Sejarah Penutupan Masjidil Haram dan Fakta Peniadaan Haji

Sejarah Penutupan Masjidil Haram dan Fakta Peniadaan Haji

Sejarah Penutupan Masjidil Haram dan Fakta Peniadaan Haji

Terkait dengan penyebaran virus Cofid-19, sebagai langkah antisipasi, maka pemerintah Arab Saudi untuk sementara menghentikan kegiatan ibadah umrah demi mencegah penyebaran Covid-19 tersebut. Bahkan pada awal April, otoritas pemerintah Arab Saudi menghimbau kepada semua negara dunia, untuk tidak melanjutkan rencana pemberangkatan haji tahun 2020 terlebih dahulu. Artinya, ada kemungkinan haji tahun ini ditiadakan.

Sejarah Penutupan Masjidil Haram. Nah pada poin penghentian Umroh dan Haji ini, terdapat sementara kalangan yang menyatakan sebagai warning, bahwa peniadaan ibadah umrah dan haji menjadi termasuk tanda akhir zaman menjelang terjadinya kiamat. Apalagi pada saat ini, setelah sering dilanda hujan, maka jalur Madinah hingga Thaif menghijau, yang lalu dihuungkan dengan tanda lain datangnya Kiamat, yakni bahwa jazirah Arab kembali hijau.

Sejarah Penutupan Masjidil Haram. Tentu anggapan bahwa peniadaan umrah dan haji sebagai sinyal terjadinya kiamat sepertinya agak berlebihan, karena ternyata penutupan dua Masjid Haramaian dan penghentian Umrah serta haji sudah seringkali terjadi. Bahkan dalam persoalan kekosongan Ka’bah dari pengunjung adalah hal yang biasa saja terjadi. Artinya, sebenarnya jika kita tidak malas membaca sejarah, kita akan tahu bahwa ternyata Ka’bah dan Masjidil Haram itu sering ditutup, dan ibadah haji serta umrah juga sering ditiadakan.

Sejarah Penutupan Masjidil Haram. Pembatalan pelaksanaan ibadah haji kadang sudah terjadi sejak sebelum berangkat, terkadang pula, jamaah sudah ditengah pelaksanaan ibadah haji, kemudian dibatalkan, dan jamaah diharuskan pulang karena kondisi mendadak yang terjadi di sekitar dua tanah suci. Memang memahami ajaran agama tidak boleh lepas dari konteks sejarah, agar dapat memahami berbagai dimensi pelaksanaan agama dengan baik dan benar. Bahkan hanya karena banjir saja, kekosongan Ka’bah bisa terjadi.

Sejarah Penutupan Masjidil Haram. Banjir pernah melanda Masjidil Haram dan akibatnya membuat Kakbah kosong. Menurut Muhammad Abdul Hamid Asy-Syarqawi dalam buku ‘Ka’bah Rahasia Kiblat Dunia’. Peristiwa ini terjadi pada masa Imam Abu Al-Walid Muhammad Al-Azraqi yang dikenal sebagai sejarawan Makkah.

Sejarahnya, pada tahun 253 H (867 M) Masjidil Haram pernah terendam banjir hingga Kakbah terendam banjir dan rumah-rumah penduduk ikut terendam. Akibatnya, Kakbah sepi dari aktivitas ibadah. Dan pada 593 H (1197 M) Kakbah kembali terendam banjir. Posisi air mencapai dua jengkal di atas Hajar Aswad. Selain itu banjir kembali membuat Kakbah sepi karena banjir melanda pada 669 H (1271 M) dan pada tahun 1242 H (1827) Kakbah pernah terkena banjir.

Dan di zaman yang lebih modern sekitar tahun 1941, banjir menyerang Kakbah. Dan tahun 2009 dan 2012 hujan deras tidak sampai merusak Kakbah hanya menggenangi area disekitarnya saja.

Sejarah Penutupan Masjidil Haram. Runtuhnya Ka’bah oleh Al-Hajjaj

Bukan hanya Kakbah dan Masjidil Haram saja yang pernah ditutup atau dibatasi, dulu ibadah umrah dan haji juga sempat terhenti sementara karena beberapa hal, misal terjadinya peperangan sehingga (Kakbah) harus diamankan dari kerusakan.

Misalnya pada masa pemerintahan Yazid bin Mu’awiyah, dalam rangka usaha membunuh Abdullah bin Zubair yang menjadi Khalifah pada masa itu, maka pasukan Yazid yang dipimpin al-Husain bin Numyr al-Sakuni menyerang Ibnu Zubair di Masjidil Haram. Pasukan Yazid menghujani Masjidil Haram dan Ka’bah dengan Manjaniq sehingga Ka’bah terbakar dan runtuh. Serangan itu terjadi antara Safar tahun 64 H hingga Rabiul Awwal saat Yazid mati. Kemudian Ka’bah dibangun oleh Abdullah bin Zubair.

Ibadah umrah kembali terhenti pada masa Raja Abdul Malik bin Marwan meneruskan memerangi Abdullah bin Zubair. Ibnu Marwan memercayakan kepada Jenderal al-Hajjaj untuk menyerbu pasukan Abdullah bin Zubair yang bertahan Makkah. Al-Hajjaj dengan 40.000 pasukannya mengepung Makkah hingga beberapa bulan. Kemudian serangan dahsyat dilakukan hingga Ibnu Zubair terdesak dan bertahan di Masjidil Haram.

Kakbah kala itu akhirnya juga jadi sasaran peluru manjanik rezim Abdul Malik bin Marwan. Terjangan peluru tersebut membuat bangunan Kakbah menjadi runtuh. Akhirnya Ibnu Zubair meninggal dengan disalib oleh Hajjaj, pada Selasa 17 Jumadil Ula atau Jumadl akhir 73 H. Reruntuhan Ka’bah dibongkar sekalian dan dibangun ulang oleh Hajjaj ini. Hajjaj pula yang membunuh Abdullah bin Umar dengan cara ditikam dengan gtombak beracun. Selama masa-masa itu kegiatan umroh tidak ada. Demikian sebagaimana dikisahkan oleh Imam Jalaluddin al-Suyuthi dalam Tarikh al-Khulafa’.

Bahkan Nabi pun Pernah Batal Umrah

Jadi Kakbah ditutup dan Kakbah rusak itu hal biasa dalam sejarah, tidak perlu panik dan gawat. Sehingga tidak perlu ada anggapan bahwa ditiadakannya haji dan umroh sementara itu sebagai tanda bahwa kiamat besok akan terjadi. Bahkan Rasulullah Muhammad SAW pernah tidak jadi menjalankan ibadah umrah, karena diblokir oleh Musyrikin Makkah, dan kemudian mereka bertahallul serta menyembelih hewan tebusannya.

Rasulullah SAW juga pernah batal umrah bersama para sahabat. Kegagalan umrah pertama Rasulullah SAW ini dikenal juga menjadi penyebab terjadinya perjanjian Hudaibiyah atau suluh Hudaibiyah. Isinya adalah perjanjian perdamaian antara Nabi Muhammad SAW dengan suku Quraisy Makkah pada bulan Dzulhijjah tahun 6 H (638 M).

Menurut Ibn Hisyam dalam Sirah an-Nabawiyah-nya yang kemudian menjadi sumber tuturan sejarah dalam hal ini, misalnya Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri dalam al-Rahiq al-Makhtum, peristiwa ini bermula dari perjalanan Nabi dari Madinah ke Makkah untuk melakukan umrah. Nabi melakukan hal ini karena sebelumnya bermimpi bahwa ia memasuki Makkah untuk melakukan thawaf di sekitar Ka’bah. Sahabat-sahabatnya di Madinah senang ketika hal tersebut diberitahukan kepada mereka. Kaum Muhajirin pun antusias untuk melakukan perjalanan ke Makkah. Mereka dilahirkan dan dibesarkan di kota tersebut. Kaum Muhajirin sendiri adalah golongan pemeluk Islam, termasuk penasihat dan kerabat Nabi Muhammad SAW yang hijrah dari Makkah ke Madinah.

Kaum Muhajirin pun mulai mempersiapkan perjalanan ke Makkah. Hampir tidak ada yang mau tertinggal di belakang. Saat itu Nabi Muhammad bersama 1400 pengikutnya telah mendekati Mekkah. Perjalanan Nabi dengan membawa sejumlah rombongan besar didasari oleh kemungkinan terjadinya halangan dari bani Quraisy. Saat itu kaum Quraisy adalah suku terbesar yang memusuhi kaum muslimin.

Sebenarnya Nabi juga mengajak orang-orang Arab dalam perjalanannya, tetapi mereka menolak karena alasan kesibukan dan materi. “Orang-orang Badui yang tertinggal (tidak turut ke Hudaibiyah) akan berkata kepadamu, “Kami telah disibukkan oleh harta dan keluarga kami, maka mohonkanlah ampunan untuk kami.” Mereka mengucapkan sesuatu dengan mulutnya apa yang tidak ada dalam hatinya. Katakanlah, “Maka siapakah yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah jika Dia menghendaki bencana terhadap kamu atau jika Dia menghendaki keuntungan bagimu? Sungguh, Allah Mahateliti dengan apa yang kamu kerjakan.” (Q.S al-Fath [48]:11).

Ketika rombongan telah tiba di Dzulhulaifah, mereka menjalankan shalat dan berihram untuk bersiap melaksanakan ibadah umrah. Saat itu mereka juga membawa 70 ekor unta sebagai kurban (hadyu). Suku Quraisy yang mengetahui kedatangan Nabi dan rombongan bertekad untuk menghalangi kedatangannya, sekalipun harus dengan mengangkat senjata. Informasi tersebut didengar oleh Nabi. Kemudian rombongan tersebut berhenti di dekat sebuah sumur di tempat yang disebut Hudaibiyah, di utara Makkah.

Penduduk Makkah mencegat Rasul di Al-Hudaybiyah, sekitar 14,5 km dari Makkah. Posisi tepatnya berada di sebuah sumur di arah barat daya Makkah. Saat ini tempat itu dinamakan as-Syamisiy. Untuk menghindari konflik terbuka maka Nabi mengutus utusan untuk menjelaskan maksud kedatangannya ke Makkah. Melalui utusan, Nabi memberitahukan kedatangannya hanyalah untuk umrah, mempersembahkan kurban dan kembali ke Madinah. Tetapi suku Quraish tetap bersikeras menolak kedatangan mereka.

Kemudian Nabi mengutus Umar bin Khattab untuk pergi ke Makkah sebagai delegasi untuk menjelaskan kepada suku Quraish maksud damai kedatangan Nabi. Tetapi Umar bin Khattab menolak untuk pergi karena dia memiliki banyak musuh di sana dan berpikir tidak ada orang di Makkah yang bisa melindunginya. Kemudian Umar menyarankan Nabi untuk mengutus Utsman bin Affan sebagai utusan. Maka berangkatlah Utsman bin Affan.
Kaum Quraisy memperlakukan Utsman dengan baik dan membebaskannya untuk melakukan umrah. Tetapi Utsman bukanlah pribadi yang egois. Dia memilih untuk tidak melakukan umrah kecuali jika suku Quraisy juga menerima Nabi dan semua kaum Muhajirin yang hendak melakukan umrah.

Hal ini ditolak oleh kaum Quraisy. Bahkan terdengar kabar ke rombongan Nabi bahwa Utsman bin Affan dibunuh oleh kaum Quraish. Segera Nabi memerintahkan rombongannya untuk melakukan ikrar ridwan (ikrar kesetiaan) sampai mati.

Kaum Quraisy yang mendengar hal itu menjadi gentar sehingga membebaskan Utsman bin Affan. Kaum Quraisy pun mengutus Suhail bin Amr untuk menegosiasikan perdamaian dengan Nabi. Karena pribadi yang kaku dari Suhail bin Amr maka proses negosiasi tersebut berjalan melelahkan. Tetapi kemudian kesepakatan tercapai. Perjanjian Hudaibiyah ditandatangani pada dua salinan, satu untuk masing-masing pihak. Dokumen asli Perjanjian Hudaibiyah dipertahankan oleh Nabi Muhammad SAW sementara duplikat diserahkan kepada Suhail untuk diamankan di arsip Makkah.

Walaupun ada beberapa sahabat Nabi yang meresponi negatif hasil perjanjian dan sempat menolak untuk ikut mempersembahkan kurban unta. Tetapi kemudian terbukti bahwa perjanjian Hudaibiyah merubah pola pikir kaum Quraisy terhadap orang Muslim.

Awalnya Quraisy memandang Nabi adalah pemberontak dari Makkah. Tetapi kemudian mereka menerima Nabi bahkan pada kisah selanjutnya mereka mengakui Madinah sebagai suatu negara. Perjanjian Hudaibiyah adalah contoh peperangan yang diselesaikan tanpa pertumpahan darah dan membantu penyebaran Islam di Semenanjung Arab. Bahkan tokoh-tokoh Quraish kemudian masuk Islam, seperti Khalid bin Walid dan Amr bin Ash.

Setelah perjanjian selesai, Rasulullah memerintahkan untuk bangkit dan menyembelih kurban, namun diabaikan oleh para sahabatnya. Maka Ummu Salamah memberi saran agar beliau keluar, bertahallul dan menyembelih kurban. Setelah Rasul melakukan, maka akhirnya para sahabat juga melaksanakan hal yang sama.

Dari kilasan sejarah itu maka jelas bahwa Rasulullah pun pernah membatalkan umrahnya setelah berihram, karena kondisi berbahaya di Makkah.

Nah, dikarenakan sejak sebelum tahun 1925-an, kepenguasaan tanah suci tergantung kepada Khalifah yang menguasai dunia Islam, maka nasib Ka’bah dan dua Masjid suci juga rawan menjadi rebutan antar penguasa. Selain faktor perebutan kekuasaan, penutupan Masjidil Haram dan libur ibadah sering terjadi karena terjangkitnya wabah penyakit menular.

Penutupan Masjidil Haram dan Penghentian Haji dan Umrah

Catatan sejarah memperlihatkan penutupan ibadah haji pernah dilakukan. Otoritas di Mekkah dan Madinah pada saat itu pernah meniadakan ibadah haji sekitar 40 kali.

Berikut ini adalah sebagian fakta sejarah penutupan Masjidil Haram dan Ka’bah, serta dihentikannya ibadah umrah dan haji, yang tercatat dalam sejarah.

1. Tahun 865

Terjadi pembantaian jamaah haji di Arafah oleh Ismail bin Yusuf al-Alawi. Sehingga kemudian Ka’bah ditutup.

2. Qaramithah mencuri Hajar Aswad Tahun 930.

Pimpinan Qaramithah, Abu Thahir Al Qaramithi, salah satu sekte syi’ah Islamiyah saat itu mendatangi Makkah bersama para pengikutnya pada musim haji. Mereka membunuh jemaah haji yang sedang beribadah, dan mengambil bongkahan hajar aswad serta pintu Ka’bah untuk dibawa ke al-Ahsa (Hasa). Dan selama 10 tahun, ibadah haji dan umrah dilarang oleh dinasti Qaramithah yang berbasis di al-Ahsa, Hejaz sebelah timur, dengan mengirim pasukan yang bertugas menyiksa jamaah haji dan umrah yang datang dari manca negara. Pasukan Qaramithah juga memblokir jalan dari arah Syam (Siria, Yordania, Palestina, Lebanon) dan juga Yaman untuk mencegah jamaah haji yang datang dari arah tersebut. Qaramithah meyakini bahwa ibadah haji merupakan praktek ibadah jahiliyah yang sudah ada sejak Nabi Ibrahim, yang harus dihapuskan.

Batu mulia hajar aswad dan pintu Ka’bah baru dikembalikan 22 tahun dan dipasang kembali di Ka’bah atas upaya dinasti Abbasiyah pada tahun 950, dengan imbalan 120.000 dinar emas saat itu (sekitar 300 Milyar rupiah sekarang).

3. Perselisihan Bani Abad dan Bani Abid tahun 983. Selama 8 tahun, muslimin dari Irak dilarang berhaji.

4. Tahun 1257 penduduk Hijaz dilarang berhaji.

5. Tahun 1320-an.

Ulama lain juga menjelaskan bahwa di tahun 749 H di Makkah pernah terdapat wabah Tha’un. Namun, pernyataan ini dibantah oleh al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani bahwa di tahun tersebut yang menimpa Makkah bukanlah Tha’un, melainkan wabah lain yang tidak berbahaya layaknya Tha’un.

6. Wabah Tha’un tahun 1814.

Di wilayah Hijaz tahun 1814 sekitar 8.000 korban meninggal dunia akibat wabah Tha’un yang membuat ka’bah ditutup sementara. Sehingga kawasan Masjidil Haram pun ditutup untuk sementara demi mencegah penyebaran lebih luas wabah tersebut.

7. Wabah Hindi, tahun 1831

Pada tahun ini telah terjadi wabah penyakit yang dipercaya berasal dari India. Saat itu sekitar tiga perempat jamaah haji meninggal dunia. Oleh karenanya kawasan Kakbah ditutup untuk sementara waktu.

8. Wabah epidemi tahun 1837. Diduga Kolera selama 3 tahun.

9. Wabah epidemi tahun 1846. Pada tahun tersebut telah terjadi wabah Kolera yang menyebabkan ditiadakannya ibadah haji, dan umat Islam saat itu tidak bisa berangkat ke Tanah Suci. Wabah ini pun berulang pada 1850, 1865 dan 1883 Masehi.

10. Epidemi kembali terjadi pada 1858 yang menyebabkan penduduk Hijaz mengungsi ke Mesir.

11. Di tahun 1864, 1.000 peziarah meninggal perhari karena wabah yang sangat berbahaya. Saat itu karantina diberlakukan dengan bantuan dokter yang dikirim dari Mesir.

12. Kematian karena kolera tahun 1892.

Kemudian wabah kolera pada tahun tersebut masih mewabah di Tanah Suci dan bertepatan dengan musim haji. Saat itu kondisi semakin parah karena penularan menyebar begitu cepat. Setiap harinya korban jiwa berjatuhan sehingga jenazah menumpuk. Kematian akibat wabah ini meningkat di Arafat dan puncaknya di Mina.

13. Tahun 1895 juga terjadi wabah typus yakni pandemi yang mirip demam tifoid atau disentri terindikasi dari konvoi dari Madinah.

14. Tahun 1957. Pemerintah Arab Saudi melarang jamaah haji dari India dan Pakistan dan sejumlah negara lain yang sedang terjangkit kolera. Pelarangan itu bertujuan agar wabah tersebut tidak terbawa ke tanah suci.

15. Tahun 1979.

Masjidil Haram ditutup total selama 3 pekan pada masa akhir musim haji, dikarenakan pemberontakan yang dilakukan oleh Syaikh al-Juhaiman al-Utaibi, yang menyerang Masjidil Haram pada tanggal 20 November 1979, dan kemudian menjadikannya sebagai benteng pertahanan. Penutupan tersebut bertujuan untuk memudahkan serangan balik dan merebut kembali Masjidil Haram dari Juhaiman dan pasukannya. Arab Saudi (dengan bantuan agen Perancis dan Inggris) baru dapat melumpuhkan Juhaiman dan menguasai kembali Masjid pada tanggal 4 Desember 1979, setelah selama 14 hariu penuih terjadi pertempuran hebat di kompleks Masjidil Haram.

16. Wabah Meningitis tahun 1987.

Tahun 1987, wabah meningitis yang menyerang Arab Saudi membuat kegiatan berhaji ditutup. Saat itu, sebanyak 10.000 jemaah haji terinfeksi.

17. Tahun 2020 Ditutup Sementara karena Virus Corona

Dalam rangka menjaga kebersihan Dua Masjid Suci untuk menghindarkan dari penyebaran virus Corona, Dua Masjid Suci (Masjidil Haram dan Masjid Nabawi) dilakukan pembersihan dan sterilisasi. Namun penutupan sementara dua masjid suci itu dilaksanakan diluar waktu sholat.

Kota Suci Aman dari Wabah Penyakit?

Tentu masih ada satu masalah yang menjadi pokok bahasan, yakni bukankah Nabi menjamin bahwa Kota suci Madinah dan Makkah tidak akan bisa dimasuki penyakit Tha’un? Rasulullah SAW memang pernah bersabda bahwa kota Madinah tidak akan dimasuki Tha’un, dalam beberapa hadits lain juga disebutkan bahwa hal serupa juga pada Makkah. “Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Di setiap gerbang masuk Madinah akan ada Malaikat yang menjaga masuknya Tha’un dan Dajjal.” (Bukhari [1880]; Muslim [1374]).

Akan tetapi, juga perlu kita ketahui bahwa wabah penyakit pernah terjadi di Madinah pada masa pemerintahan Khalifah Umar Bin Khattab, sebagaimana diriwayatkan hadits berikut. Dari Abu al-Aswad ia berkata: “Aku tiba di Kota Madinah, di sana sedang terdapat penyakit, banyak penduduknya yang mati mendadak, kemudian aku duduk menemui Umar.” (Bukhari: [2643]).

Ulama lain juga menjelaskan bahwa di tahun 749 H di Makkah pernah terdapat wabah Tha’un. Namun, pernyataan ini dibantah oleh al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani bahwa di tahun tersebut yang menimpa Makkah bukanlah Tha’un, melainkan wabah lain yang tidak berbahaya sebagaimana Tha’un.

Mengacu pada penjelasan di atas, memang benar bahwa Makkah dan Madinah adalah dua Tanah Suci yang aman (al-Balad al-Amin), dua kota ini terhindar dari berbagai bahaya termasuk di antaranya wabah penyakit Tha’un. Tha’un adalah penyakit yang pernah merebak di Syam, yang awalnya berasal dari Kota Amwas, Palestina. Penyakit ini berasal dari hewan ternak, kemudian menjalar ke manusia menjadi penyakit kulit, lepra, dan sangat mematikan. Dalam sejarah Islam wabah itu dikenal sebagai Tha’un Amwas.

Masalahnya adalah, apakah virus Cofid-19 yang dikenal sebagai Corona ini termasuk kategori Tha’un? Karena jika Corona adalah jenis Tha’un, maka tentulah tidak akan dapat memasuki Makkah dan Madinah, karena adanya jaminan dari Rasulullah. Sedangkan jika Corona tidak termasuk Tha’un, maka tidak menutup kemungkinan bisa memasuki dua kota suci tersebut. Karena di Madinah dan Makkah juga pernah terkena wabah penyakit menular, namun bukan Tha’un, seperti misalnya yang pernah terjadi di tahun ke 17 H di Madinah, begitupun juga pernah terjadi di tahun 749 H di Makkah.

Namun ternyata di Arab Saudi sendiri terdapat ribuan kasus Corona, dan puluhan yang meninggal karena serangan wabah Corona virus. Sehingga nampaklah bahwa Corona itu bukan jenis Tha’un, yang dapat menyerang pendudukan tanah suci, termasuk dua Masjid suci. oleh karenanya kebijakan pemerintah Arab Saudi untuk melakukan lockdown atas beberapa kota besar, larangan ibadah umrah, bahkan mungkin juga larangan haji tahun ini untuk umat Islam dunia, dapat dipahami, dan merupakan hal yang biasa dalam sejarah. Juga bisa dikatakan itulah kebijakan yang tepat demi kemaslahatan umat Islam secara keseluruhan.

Wallahu a’lamu bi al-Shawab.

Lereng Gunung Merapi, Rabu 1 April 2020, 23.03 WIB

Penulis: KH Muhammad Sholihin, Pengasuh Pesantren Al-Hikmah Salatiga.

Artikel terkait baca di sini. 

Baca juga berbagai sejarah lainnya. Baca di sini

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *