Sejarah Diplomasi Papua: Murka Bung Karno Kepada Joseph Luns

Oleh : Imron Rosyadi Hamid,

(Kandidat PhD Hubungan Internasional Jilin University – China, Rois Syuriyah PCINU Tiongkok)

Sejarawan politik Inggris Abad 19, John Robert Seeley pernah mewanti-wanti tentang pentingya membaca sejarah jika membahas persoalan politik, politics without history has no root but history without politics has no fruit (politik tanpa sejarah tidak akan punya akar dan sejarah tanpa politik tidak akan memiliki buah). Jika kita melihat persoalan kerusuhan Papua yang sekarang terjadi tanpa membuka lembaran sejarah masa lalu, maka diskusi berkait penyelesaian Papua bisa misleading.

Meskipun persoalan yang tengah dihadapi Presiden Jokowi berbeda dengan apa yang dihadapi Bung Karno, tetapi skenario penyelesaian Papua tidak boleh melanggar prinsip wilayah paling timur ini sebagai bagian integral Republik Indonesia. Melihat dinamika Papua saat ini tanpa memahami akar sejarah masa lalu dan menghubungkannya dengan perkembangan domestik dan global saat ini akan membawa kita penyelesaian yang tidak tuntas bahkan memberikan angin pada sebagian pihak yang mendukung separatisme, apalagi menurut Menkopolhukam Wiranto kemarin (30 Agustus 2019) yang mengatakan ada penumpang gelap dalam kerusuhan di Papua. Tulisan ini ingin membuka salah satu lembaran sejarah berkait upaya diplomasi Indonesia menghadapi manuver dan kebijakan luar negeri Belanda yang diperankan Luns dalam persoalan Papua.

Luns, diplomat Licik

Kekesalan Bung Karno terhadap Menteri Luar Negeri Belanda Josep Luns sudah sampai ubun-ubun bahkan nama tersebut disebut sebanyak enam kali dalam pidato tanggal 19 Desember 1961 berkait Trikora di Jogjakarta. Satu bulan sebelum berpidato di Jogjakarta, Presiden Soekarno berada di Itali untuk proses pengobatan karena sakit. Di tengah upaya pemulihan kesehatan di Roma tersebut, Bung Karno menerima kedatangan Soebandrio sebelum yang bersangkutan berangkat ke Markas PBB di New York.

Bung Karno mendengar penjelasan Soebandrio atas konsep international _trusteeship_ Papua yang disuarakan Luns, dimana Papua akan diserahkan ke PBB dan dalam pengawasan Internasional. Bung Karno yang ketika berkunjung ke Tokyo beberapa waktu sebelumnya, sudah mendengar siasat licik Belanda atas Papua agar terlepas dari Indonesia melalui usulan penentuan nasib sendiri (self determination), semakin bersemangat membrifing Soebandrio.

Pertemuan Bung Karno dengan Soebandrio di Roma tersebut memberikan sebuah pesan tegas dengan mengatakan: “Engkau punya tugas di New York hanyalah satu. Satu, bukan dua, bukan tiga. Satu, yaitu menggagalkan usulan Luns ini (international trusteeship Papua ke PBB)!”. Soekarno wajar kehilangan kesabaran, karena berbagai upaya diplomasi RI di PBB berkait Papua sering gagal. Bahkan ketika Bung Karno sakit di Wina Austria, ada yang berharap dan berspekulasi segera mati agar tidak ada lagi aksi Indonesia di dunia Internasional merebut kembali Papua. Kekesalan ini juga disampaikan Bung Karno pada pidato tanggal19 Desember 1961, “mugo2 enggalo mati Soekarno iku..Sukarno sekarang sudah akan mati…tidak ada nanti aksi Irian Barat lagi!”, (Api Pembebasan Irian Barat, 1986). Berbagai Kebijakan Luns sebagai representasi politik Luar Negeri Belanda telah banyak merugikan Indonesia.

Usulan Menlu Negeri Kincir Angin terlama ini (sejak Tahun 1956 menjadi Menlu hingga diangkat sebagai Sekjen NATO Tahun 1971) untuk menyuarakan International trusteeship Papua ke PBB memang berhasil digagalkan Soebandrio pada Tahun 1961, tetapi Belanda seolah ingin melanjutkan permainan baru untuk mengganggu Indonesia : membentuk negara boneka Papua.

Keberhasilan Indonesia melawan usulan Luns ini karena didukung masyarakat internasional terutama negara-negara Asia Afrika, meskipun ada beberapa negara francophone (berbahasa Perancis) dari Afrika yang memihak Belanda, sebagaimana yang dilakukan beberapa negara pasifik sekarang terhadap isu Papua.
Di luar Asia Afrika, Indonesia juga berhasil “menekuk” dua superpower dunia : merayu Amerika agar mau menjadi mediator dan agar negeri Paman Sam itu secara terbuka tidak memihak ke Belanda, termasuk memberikan bantuan militer.

Bung Karno juga berhasil meyakinkan Uni Soviet agar membantu Indonesia dalam pengadaan peralatan guna keperluan operasi militer di Papua, bahkan kerjasama pengadaan peralatan militer ini, membuat Angkatan bersenjata Republik Indonesia dipercaya sebagai yang terkuat kedua setelah China di Asia.

Papua dan Integrasi Wilayah RI

Di luar persoalan sejarah kolonisasi Belanda atas Papua sebagai bagian dari Hindia Belanda, Pulau Kepala Burung’ ini sebenarnya sudah menjadi bagian dari Kerajaan Nusantara. Menurut Prof. Moh. Yamin, Papua merupakan salah satu wilayah Kerajaan Majapahit pada Abad XIV sebagaimana yang tertulis pada Buku Negara Kertagama karangan Empu Prapanca yang menyebut Ewanin (Onim) dan Sran in Timur, dua lokasi yang terletak di Teluk Bintuni. (Ibid, hal 6). Papua mulai di injak dan dijamah oleh Bangsa Eropa sejak Abad XVI dimana dua pelaut Portugis bernama Antonio d’Abreau dan Fransisco Serrano memulai pelayaran mencari rempah-rempah. Tahun 1521 seorang Italia yang mengikuti Magelhaens berlayar keliling dunia menyebut nama Papua dalam catatannya. 24 Agustus 1828 Belanda secara resmi menyatakan Papua berada dalam wilayah kekuasaannya dengan ditandai pendirian Benteng “Fort de Bus” di Teluk Triton di kaki Gunung Lumenciri Papua.

Pada saat itu Komisaris Pemerintah Belanda bernama A.J. Van Delden membacakan sebuah Surat di hadapan perwira-perwira militer dan penduduk Papua : “Bahwa atas nama dan untuk Sri Baginda Raja Netherland, bagian daerah New Guinea dengan daerah pedalamannya dimulai dari garis meredian 141 derajat sebelah timur Greenwich di Pantai Selatan terus ke arah barat. Barat Daya dan utara sampai Semenanjung Goede Hoop di Pantai Utara dinyatakan milik Belanda”. Tahun 1898, Belanda membagi Papua menjadi 2 wilayah afdeeling : Afdeeling Noord Nieuw Guinea (Papua bagian utara) dan Afdeeling west en zuid Nieuw Guinea (Papua Barat dan Selatan) yang keduanya merupakan bagian dari Karesidenan Maluku (Ibid, hal 8).

Meskipun masih banyak fakta sejarah lain yang menguatkan Papua sebagai bagian dari Indonesia (Hindia Belanda), tetapi beberapa catatan di atas setidaknya menjadi acuan bagi semua pihak, dalam membuat formulasi usulan maupun kebijakan berkait penyelesaian peristiwa kerusuhan di Papua tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Wallahu a’lam bisshawab

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *