Oleh: Kiai Nur Kholik Ridwan, Pengasuh Pesantren Bumi Cendekia, Yogyakarta.
Kanjeng Nabi Muhammad berkata kepada Imam Ali: “Hai Ali, tanda orang (beramal) yang celaka ada 3, yaitu: makanannya haram, menjauhi orang alim, dan sholatnya selalu sendiri”/ wa lisy syaqi tsalatsatu `alamat: qutun haromun, wajtinabul `alim, wa sholatuhu liwahdihi” (Washiyatul Musthafa, No. 89).
Secara umum, mereka yang celaka dalam bersuluk adalah mereka yang tetap berbuat dosa dengan gembira dan melakukan tindakan-tindakan tidak terpuji, bukan karena dia tidak atau belum tahu, tetapi karena sudah tahu, sengaja menganggapnya enteng, dan meremehkan. Padahal dia sudah menempuh dan sedang menempuh di jalan Alloh, dengan mengambil dzikir tertentu, atau menekuni amal-amal ritual tertentu, atau bahkan sudah sering berdiskusi tentang tasawuf, dan berbicara kepada orang-orang tentang buku-buku hakikat.
Di antara mereka ini ada yang disebut “Minasy Syaqiyin” atau “asy-Syaqi”, yaitu mereka yang berkecimpung dalam suluk seperti itu, tetapi tetap melakukan dan menetapi 3 hal: memakan makanan haram, menjauhi orang alim, dan sholat sendirian.
Qutun Haromun
Makanan yang haram diperoleh dengan kedzaliman atau dari dzatnya sendiri yang memang diharamkan. Akibatnya akan menggelapkan hati, akan mempengaruhi aliran darah, daging-daging yang tumbuh, dan semua keadaannya sehingga mempengaruhi ahwal dan sikap-sikap seseorang. Pesuluk yang demikian, bukan hanya belum bisa bersikap wara’, hati-hati (atas yang syubhat), tetapi juga tidak mau tahu tentang keharusan memasukkan yang halal dalam tubuh, memberi tempat hawa dan setan mengendalikan nafsu, lalu mereka menundukkan fikiran melalui inspirasi-inspirasi.
Bagi mereka yang masih mencampur suluk ritual, dengan makanan-makanan haram sehingga tidak bersuluk dalam makanan-makanan ini, akan didorong pada tindakan-tindakan tercela lain, secara halus; ammaroh, ahwal, dan imajinasi yang tidak terkendali; dan keras untuk dapat menerima nasehat dan mendengarkan kebaikan dari orang.
Bagi mereka yang tidak dan belum diberi pengalaman-penglaman spiritual, cara pengendalian bisa dilakukan melalui aqal yang digunakan untuk mempertimbangkan, aspek maslahat dan tidaknya dilakukan. Aqal yang selamat, pada akhirnya akan dituntun untuk mengerti ilmu tentang kasbul halal, makanan halal, dan sejenisnya, sehingga dia memerlukan orang al-alim, atau muthola’ah. Oleh karena itu, aqal yang dapat membantu kebaikn bersuluk, adalah aqal yang dengan dicahayai ilmu, untuk mengerti fan kasbul halal dan makanan-makanan halal, dan menerima ketetapan Kanjeng Nabi Muhammad soal itu.
Sedangkan, bagi pesuluk yang diberi pengalaman spiritual, tetapi masih memakan haram dan belum meninggalkannya, akan kesulitan mengendalikan ahwal batin, dalam jenjang-jenjang nafsu, dan diberi inspirasi-inspirasi setan; lebih dahsyat dalam pembolak-balikan hati. Apalagi kalau hal ini bersatu dengan dua hal: menjauhi orang alim dan hanya sholat sendirian terus, maka akan menjadi santapan setan yang mengendalikan nafsu melalui hawa nafsu.
Hal ini memberi pengertian kepada pesuluk, untuk: mengerti kasbul halal dan memakan-makanan halal; dan gemar bersedekah dan berinfaq (dan berisrghfar), baik dengan harta atau dengan klaimah thayyibah, dimana pahala-pahala amal itu pun bisa disedekahkan, dan mendoakan kepada muslimin. Sedekah dan istighfar adalah cara atau washilah yang sudah masyhur menurut para ahli suluk, untuk meredam daan keluar dari kemarahan Alloh.
Ijtinabul `Alim
Menjauhi seorang `Alim, artinya dia tidak mau berguru kepada yang ahli dalam soal suluk ataupun ilmu-ilmu syariat-fiqh-akidah kepada seseorang yang berilmu. Akibatnya, dia akan membaca, berimajinasi, menurut apa yang dia maui sendiri. Orang seperti ini akan diberi inspirasi oleh inspirasi-inspirasi yang belum tentu menyelamatkan hidupnya.
Para ahli tasawuf yang berkecimpung dalam soal ini, telah membahas dan menahqiqnya dalam soal ilmu inspirasi ini, bahwa di sekitar manusia ada dan selalu diiringi oleh jin qarin, jin yang selalu mendampinginya; dan setan-setan yang mengganggu orang berdzikir sendirian tanpa guru. Demikian pula aqal yang menjadi alat pengendali nafsu, karena menjadi perdana mentrinya ruh, dalam penahqiqan Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, juga memiliki dua dimensi, dimensi yang buruk dan baik, sehingga harus dipertimbangkan, dan karenanya belum tentu semua baik. Aqal yang shalih dan selamat, akan tunduk pada ilmu dari ketetapan-ketetapan Kanjeng Nabi dalam soal syariat.
Pesuluk yang tidak memiliki guru, akan kesulitan mengerti pentingnya maqom niat dalam bersuluk; manfaat maqom berkdhimah kepada guru, dan terus begitu; maqom jembatan dalam mengarungi ahwal dan pengalaman-pengalaman, dan lain-lain. Pelipatgandaan dzikir dengan kalimat-kalimat tanpa guru oleh pesuluk, akan membawa pada datangnya bisikan-bisikan, yang menjadikan seseorang sebagai muridnya, dia akan dibimbing melalui bisikan-bisikan setan, dan bermacam bisikan. Kecelakaan akan datang, bila mempercayai bisikan-bisikan saja, dan tidak mencari ilmu kepada guru, dan tidak memiliki ilmu syariat dalam ketetapan-ketetapan Kanjeng Nabi.
Hal ini juga akan menyebabkan pesuluk dianugerasi kesombongan, dan akhlak-akhlak tidak terpuji yang lahir dari inspirasi syaithani. Bila hal ini ditambah dengan laku pesuluk yang hanya sholat sendirian terus menerus, akan lengkaplah unsur-unsur yang menjadi wasilah dia menjadi seorang yang celaka.
Sholatuhu Liwahdihi
Sholatuhu liwahdihi adalah sholatnya sendirian, dan yang dimaksud di situ adalah sholat sendirian terus menerus, atau memperbanyak sholat sendirian terus menerus dibanding jama’ah. Orang yang memperbanyak berjamaah, tetapi kadang-kadang sholat sendirian karena kondisi tertentu, tidak termasuk dalam hal itu. Sebab seorang yang bersuluk, lalu menambah ilmunya dan mengerti, akan dibawa pada maqom jamaah dalam sholat, bahkan berjamaah dalam shof harokah, berjamaah dalam shof di masyarakat dan negara, dan berjamaah dalam kumpulan-kumpulan dzikir. Bahkan mereka yang menekuni amal dengan maqom tajrid, juga tekun berjamaah dalam sholat.
Orang yang menjalankan sholat, dan hanya sholat sendirin terus menerus, dimasukkan sebagai orang yang celaka, dari sudut batin; dan timbangan-timbangan amal. Dari sudut batin, suluk sendirian akan mempengaruhi ahwal, dan juga sikap-sikap tindakan pesuluk. Kecelakaan orang yang selalu sendirian dalam sholat, juga terletak pada kuatnya setan mengganggu dengan berbagai penyerupaan, dan talbis. Sedangkan dalam timbangan-timbangan amal, keutamaan berjamaah sholat, harus dipertimbangkan, karena amal-amal dosa yang sudah dilakukan belum seimbang dengan kebaikan. Dan jamaah, adalah salah satu yang mempercepat timbangan kebaikannya banyak. Selebihnya dan sedasarnya, pesuluk harus bergantung kepada Alloh, agar menetapkan amal-amal kebaikan kepada dirinya secara istiqomah dan dihindarkan dari keburukan.
Akan tetapi bukan berarti bahwa orang yang menjalankan dan memperbanyak sholat jamaah, akan terlepas dari makar setan. Hanya saja, orang yang memperbanyak jamaah akan memperoleh maqom jamaah: timbangan amal, dan keberkahannya, dan kesentosaannya berhubungan dengan orang, dan lain-lain. Paling minimal, dia akan memiliki jeda untuk bertemu dengan orang, bersalaman, dan sejenisnya, yang merupakan bagian dari shilaturahmi. Padahal sudah sangat jelas, relasi pesuluk yang baik, bertegur sapa, dan berbicara kepad orang dengan baik, adalah bagian dari buah suluk.
Walhasil, seorang pesuluk yang gentur, tetapi dia masih sholat sendirian terus menerus, dan tidak berjamaah, dia tidak mengerti maqom jamaah bagi kebaikan suluk; dan akan menjadi sasaran setan dengan bisikan-bisikan dan inspirasi secara kuat. Sementara, orang yang banyak berjamaah, tetapi masih mencaci maki dan sejenisnya, termasuk orang yang muflis, bangkrut; yang bisa disebabkan karena ketidaksabarannya menjalani hidup, ketidakikhlasannya, dan lain-lain.
Bila 3 hal itu berkumpul pada seseorang yang bersuluk: memakan makanan haram, menjauhi orang alim, dan sholat sendirian, bila diterus-teruskan, orang tersebut bisa saja dibawa menjadi “Minal Mujrimin” yaitu: hubbul fasad (menyenangi keruskaan), dhorrul ibad (suka mengganggu dan menyakiti orang), dan ijtinabur rasyad (tidak menyukai petunjuk/bimbingan) yang datang, atau yang diperlukan dalam melakoni suluk dan hidup agar selamat. Wallohu a’lam.