Sejarah Singkat Abdul Muthalib, Kakek Rasulullah SAW

Sejarah Singkat Abdul Muthalib, Kakek Rasulullah SAW

Sejarah Singkat Abdul Muthalib, Kakek Rasulullah SAW.

Nama Abdul Muthalib begitu populer bagi kita jika kita membaca sirah nabawiyah. Dialah kakek Rasulullah yang sangat dihormati oleh masyarakat Quraisy. Abdul Muthalib adalah pemuka Quraisy yang disegani yang selain karena kekayaannya juga karena kedudukannya. Dia merupakan tokoh Quraisy yang suaranya sangat didengar.

Nama aslinya adalah Syaibah bin Hasyim. Dinamakan Abdul Muthalib karena ada kaitannya dengan sang paman yang bernama Muthalib. Muthalib, yakni paman Abdul Muthalib, adalah saudara Hasyim, ayah dari Abdul Muthalib. Ketika Abdul Muthalib masih kecil dan diajak oleh Muthalib, orang-orang menyangka bahwa Abdul Muthalib itu adalah budak Muthalib. Oleh karenanya, dia dikenal sebagai budak milik Muthalib yang dibahasaarabkan ‘Abdul Muthalib’.

Perlu kita ketahui bahwa Bani Hasyim dan saudaranya, Bani Muthalib (bukan Bani Abdul Muthalib karena Bani Abdul Muthalib itu termasuk Bani Hasyim) itu merupakan dua subklan dari suku besar da terhormat Quraisy. Kedua bani tersebut dikenal bersahabat dan saling mendukung. Hal ini tampak ketika Bani Hasyim tengah diembargo oleh para pembesar musyrik Quraisy, Bani Muthalib memberikan dukungan moral kepada Bani Hasyim.

Abdul Muthalib lahir di Madinah (dulu namanya masih Yatsrib). Oleh karenanya, ketika Rasulullah berhijrah ke sana, beliau mendapatkan penghormatan yang sangat baik mengingat garis nasabnya juga masih berkerabat dengan Yatsrib.

Abdul Muthalib juga yang menjadi pemuka dalam pengelolaan Ka’bah beserta sumur Zamzam. Sumur Zamzam merupakan sumber air yang tiada habisnya dan menjadi sangat penting bagi kehidupan masyarakat Mekkah kala itu. Abdul Muthalib mempunyai peran besar dalam sumur Zamzam tersebut karena dialah yang menemukan kembali sumur tersebut setelah sekian lama tertimbun dan hilang.

Sebagaimana yang kita tahu pada kisah Nabi Ismail, leluhur Rasulullah (juga leluhur Abdul Muthalib), ketika ditinggalkan bersama ibunya, Hajar, oleh ayahnya Nabi Ibrahim, di sisi kaki Ismail kecil mengucurkan sumber mata air yang menyegarkan dan mengenyangkan. Setelah itu, sumber mata air alias sumur Zamzam tersebut menjadi daya tarik suku Jurhum untuk tinggal di Mekkah. Nabi Ismail dan suku Jurhum pun membangun peradaban di Mekkah. Hanya saja, pengelolaan sumur Zamzam tersebut menimbulkan konflik (perebutan atas sumber mata air tersebut) setelah Nabi Ismail wafat sehingga memunculkan pertumpahan darah di antara mereka. Salah satu kelompok pun akhirnya mengubur sumur Zamzam tersebut hingga beberapa generasi berikutnya, tidak ada yang tahu di mana sumber mata air tersebut.

Jauh setelah itu, Abdul Muthalib menemukan kembali sumber mata air bersejarah tersebut. Dia menggalinya beserta anak lelaki pertamanya (yang juga paman dari Rasulullah), Harits. Setelah menemukan kembali sumur Zamzam tersebut, dia pun memanfaatkannya dengan baik sebagai sumber mata air bagi masyarakat setempat dan para peziarah dari luar Mekkah. Dengan begitu, Abdul Muthalib mempunyai kewenangan istimewa terhadap pengelolaan sumur air Zamzam tersebut.

Ada cerita mengerikan tentang kisah sumpah Abdul Muthalib. Suatu ketika, Abdul Muthalib bersumpah (nadzar) bahwa jika kelak dia mempunyai sepuluh anak laki-laki dan hidup semua hingga usia tertentu, maka dia akan menyembelih salah satunya. Ada hal yang melatari mengapa Abdul Muthalib bersumpah sedemikian mengerikan itu. Ketika itu, angka kematian bayi sangatlah tinggi. Selain itu, mempunyai anak laki-laki menjadi kebanggaan tersendiri terlebih lagi Abdul Muthalib telah mempunyai banyak sekali anak perempuan dari istri-istrinya. Di antara kehormatan seorang pemuka Quraisy adalah mempunyai banyak anak laki-laki.

Benar saja, sepuluh anak laki-laki pun lahir dari rahim para istrinya. Sumpah pun harus ditepati. Dia harus mengundi siapa yang hendak disembelihnya. Undian dengan anak panah itu memunculkan nama Abdullah (yang kelak menjadi ayah dari Rasulullah), pemuda yang menjadi pujaan para perempuan Mekkah. Oleh karenanya, Abdullah itulah yang akan disembelih oleh Abdul Muthalib.

Abdul Muthalib sudah menata hati dan membulatkan tekad untuk menyembelih Abdullah. Banyak orang yang mencoba melarangnya. Akan tetapi, Abdul Muthalib sudah telanjur menadzarkan hal itu dan harus dia tepati. Akhirnya, dia disarankan untuk datang ke seorang kahin (ahli perbintangan) di Yatsrib guna meminta jalan keluar.

Kahin tersebut menyarankan agar mengundi antara dua pilihan, yakni Abdullah atau 10 ekor unta. Jika yang keluar adalah nama Abdullah, maka dialah yang disembelih. Sebaliknya, jika yang muncul adalah 10 ekor unta, maka itulah yang disembelih. Pengundian pun dilakukan. Ternyata, yang muncul adalah nama Abdullah. Oleh karenanya, yang disembelih pun Abdullah.

Orang-orang yang tak tega jika Abdullah disembelih pun menyarankan lagi kepada Abdul Muthalib agar kembali menemui si kahin di Yatsrib dan meminta jalan keluar. Kali kedua, kahin tersebut menyarankan agar menambah 10 ekor unta lagi untuk pengundian berikutnya. Jika yang keluar adalah nama Abdullah lagi, maka ditambahkan 10 ekor unta lagi, dan begitu seterusnya.

Dengan demikian, pilihannya adalah Abdullah atau 20 ekor unta. Pengundian dilakukan, dan nama Abdullah lagi yang muncul. 10 ekor unta pun ditambahkan sehingga pilihannya adalah Abdullah dana 30 ekor unta. Ternyata, nama Abdullah muncul dalam undian tersebut. Maka, ditambahkan lagi 10 ekor unta sehingga menjadi 40 ekor unta. Begitu ditambahkan 10 demi 10 ekor unta, nama Abdullah selalu muncul. Pada akhirnya, genaplah pilihan antara Abdullah dengan 100 ekor unta. Ketika diundi, barulah yang keluar adalah 100 ekor unta.

Akhirnya, 100 ekor unta pun disembelih sebagai persembahan. Sumpah Abdul Muthalib terpenuhi. Penduduk Mekkah pun digegerkan dengan hasil undian tersebut. Mereka meyakini atas ‘berharganya’ nyawa Abdullah yang setara dengan 100 ekor unta. Hal yang belum pernah ada sebelumnya. Mereka berdecak kagum sehingga mereka sangat menghormati Abdullah.

Demikian Sejarah Singkat Abdul Muthalib, Kakek Rasulullah SAW.

Wallahu a’lam.

Penulis: Ustadz Supriyadi, S.Pd.I., Guru MA Ali Maksum Krapyak Yogyakarta.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *