atas, tentu menjadi tidak bijak jika anda para guru dan teman-teman masih banyak mengeluh dalam menjalaninya. Sebab di zaman yang sudah serba canggih seperti saat ini, masih ada sekolah yang sangat kesulitan dalam keberlangsungan pembelajarannya.

Bisa dibayangkan seperti apa sulitnya belajar di pulau kecil dan terpencil, tidak ada listrik, tidak ada akses internet, dan fasilitas sekolah yang serba kurang dan sangat terbatas, baik dari segi infrastruktur maupun tenaga pengajar. Demikianlah yang dirasakan sekolah-sekolah yang ada di  Pulau Sepanjang, Kecamatan Sapeken, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Pulau seluas ukuran lebar 4 km dan panjang 35 km.

Secara administrasi pulau sepanjang  masuk wilayah kabupaten Sumenep Jawa Timur, namun waktu tempuh dengan menggunakan kapal laut kurang lebih 15 jam ke arah timur dari Pulau Madura, 12 Jam ke arah barat laut dari Banyuwangi Jawa Timur, 10 Jam ke arah utara dari Pulau Bali dan Lombok, tapatnya berada di perbatasan Jawa Timur, laut Sulawesi Barat dan  Bali utara. Dengan gambaran tersebut sudah dapat dipastikan mayoritas penduduknya adalah nelayan.

Segala bentuk keterbatasan tersebut ternyata bukanlah alasan untuk dijadikan penghambat atau penghalang cerdasnya anak bangsa ini, bukan alasan untuk menyerah dalam berbagi ilmu pengetahuan, serta bukan alasan untuk lestarinya kebodohan bagi anak di setiap pelosok penjuru negeri ini. Hal tersebut dibuktikan oleh kegigihan Bu Irah dalam berupaya memberikan secercah harapan bagi anak-anak di Dusun Pelat, Desa Tanjung Kiaok Kecamatan Sapeken, Kabupaten Sumenep- Jawa Timur.

Bagi warga dusun Pelat, Bu Irah bukan sekedar pahlawan tanpa tanda jasa, bahkan lebih dari sekedar itu, karena dalam memberikan pembelajaran bukan sekedar tidak dibayar bahkan lebih sering merelakan sejumlah uang yang susah payah diperolehnya untuk membiayai proses pembelajaran tersebut. Sejak tamat Aliyah (SMA) Bu Irah tidak langsung kuliah. Alasan utamanya bukan karena keterbatasan sebagai seorang perempuan yang jika kuliah harus merantau dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit, melainkan merelakan waktu dan lainnya untuk berusaha keras merintis Raudatul Athfal (Taman Kanak-kanak) Darussalam, sebagai bentuk keprihatinan atas tidak terpenuhinya hak-hak pendidkan kanak-kanak di dusun Pelat.

Berdirinya RA Darussalam di Dusun Pelat bukan perkara mudah, selain berdiri di tengah lingkungan masyarakat yang kurang memperhatikan pendidikan anak juga berada di lingkungan masyarakat yang rata-rata kurang mampu dari segi ekonomi, sehingga untuk memberikan penjelasan tentang pentingnya pendidikan bukanlah hal yang mudah. Selain itu, desa Tanjung Kiaok merupakan desa yang sangat jarang atau bahkan tidak pernah dikunjungi pemerintah seperti: Camat, Bupati, apalagi Gubernur. Jadi, di desa Tanjung Kiaok aparatur pemerintahan hanya kepala desa. Sampai-sampai ada yang bilang “di desa Tanjung Kiaok lurah rasa president”. Tak heran jika mendapat bantuan pemerintah untuk pendidikan sangatlah sulit.

Merintis RA Darussalam bukanlah hal yang mudah, karena yang harus dilakukan bukan sekedar memberikan layanan pendidikan kepada anak-akan di dusun Pelat, namun terlebih dahulu harus berusaha keras memberikan penjelesan pentingnya pendidikan kepada masyarakat yang tidak begitu memperhatikan soal pendidikan khususnya calon wali murid. Meski demikian, berkat kegigihan dan keistiqomahan Bu Irah RA Darussalam masih sampai sekarang, meski belum memiliki gedung sendiri setidaknnya keberadaan RA Darussalam memberikan gambaran  pentingnya sekolah anak-anak di hati masyarakat Dusun Pelat. karenanya jika awalnya harus didatangi oleh Bu Irah dan dibujuk agar mau menyekolahkan anaknya sekarang para orang tua sudah mau datang sendiri untuk menyekolahkan putra-putrinya.

RA Darussalam yang di pelopori Bu Irah pertama kali melangsungkan proses pembelajaran pada tahun 2008. Dilaksanakan di Masjid Darussalam dengan perlengkapan seadanya dan segala bentuk keterbatasan yang ada. Dari masjid inilah Bu Irah memulai mengajarkan do’a-do’o, membaca surah-surah pendek, bernyanyi, dan beberapa permainan. Walaupun tidak mudah, setidaknya tawa lucu dan tangis anak-anak didik membuat Bu Irah tetap semangat dan bertahan.

Setelah berlangsung sekitar dua tahun, akhirnya ada warga yang rela meminjamkan rumah kayunya untuk dijadikan tempat belajar RA Darussalam. Walau hanya pinjaman, namun hal tersebut sudah sangat membantu, karena walau bagaimanapun dibandingkan di Masjid akan lebih mudah mengurusi anak-anak yang bermasalah, seperti pipis di celana misalnya (ngom

masjid Darussalam
masjid Darussalam

pol) dan lainnya yang mungkin berpotensi mengganggu proses ibadah jamaah masjid.

Rumah yang dipinjamkan tersebut bukanlah rumah mewah, melainkan rumah kayu berukuran lebar 4 meter dan panjang 6 meter. Lantainya hanya palstrean semen. Sehingga untuk keberlangsungan belajar harus menggunakan kursi. Sebelum pindah terlebih dahulu Bu Irah mengundang wali murid untuk mencarikan solusi terkait hal tersebut. Pertemuan dengan wali murid akhirnya membuahkan hasil, yaitu seluruh wali murid bersepakat untuk membuatkan kursi kayu untuk anaknya masing-masing.

Setelah pindah, rasa banngga masyarakat dan keinginan untuk menyekolahkan anaknya semakin meningkat. Ruang kelas baru terlihat jenaka dengan bentuk dan warna kursi yang berbeda-beda karena memang dalam rapat wali murid tidak disepakati terkait model dan warna kursi yang akan disumbangkan untuk anak mereka masing-masing.

Setelah berjalan dua tahun dirumah tersebut, RA Darussalam harus segera pindah tempat, karena rumah itu harus ditempati kembali oleh pemiliknya. Tentu hal tersebut menjadi tantangan baru bagi Bu Irah dan bebrapa guru yang ikut membantunya. Setelah beberapa hari dalam kebingungan akhirnya ada orang yang berkenan rumahnya ditempati. Rumah ke dua ini lebih besar dan terbuat dari beto, bukan kayu seperti sebelumnya.

sampai saat ini RA Darussalam masih tetap eksis walaupun belum memiliki gedung sendiri, karena keterbatasan dana. Karena selain tidak ada bantuan dari pemerintah, seluruh biaya sekolah juga gratis. Walaupun tanpa gaji maupun imbalan lainnya berupa materi, Bu Irah tetap bertahan untuk mewujudkan tetap berlangsungnya pendidikan RA di Dusun Pelat.

Oleh; Amrullah, Warga Pelat, Tanjung Kiaok, Sapeken, Sumenep, Jawa Timur

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *