Shalat Idul Fitri Antara Murni Ibadah dan Momen Budaya Kumpul

Shalat Idul Fitri, Antara Murni Ibadah dan Momen Budaya Kumpul

Shalat Idul Fitri Antara Murni Ibadah dan Momen Budaya Kumpul

Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki tiga kabupaten yang ditetapkan sebagai zona merah, sehingga kepala daerah membuat maklumat agar tidak mengadakan kegiatan yang mengundang kerumunan massa, baik yang terkait dengan kegiatan keagamaan maupun kegiatan lainnya.

Mensikapi maklumat tersebut, masyarakat terbelah antara mengikuti anjuran pemerintah tidak shalat ied di masjid/musholla/lapangan dan kelompok yang tetap melaksanakan shalat Ied di masjid/musholla/lapangan. Sebenarnya kalau bicara tentang hukum Islam, surat edaran atau maklumat kepala daerah sudah menjawab. Meskipun ada ulama atau kyai yang menganjurkan shalat ied, tetap kalah posisinya dengan maklumat pemerintah. Dalam ushul fikih diungkapkan:

حكم الحاكم يرفع الخلاف

“Ketetapan seorang hakim/pemerintah menghilangkan perbedaan pendapat.”

Artinya, jika ada perbedaan pendapat tentang sesuatu dan pemerintah telah memutuskan A, maka semua harus mengambil A. Di sinilah Islam mengatur untuk menjaga stabilitas. Dan masalah hukum agama sudah selesai dan simpel. Tapi kenapa masyarakat tetap banyak yang akan melaksanakan shalat idul fitri di masjid/lapangan, padahal shalat ied itu hukumnya bukan wajib tetapi sunnah muakkad seperti hukum shalat dhuha dan shalat sunah rawatib?

Ada sesuatu yang melatarbelakangi sehingga banyak masyarakat tetap akan melaksanakan shalat idul fitri kendati hukumnya sunah. Di Indonesia, Hari Raya Idul Fitri adalah momen yang sangat istimewa yaitu ajang bersilaturrahim dan berkumpul dengan sanak famili serta sesama kaum muslimin. Sehingga ada budaya besar di Indonesia yaitu budaya mudik dan budaya ujung-ujung atau halal bi halal.

Di sinilah kenapa shalat idul fitri kemudian bukan hanya masalah murni ibadah, tapi lebih pada masalah budaya sebagai momen berkumpul. Negara-negara yang memaknai idul fitri hanya sebagai ibadah, mereka cenderung mengikuti intruksi pemerintah dengan tidak melaksanakan shalat idul fitri, seperti terjadi di berbagai negara Timur Tengah termasuk Arab Saudi. Namun beda dengan Indonesia, karena lebih kental pada budayanya, maka shalat idul fitri tetap banyak dilaksanakan menganulir maklumat pemerintah.

Hal ini karena shalat idul fitri sudah mendarah daging bukan hanya masalah ibadah, tapi sebagai momen budaya untuk berkumpul bersama. Sehingga tidak sedikit orang yang tidak rajin shalat lima waktu, atau tidak rajin shalat Jum’at, bahkan ada yang setahun tidak shalat pun akan datang ke shalat ied. Orang-orang tersebut datang melaksanakan shalat ied bukan masalah shalat ied itu hukumnya sunnah, namun lebih kepada budaya melaksanakan shalat ied bersama-sama sebagai momen berkumpul dengan baju baru.

Menurut ilmu sosiologi, sesuatu yang sudah membudaya akan lebih menancap di hati masyarakat melebihi aturan agama itu sendiri, apalagi hanya aturan pemerintah. Oleh sebab itu, dalam Islam dikenal dengan al-‘aadah al-muhakkamah, di mana status sebuah budaya dapat dijadikan legalitas hukum.

Jadi dalam hal ini, pemerintah harus bisa memaklumi kondisi sosiologi masyarakat, bahwa masalah idul fitri tidak sesederhana hanya masalah ibadah saja, namun lebih pada masalah budaya yang melekat pada shalat idul fitri itu sendiri. Yang bisa dilakukan oleh pemeringah adalah memperketat pelasanaan dengan protokoler covid-19 dengan harapan dapat tetap menjaga dan mencegah penularannya.

Semoga kita semua senantiasa diberi keselamatan dan kesehatan lahir batin, Amiin.

Penulis: KH Fajar Abdul Bashir, Ketua Lembaga Bahtsul Masail PWNU DIY dan Pengasuh Pesantren Ar-Risalah Bantul.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *