Sejarah Singkat NU Jerman

lambang nu

Oleh Kiai Zacky Umam, PCI NU Jerman

Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama di Jerman pada saat tulisan ini diketik sudah “resmi” berumur tujuh tahun. Embrionya cukup lama sebetulnya. Namun, seperti halnya terjadi di belahan dunia lain, nahdliyyin di luar negeri merasa terdesak untuk melembagakan cabang NU karena munculnya berbagai organisasi dan kecenderungan beragama yang sebelumnya tidak begitu menjamur. Demikian halnya di Jerman. Ini secuil tulisan singkatku tentang perjalanan NU Jerman. Mudah-mudahan lain kali bisa diperbaiki, diperhalus, dan ditambahi apa yang kurang:

Pengurus Cabang Istimewa Jerman lahir sebagai jawaban atas dua tantangan. Pertama, mengikuti pembentukan cabang-cabang istimewa NU yang sudah terbentuk di berbagai negara di benua Asia, Afrika, Australia, Amerika, serta negeri-negeri di benua Eropa. Kedua, semangat mengglobalkan visi-misi keislaman NU yang toleran, moderat, dan berjuang untuk rahmatan lil-‘alamin di Jerman yang dikenal sebagai ‘ranah gagasan’ (Land der Ideen), yang embrionya sudah bertahun-tahun ditanam oleh warga Indonesia/pelajar di Jerman secara anonim. Beberapa mahasiswa doktoral, atas dua dorongan itu, membentuk NU Jerman pada 16-17 April 2011. Mereka di antaranya Suratno (Universitas Frankfurt), Syafiq Hasyim (Universitas Freie Berlin), Asfa Widiyanto (Universitas Bonn), Jaenal Effendi (Universitas Goettingen), Arli Parikesit (Universitas Leipzig), dan lainnya. Dalam fase formatif ini, para mahasiswa dengan latar belakang nahdliyyin secara kultural berkumpul untuk mengkristalisasikan paguyuban dan silaturahmi sosial, tanpa menghilangkan ruh kebangsaan dalam iklim perkembangan global yang semakin cepat berubah.

Selama masa formatif, dari 2010 sebelum terbentuk resmi hingga 2014, NU Jerman berupaya untuk mengikat simpul keindonesiaan yang ada di beberapa kota di Jerman, bukan saja intra umat-muslim tetapi juga antar-umat beragama, serta organisasi lain. Ini menyebabkan NU Jerman secara aktif menjadi kekuatan garda depan, yang diiringi oleh penguatan tali ke-NU-an secara global, dalam menyuarakan soal-soal kemanusiaan dan keadilan, isu-isu Islam dan Barat, dan masalah sosial-politik di tanah air, kendati kerap tak mudah dalam menghadapi berbagai gesekan yang niscaya terjadi.

Kepemimpinan Syafiq Hasyim dan Suratno, masing-masing sebagai Rais Syuriah dan Ketua Tanfidz, secara de facto berakhir pada 15-16 November 2014 di Munchen, ketika Suratno memimpin musyawarah untuk merumuskan kepemimpinan baru. Dari peserta yang hadir, terpilih Munirul Ikhwan dan Zacky Umam, masing-masing menggantikan duo-kepemimpinan sebelumnya, setelah melewati fase permufakatan yang alot untuk disepakati bersama. Tak seperti kepemimpinan sebelumnya yang membagi dua simpul antara Berlin dan Frankfurt, fase penerus ini berpusat semuanya di Berlin, lantaran baik Munir dan Zacky berkhidmat di Berlin. Selain berpedoman pada garis besar dan jaringan yang sebelumnya terbentuk, era ini memusatkan perhatian pada konsolidasi internal untuk mengumpulkan para warga Nahdliyin sebagai kader terdepan dalam berdakwah dan menyebarkan tiga dimensi ukhuwah, baik keislaman, kebangsaan, maupun kemanusiaan. Diskusi-diskusi strategis yang melibatkan beberapa elemen kebangsaan di Berlin tetap diadakan, baik di bulan biasa maupun bulan suci Ramadan, seperti tahun-tahun sebelumnya.

Kepulangan Munirul Ikhwan, beserta Muksin Umar yang ikut menguatkan tali nahdliyah, pada Agustus 2015, menyebabkan vacuum of power dalam kepengurusan Syuriah NU Jerman, yang lalu diambil alih oleh Syaifudin Zuhri, seorang ilmuwan sosial yang memahami dunia wali di Indonesia, sebagai pengurus ad interim, selain juga diisi oleh tenaga baru dari Kassel, bernama Wahyu Hadiwikarta yang dalam perjalanannya sangat aktif memberikan warna dan mempengaruhi pola komunikasi jaringan ke-NU-an di Jerman pada umumnya. Simpul Berlin-Kassel/Gottingen lalu sedikit demi sedikit ikut membentuk ceruk budaya yang ikut menarik berbagai kota untuk kembali aktif bersinambung dalam organisasi, terutama Munchen dan Bremen.

Agustus 2016 ialah titik balik yang menentukan bagi kedirian NU Jerman. Inisiatif untuk menunjuk wakil ketua tanfidz dibentangkan dalam musyawarah di Warung Nusantara yang dimiliki Ketua Banser Bram yang ikut dihadiri banyak kader termasuk Yoktri Handoyo dan Gerry Vidjaja, dua mustasyar terdepan. Ditetapkanlah Husein al-Kaff sebagai wakil ketua tanfidz dan meminta dengan hormat kepada Kiai Syaeful Fatah di Munchen, meskipun in absentia dalam musyawarah tersebut, untuk berperan aktif sebagai Rais Syuriah NU Jerman, sejak akhir 2016 dan seterusnya. Dengan demikian, persoalan vacuum of power terpecahkan. Dan terpilihnya Husein sebagai wakil ketua tanfidz, yang direncanakan sebagai ketua di masa mendatang, menggerakan fungsi-fungsi gerakan massa yang selama ini tidak terberdayakan. Di rumah salah satu nahdliyin progresif di Berlin, Hendra Arifin, NU Jerman berhasil berkumpul pada November 2016 dengan menghadirkan Kiai Syaeful Fatah sebagai narasumber utama dalam menguatkan pemahaman akidah aswaja ala NU. Husein ikut mereformasi kepengurusan NU Jerman setengah periode Zacky, dengan melibatkan berbagai kader-kader muda yang tak pernah berhenti untuk mewakafkan diri mereka dalam kemaslahatan umat.

Beberapa bulan kemudian, pada 22-23 April 2017, konferensi cabang istimewa diselenggarakan di kutub NU terutama, yakni di Munchen. Jalan musyawarah ditempuh, namun buntu. Pemilihan suara adalah solusi yang tak pernah diambil. Dengan berprinsip pada ahlul halli wal-‘aqdi yang dipimpin dua pentolan Syuriah, yakni Kiai Syaeful dan Gus Wahyu, berbagai strategi musyawarah dijalankan, yang pada akhirnya berhasil membujuk Muhammad Rodlin Billah, alias Gus Oding, untuk mengemban amanat sebagai ketua tanfidz baru menggantikan Zacky. Bieb Husein, yang tak pernah berhenti untuk aktif berkontribusi pada ke-NU-an, tetap di posisi sebagai wakil ketua. Kepengurusan baru ini menyempurnakan berbagai pandangan dan keputusan sebelumnya yang dirumuskan di Warung Nusantara, Berlin, termasuk dalam hal penambahan fungsi dan disiplin organisasi yang lebih rapi, mempunyai target berkala, dan semakin memberikan manfaat sosial yang lebih besar dalam lingkup kota per kota.

Terpilihnya Gus Oding, yang bermukim di Karlsruhe, dengan demikian menyebarkan titik kekuasaan di luar Berlin. Desentralisasi ini adalah sebuah strategi, di mana pemegang kepemimpinan kini berada antara Karlsruhe dan Munchen, dengan Berlin sebagai simpul yang masih strategis untuk dikembangkan. Awal Ramadan 1438/Mei 2017, sebuah titi mangsa yang benar-benar diperhitungkan, menjadi waktu penentu bagi kepemimpinan baru Oding-Husein untuk mengembangkan NU Jerman sebagai cabang istimewa NU yang benar-benar “istimewa”–sebuah kata favorit yang sering terlempar dari mulut Bieb Husein. Dengan warna sains yang kental, duo-pemimpin ini bertekad untuk semakin mengonsolidasikan berbagai kekuatan internal di NU Jerman, maupun mengaktifkan roda pergerakan dengan mengedepankan prinsip ukhuwwah dan integrasi umat. Didukung oleh berbagai kader muda yang tersebar di berbagai kota di Jerman, serta didampingi oleh hikmat-kebijaksaan para arif-bestari di jajaran Syuriah, seperti Kiai Syaeful, Kiai Maemun Fauzi, Kiai Wahyu, dan Kiai Syaifudin, kepemimpinan NU Jerman periode 2017-2019 ini bervisi “Mempertahankan tradisi dan meneruskan perjuangan Islam Ahlussunnah wal Jama’ah an-Nahdliyyah (Islam Nusantara) untuk persatuan dan kemajuan umat.” (red)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *