Syekh Ali Ash-Shabuni dan Bahaya Belajar Tanpa Guru

Syekh Ali Ash-Shabuni dan Bahaya Belajar Tanpa Guru

Syekh Ali Ash-Shabuni dan Bahaya Belajar Tanpa Guru.

Innalillahi wa Innailaihi Raji’un. Syekh Ali As-Shabuni, seorang ulama agung, ahli tafsir, meninggal dunia. Karya beliau berjumlah sekitar 58 judul buku. Diantara yang masyhur dalam tafsir adalah shafwat al-tafâsir dan rawâi’ al-bayân, atau tafsir ayat hukum (tafsîr ayât al-ahkâm). Beliau merupakan salah seorang Guru Besar ilmu tafsir di Umm Al-Qura University, Makkah, Saudi Arabia.

Lahir dari ayah yang sangat mencintai ilmu. Sehingga semua saudara saudara syekh Ali piawai dalam disiplin ilmu ilmu Islam: mawaris, nahwu, sharaf, balaghah, fikih dan tafsir. Guru beliau yang masyhur adalah Syekh Muhammad Said al-Idlibi, Syekh Najib Sirajuddin, Syekh Raghib al-Thabbakh dan Syekh Najib al-Khayyath.

Dalam fikih, Syekh Ali tercatat pernah belajar pada ulama kenamaan, Abdul Fattah Abu Ghuddah. Nahwu belajar pada ulama besar masyhur, syekh Abdullah Hammad. Dalam tafsir ada beberapa ulama yang membentuk keilmuan beliau, diantaranya adalah Abu al-Khair Zainal Abidin dan ayahnya sendiri.

Syekh Ali Ash-Shabuni dan Bahaya Belajar Tanpa Guru.

Beliau dikenal mempunyai banyak guru dan sangat disiplin mengikuti pengajian guru gurunya tersebut. Karena itu, dalam muhadlarah maupun tulisan tulisannya, kerap Syekh Ali menyebut bahayanya belajar tanpa guru.

Huruf Arab tanpa harakat seringkali disalah pahami melenceng dari maksud penulis, meskipun penguasaan nahwu sharaf telah mumpuni.

Contohnya adalah saat Syekh Ali berdiskusi dengan seorang yang belajar secara otodidak tanpa guru.

Satu hari, seorang laki laki lulusan sebuah Universitas ternama mendatanginya menanyakan satu permasalahan. Ia bertanya sembari mengeraskan suara agar orang di sekililingnya mendengar:

“Syekh, orang orang berlebihan dalam mensifati Rasul. Beberapa bahkan mengatakan air seni Rasul suci, tidak najis. Pernyataan ini tidak bisa diterima oleh akal: bahkan sampai pada pembenaran riwayat Rasul mengencingi anak kecil.”

Syekh Ali mengatakan,

“dimana kamu mendapati pernyataan Rasul mengencingi anak kecil?

“Dalam Shahih Bukhari.” Jawabnya

“Datangkan kitab itu kemari.” Pinta Syekh Ali

Ia diminta membuka riwayat yang berbicara Rasul mengencingi anak kecil. Setelah diteliti, ternyata hadis tersebut berbicara bahwa ada anak kecil yang dibawa pada Nabi untuk ditahnik. Kemudian anak kecil itu diletakkan di pangkuan Nabi. Tiba tiba ia kencing di pangkuan Nabi (بال عليه). Laki laki tersebut memahami redaksi hadis keliru karena terbalik mengembalikan marji’ dlamir: Nabi mengencingi anak kecil.

Syekh Ali mengatakan, terkadang kesalahan makna itu bisa sangat fatal. Ia menceritakan kasus, pernah ada seseorang yang salah memahami bentuk jama’ (plural) ke bentuk kata dasar pekerjaan (isim mashdar).

Kasusnya adalah saat orang tersebut membaca حلق الذكر bukan dengan bentuk plural (hilaq), melainkan dibaca dengan bentuk kata dasar pekerjaan (halq). ‘Hilaq’ sendiri mempunyai makna beberapa halaqah/majlis. Sementara ‘halq’ mempunyai makna pemotongan. Sehingga redaksi “hilaqudz dzikri” (halaqah halaqah dzikir) dibaca dengan redaksi “halqudz dzakar (pemotongan penis)

حلق الذكر فإن لله سيارات من الملائكة يطلبون حلق الذكر فاذا اتوا عليهم صفوا بهم

”Majelis dzikir. Allah memiliki sekelompok malaikat yang mencari majlis-majlis dzikir. Jika mereka mendatanginya, malaikat-malaikat tersebut akan mengelilinginya.”

Jika memakai cara baca yang keliru di atas, tentu saja maksudnya menjadi sangat berbeda: “Malaikat mencari pemotongan penis.”

Itulah bahaya belajar tanpa guru. Meskipun penguasaan nahwu sharaf baik, tapi maksud penulis sebuah kitab tidak bisa didapat dari metode otodidak. Sebuah kitab bisa benar dan tepat jika dibaca dari sudut pandang bahasa, tapi pada saat yang sama melenceng dari maksud penulis. Nah, kesesuaian dengan maksud penulis tidak bisa diperoleh kecuali melalui silsilah mata rantai sanad.

Mari kita doakan bersama sama agar Syekh Ali Ash-Shabuni diterima segala amal baiknya, dan karya karya beliau menjadi amal jariyah yang tak terputus pahalanya sampai Hari Akhir. Amin Ya Rabbal Alamin..

Penulis: KH Ahmad Hadidul Fahmi, Banyumas.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *