M. Ainul Yaqin, Dosen UIN Sunan Kalijaga dan Pengurus Lakpesdam PWNU DIY
Meski tidak terkait dengan topik kajian saya, kemarin pembimbing menyarankan saya ikut menghadiri presentasi 3 peneliti dari Comparative Education Research Centre, The University of Hongkong. Tema penelitian mereka menarik, yaitu Shadow Education.
Shadow Education ini bisa juga disebut Supplementary Education atau Lembaga Kursus Swasta Luar Sekolah alias Lembaga Bimbingan. Ternyata menjamurnya lembaga-lembaga bimbingan sekolah ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di Hongkong, Cina, Korea, Jepang dan Turki.
Lembaga-lembaga bimbingan semacam ini sudah menjadi lahan bisnis besar yang perputaran uangnya bisa mencapai ratusan miliar bahkan triliunan rupiah. Bagi para pebisnis yang menangkap peluang ini, mereka tidak salah. Keberadaan mereka dibutuhkan karena sistem pendidikan yang ada memberi kesempatan kepada mereka untuk ada. Tantunya, di sisi lain, biaya pendidikan yang dikeluarkan orang tua murid menjadi berlebih atau mahal.
Di Korea dan Cina, seorang siswa SMP dan SMA harus tidur dini hari setelah jam 12 malam hanya karena mereka harus masuk lembaga bimbingan setelah sekolah dan kemudian mengerjakan PR hingga dini hari. Semua itu agar nilai mereka tinggi dan dapat masuk di sekolah favorit.
Kejadian di Turki, bahkan sekolah formal ditutup selama seminggu atau dua minggu untuk memberi kesempatan kepada siswa-siswinya mengikuti bimbingan di lembaga-lembaga bimbingan yang ada.
Ketika saya bertanya kepada salah satu pembicara, lantas apa kemudian fungsi sekolah formal? Dia tidak memberikan jawaban yang tegas untuk menjawab pertanyaan saya itu. Namun dia sepakat bahwa situasi semacam itu tidak baik bagi siswa karena menempatkan siswa berada di dalam tekanan yang sangat berat.
Kalau saya, jawabannya adalah ada pada kebijakan pendidikan yang tidak total terkait dengan 3 hal penting; 1) kebijakan pemerataan kualitas sekolah, khususnya sekolah negeri, 2) kebijakan sistem penerimaan siswa, dan 3) kebijakan ujian akhir nasional.
1). Kalau serius ingin membangun pemerataan kualitas sekolah, maka sebaiknya tidak ada sekolah negeri favorit dan non-favorit. Sekolah favorit ada, itu boleh-bleh saja, tapi itu sebaiknya swasta karena siswa membayar mahal, maka mereka akan dapat sesuatu yang lebih, seperti fasilitas yang lengkap, guru yang cakap dan profesional dengan gelar doktor, dll. Di Norwegia, Swedia, Amerika tidak ada yang namanya sekolah negeri favorit dan non-favorit, tapi pemerintahnya selalu melakukan pemerataan kualitas secara seimbang terhadap sekolah negeri yang menjadi tanggungjawab utama mereka. Ini penting karena sekolah negeri seharusnya menjadi sekolah yang manusiawi bukan malah menciptakan kesenjangan dalam dunia pendidikan. Di negara-negara maju yang sistem pendidikannya sudah terbangun dengan baik,software maupun hardwarenya, hampir pasti tidak ada sekolah bahka universitas negeri yang favorit dan elit. Harvard, Princeton, Yale, MIT, Stanford dll adalah universitas swasta.
2). Kebijakan sistem penerimaan siswa. Kalau kebijakan penerimaan siswa hanya didasarkan pada nilai tertinggi, maka sekolah itu tidak akan berfungsi sebagaimana mestinya yaitu mendidik siswa dari tidak tahu menjadi tahu dan cakap. Selain itu, anak-anak dengan nilai tinggi akan berkumpul hanya di sekolah tertentu. Sebailknya, anak-anak dengan nilai rendah juga akan dikumpulkan di satu sekolah tertentu. Bagaimana akan membangun pemerataan kualitas sekolah kalau yang terjadi seperti itu. Sekolah favorit akan terus menjadi sekolah favorit, sedang sekolah tidak favorit akan terus menjadi sekolah tidak favorit. Padahal favorisitas dan elitisme sekolah ini bukan merupakan hasil daya upaya guru dan sekolah, melainkan karena input yang diterima di sekolah itu adalah sudah baik yaitu anak-anak dengan nilai ujian tertinggi. Jadi, dalam hal ini, konsistensi dan keseriusan pemerintah untuk melaksanakan penerimaan siswa dengan sistem zonasi adalah sangat penting.
3). Kebijakan ujian akhir nasional yang lebih menekankan untuk mengukur kemampuan siswa secara kalkulatif dan dikotomis hanya pada mata pelajaran tertentu, justru kemudian menjadi sarana untuk melanggengkan 2 masalah di atas. Ujian nasional sebaiknya sudah tidak lagi sebagai prasyarat kelulusan siswa melainkan serius untuk mengukur kualitas sebuah sekolah. Ujian akhir sebaiknya menerapkan metode pertanyaan yang mampu mengukur faktor-faktor penting dalam sisi eduktif siswa yang akan mengukur secara seimbang faktor psikomotorik, afektif, dan kognitif siswa.
Selain itu, membatasi mata pelajaran yang diujikan justru merugikan siswa yang mempunyai kelebihan dalam mata pelajaran yang tidak diujikan. Memang, PISA (Program for International Student Assessment) mengukur kemampuan rata-rata siswa di sebuah negara dengan mengukur kemampuan membaca, matematika dan science. Tapi, itu tidak berarti harus menjadikan 3 mata pelajaran itu sebagai yang utama, melainkan, mengutamakan mencari cara dan strategi bagaimana cara mengajar matematika, membaca dan science yang tepat dan baik sehingga kemampuan siswa (khususnya di Indonesia) bisa meningkat.
Saya kira, tiga faktor ini lah yang harus diperhatikan pemerintah di negara-negara di mana shadow education atau lembaga bimbingan sekolah itu tumbuh subur termasuk di Indonesia. Situasi yang demikian, kalau dibiarkan akan terus membuat siswa menjadi sangat tertekan dan waktunya habis untuk mengikuti kursus.
Selain itu, biaya pendidikan menjadi lebih mahal. Ini penting agar pertanyaan utama dalam tulisan ini “Apa kemudian fungsi pendidikan formal kalau mereka harus mengikuti lembaga bimbingan?” tidak muncul lagi.