Surat Refleksi Agar Mas Nur Sugik Mau Berfikir.
“Vin.. aku barusan lihat youtube video Gus Nur. Apa benar kalau Ansor dan Banser menolak pembangunan Pesantren milik Gus Nur di Situbondo? Kok bisa segitunya sih NU sama sesama umat Islam? Nggak respek banget soal ini!”
Tadinya aku males ngerespon kasus ini. Tapi karena ada teman yang tanya, mau nggak mau aku kudu jawab dan jelasin kepadanya.
“Jadi gini ya, kenapa kita tegas menolak pembangunan pesantren Sugik Nur di Situbondo…”
Pertama, kalau aku lihat, Situbondo adalah wilayah yang memiliki basis NU kuktural –bahkan struktural– yang lumayan kuat. Disana adaa pesantren Salafiyah Syafi’iyah milik ulama sekaligus tokoh besar NU, KH. As’ad Samsul Arifin.
Kedua, yang perlu kita ketahui, Sugik Nur tidak memiliki basis keilmuan yang mumpuni untuk menjadikan dirinya sebagai tokoh agama. Kita lihat di berbagai videonya yang viral di medsos. Tafsir ngawur, baca Al-Qur’an seenaknya, cocoklogi gak nyambung, caci maki yang berseberangan, dan lain sebagainya. Kita nggak tahu track record dia pernah ngaji dimana, nyantri dimana, berapa tahun dan lain sebagainya. Muncul-muncul langsung ditokohkan dan disembah sedemikian rupa oleh pengikutnya.
“Lah.. kamu gimana sih?! Lebih baik tafsir dan bacaan ngawur dibandingkan tetap diam dijajah penguasa dzalim!”
“Kamu yang gimana… Al-Qur’an kok dijadikan permainan seenaknya. Ulama yang bacaannya bagus banyak, kenapa memilih yang bacaannya amburadul? Yang ahli tafsir banyak, kenapa ngikut yang ahli cocotlogi? Nggak islami banget!”
“Hm…. iya juga sih!”
Lanjut ya…
“Oke oke”
Sedangkan, para Ulama yang benar-benar alim, mereka menimba ilmu sedemikian sulit, sekian tahun lamanya. Apakah mereka meminta untuk dihormati, apakah mereka gila hormat? Apakah mereka meminta dipanggil Gus, Kiai, atau bahkan Ulama? Sebagian besar justru rendah hati karena merasa belum bahkan tidak cocok disandangkan gelar demikian. Sepanjang hidup, mereka hanya tahu belajar, mengabdi, membimbing dan mencerdaskan masyarakat. Nah apa yang Sugik Nur lakukan selama ini, justru bertentangan dengan perjuangan Ulama dan kaum santri di Indonesia. Sugik mencerminkan kemunduran kualitas sebagian umat Islam di Indonesia.
Kemudian yang ketiga, membangun Pesantren itu nggak gampang! Para kiai, ulama yang mendirikan pesantren hingga sebesar sekarang, tidak seinstan mendirikan, selesai. Mereka melakukan tirakat, mujahadah setiap hari, bermunajat kepada Allah SWT supaya Pesantren yang ia bangun, kedepan mampu menghasilkan generasi islam yang ramah tamah, cerdas, bertaqwa, dan mampu memasyarakat.
Kamu bayangin gak sih, Sugik Nur lisannya saja seperti itu, bagaimana ketika ia mengurus pesantren. Mau jadi apa santrinya?
“Kaya gitu gimana?”
Suka berkata kotor, kasar, dan akhlakless.
“Yang mana vin?”
Mengatakan Pemerintah jancuk dobol jaran dan lain sebagainya
“Loh kan biasa aja lah… Itu kan namanya kritik”
Emang ada ya Ulama yang mengkritik pemerintah dengan melemparkan kata kotor seperti “Babi, anjing, dobol jaran, taek, jancuk dan sebagainya”? Pernah lihat Kiai NU begitu? Kiai Said pernah bicara begitu? Gus Mus? Buya Husein? Atau yang lainnya? Pernah?
“Sejauh ini belum sih….”
Berarti ada yang salah dengan pribadi Sugik Nur. Apalagi kalau dia mengeklaim mengkritik atas dasar Islam. Lho, emangnya Islam membolehkan mengkritik dengan seabrek kata kotor, kasar, akhlakless dan kadang-kadang bermuatan fitnah dan caci-maki?
“Kayaknya enggak sih.. Rasulullah kan berakhlak banget””
Nah gitu.. sekarang paham kan, kenapa NU terutama Ansor Banser di daerah menolak keras Sugik Nur dan pembangunan pesantrennya? Yang kami tolak bukan Pesantrennya. Kamu tahu lah NU punya banyak pesantren di sana-sini. Kalau menolak pendirian Pesantren, kan aneh banget. Jadi yang perlu ditanyakan, kenapa bisa ditolak? Ya karena menolak mudharat lebih utama dibanding mencari pahala kebaikan. Mencegah berdirinya Pesantren yang digunakan untuk “perekrutan” kader yang menjatuhkan citra Islam yang berakhlak, lebih baik dibanding membiarkan mereka atas dasar kebebasan beragama, kebebasan berekspresi dan seabrek kedok kebebasan lainnya. Apalagi kita nggak tahu silsilah keilmuan Sugik Nur. Belajar dimana, ngaji dimana, nyantri dimana, dan sebagainya. Padahal NU kan teliti banget soal ini. Maklum saja kalau ditolak.
“Jadi kesimpulannya, NU bukan penolak pendirian pesantren. Namun NU menolak Sugik Nur karena ia nggak jelas backgroundnya keilmuan dan keislamannya?”
Tepat sekali. Kalau ada yang mau bangun pesantren, selama yang membangun memiliki background keilmuan dan keislaman yang tepat serta mumpuni, kami NU mendukung penuh. Wong niat baik kok ditolak? Tapi lagi-lagi, ya harus jelas siapa yang bikin, track recordnya bagaimana, background keislamannya seperti apa. Kalau nggak jelas kayak Sugik Nur, ya maklum aja kalau ditolak.
“Oke oke.. paham sekarang”
Berikut ini saya ambil beberapa quotes Ulama yang benar-benar mencitrakan keulamaannya, disandingkan dengan Qutes yang sering dilontarkan Sugik Nur. Nggak tepat sih sebenarnya menyadingkan beliau-beliau yang alim dan berakhlak dengan Sugik Nur yang demikian akhlaklessnya. Tapi semoga bisa jadi perbandingan mana yang perlu diikuti mana yang tidak. Mana yang perlu diperjuangkan dan dibela mana yang bukan.
Ulama yang sungguhan, tidak pernah sampai melontarkan sumpah serapah atau kata-kata kotor kepada umatnya, masyarakat, pemerintah, atau bahkan kepada orang-orang yanh memusuhinya. Sebab, lisannya terbiasa berucap baik dan asma Allah, maka yang keluar dari lisannya juga kata-kata baik yang mendidik umat.
Sekian,
Magelang, 31 Juli 2020.
Penulis: Vinanda Febrianim, Magelang, saat ini kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
*Melengkapi Surat Refleksi Agar Mas Nur Sugik Mau Berfikir, saksikan video ini.