Oleh: Moh Hilal Imamuddin*
Sore itu, sehabis sholat Ashar, anak-anak SD Nahdlatul Ulama (SDNU) Sleman saling berjabat tangan. Jabat tangan dengan teman sekolah, juga jabat tangan dengan para guru. Tak lupa, jabat tangan dengan tukang kebun tak pernah ketinggalan. Sesuai jabat tangan itu, wali murid sudah menunggu di tempat parkir. Anak-anak bersegera bertemu orang tuanya, ada juga yang bersegera naik bus karena tidak sedikit yang jarak rumah dan sekolah itu jauh. Bus itu khusus untuk antar-jemput siswa dari Bantul yang berkumpul di Krapyak.
Isnaini Marzuki, salah satu guru SDNU, mengatakan bahwa SDNU selalu mengajak para muridnya untuk akrab dan peduli dengan sesama. Jabat tangan disertai ucapan “Assalamu’alaikum” selalu dibiasakan setiap saat. Anak-anak diajarkan untuk akrab dan hangat dengan sesamanya. Dengan ucapan salam itu, anak-anak juga selalu diajari untuk menebarkan kedamaian dan kasih sayang. Iya, jabat tangan itulah yang selalu dimaknai untuk membekali anak-anak, sehingga kelak mereka terus bisa berjabat tangan kepada siapapun, untuk saling berbagi damai dan kasih sayang.
“SDNU mengajari semua satuan pendidikan untuk saling menghargai, saling akrab. Saya sebagai guru merasakan itu. Saya ajak murid-murid untuk saling akrab, karena dari akrab itulah kita bisa saling berbagi dan membantu,” tegas Marzuki yang menjadi guru kelas 3.
Keakraban dan kehangatan antar siswa ini dirasakan oleh Ulil Albab, siswa kelas 6 asal Sleman. Memasuki kelas 6 ini, Ulil merasakan betul arti persahabatan dan kehangatan yang ia jalani sepanjang belajar. Karena sudah kelas 6, Ulil merasa sedih karena harus meninggalkan suasana kehangatan di sekolah. Walaupun ia bertekad akan mengamalkan apa yang didapatkan dari SDNU untuk bekal belajar di jenjang berikutnya.
Kehangatan dan keakraban ini dirajut sedemikian rupa oleh satuan pendidikan SDNU. Ini semua terinspirasi dari para pendiri SDNU. Mereka adalah KH Asyhari Abta, KH Syakir Ali, Prof. Moh Maksum, Prof. Yudian Wahyudi, Prof. Rochmat Wahab, Prof. Purwo Santoso, dan Prof Nizar Ali. SDNU sendiri berdiri pada 29 Mei 2009. Para kyai dan profesor ini memberikan pondasi pembelajaran bagi siswa SDNU.
“Para kyai dan profesor ini selalu menjadi inspirasi bagi SDNU. Mereka tak pernah bosan dan lalai untuk memberikan nasehat dan motivasi bagi pengelola SDNU. Mereka juga selalu mendoakan para siswa SDNU agar selalu diberikan kemudahan dan kelancaran dalam belajar. Kehangatan dan keakraban orang tua ini yang menjadi spirit bagi para guru untuk terus berjuang mengembangkan pendidikan SDNU,” tegas Fauzan, Kepala SDNU.
Fauzan juga menegaskan bahwa kehangatan para siswa ini kemudian mewujud dalam keseharian mereka di rumah. Bersama orang tuanya, anak-anak SDNU selalu hangat dengan orang tuanya, sehingga orang tua begitu senang dengan perkembangan belajar anak-anak.
“Anak-anak hari ini seringkali kehilangan kehangatan dalam keluarga dan sekolah. Mereka bisa jadi mempunyai kecukupan harta, tetapi sekolah dan keluarga terasa hambar. Anak-anak yang berada di tengah suasana demikian biasanya sangat susah dalam belajar, gampang stress, dan begitu manja hidupnya. Ini yang selalu ditegaskan para kyai dan profesor agar kami yang selalu di SDNU bisa memberikan warna dan nuansa baru bagi para siswa,” lanjut Fauzan.
Ada Apa dengan KOIN?
Bermula dari kehangatan dan keakraban itu, siswa SDNU dan orang tuanya terasa begitu erat dalam kekeluargaan. HM. Lutfi Hamid, Ketua Komite Sekolah SDNU, menegaskan bahwa orang tua siswa merasakan kehangatan yang sangat, apalagi dibarengi doa para sesepuh dan kyai yang selalu datang setiap saat. Orang tua siswa merasa sangat senang, sangat bangga, apalagi anak-anaknya makin peduli dengan sesamanya.
Dari sinilah, lanjut Lutfi, Komite Sekolah mendapatkan saran dari para orang tua siswa untuk membuat Kotak Infak (KOIN) untuk para siswa. KOIN ini dimaksudkan agar anak-anak ketika mempunyai uang receh bisa dimasukkan KOIN. Komite Sekolah sudah sepakat kalau KOIN itu nanti digunakan untuk membantu sesama yang sedang terkena musibah. Atau untuk siswa SDNU yang sedang kesusahan, atau ada orang tua yang sedang kesulitan.
“Kita kerjasama dengan pihak sekolah. KOIN ini dimaksudkan agar para siswa di rumah mempunyai semangat berbela rasa kepada sesama. Para guru juga diminta ikut memberikan pemahaman kepada siswa bahwa KOIN agar sebagai wujud kepedulian kepada saudara yang lebih membutuhkan. Alhamdulillah, pihak sekolah ikut menyepakati. Walaupun pelaksananya tetap Komite Sekolah,” tegas Lutfi.
Terkait KOIN ini, Fauzan, Kepala Sekolah, menjelaskan bahwa selama program itu baik dan memberikan nilai tambah dalam membangun karakter siswa, maka pihak sekolah akan selalu mendukung. Apalagi semua itu dalam rangka membangun kepedulian dan kehangatan bagi sesama.
“Pihak sekolah bukannya tinggal diam. Para guru juga tidak mau ketinggalan untuk ikut serta meminta KOIN, agar bisa ikut berbagi dengan sesama. Jadi, para guru juga terdepan untuk ikut memasukkan uang dalam KOIN,” lanjut Fauzan.
Walaupun awalnya ide KOIN ini sederhana, kini semua orang tua siswa meminta KOIN di rumahnya. Tidak sedikit yang meminta KOIN tidak hanya satu, ada yang sampai tiga, empat dan lima. Sesuai dengan jumlah anggota keluarga masing-masing. Kehangatan dan keakraban begitu dekat antara sekolah dan rumah. Ini yang sangat membahagiakan para orang tua, karena berawal dari situlah anak-anak mempunyai semangat belajar dalam menggapai cita-cita.
“Ada rasa kekeluaragaan yang sangat besar di lingkungan SDNU. Antara orang tua dan sekolah terjalin kerjasama sangat baik. Komite Sekolah juga pro-aktif dalam menyusun program pengembangan pendidikan. Pihak sekolah sangat terbantu, karena Komite Sekolah mempunyai perhatian sangat besar bagi kelangsungan pendidikan anak-anak,” tegas Fauzan.
“KOIN ini bukan saja membangun jiwa peduli anak-anak, tetapi juga juga memupuk jiwa persatuan. Dengan KOIN ini, antar siswa merasa satu kesatuan. Kalau ada saudara atau temannya yang sakit, maka ia juga merasakan sakit yang sama. Ada kesatuan dan persatuan yang sangat kuat. Ini yang harus terus kita pupuk, sehingga di masa depan mereka akan menjadi tumpuan bangsa,” lanjut Fauzan.
KOIN ini mulai berlangsung sejak tahun ajaran baru 2017/2018 ini. Sebelumnya, infak sebenarnya sudah berjalan di SDNU. Tapi infak itu kalau ada musibah saja. Misalnya ketika Gunung Kelud meletus tahun 2014, infak siswa dan orang tua juga begitu semarak. Demikian juga berbagai kasus kemanusiaan lainnya. Untuk KOIN ini, pihak Komite Sekolah sudah menyalurkan kepada korban Rohingya lalu. Anak-anak juga merasa senang bisa ikut meringankan beban saudara di Rohingya, walaupun nominal masih sangat terbatas.
“Komite Sekolah akan selalu kerjasama dengan pihak sekolah dalam mengembangkan KOIN ini. Ini sangat baik dalam membangun karakter siswa. Terbukti dari laporan orang tua selama ini, anak-anak mulai makin peka dan mudah berbagi dengan sesamanya. Anak-anak juga mudah bergaul dengan siapa saja, tidak membeda-bedakan sesama. Walaupun kami, para orang tua tetap menjaga dan memberikan batas-batas tertentu agar mereka tidak terjebak dalam pergaulan yang negatif,” tegas Lutfi yang dua anaknya sekolah di SDNU.
Pihak sekolah sangat terbantu dengan usaha serius program KOIN ini. Saat ini, anak-anak juga makin peduli dengan kebersihan lingkungan sekolah. Awalnya anak-anak hanya menjaga kebersihan ketika jadwal piket saja, tetapi semangat KOIN ini menular sampai menjaga kebersihan. Sekarang ini anak-anak selalu saling tegur dan saling mengingatkan dalam menjaga kebersihan, sehingga lingkungan sekolah semakin asri dan nyaman.
“Saat ini anak-anak makin peduli dengan kebersihan lingkungan sekolah. Kita tambah senang, demikian juga orang tua siswa. Ini awal sangat baik, karena anak-anak berangkat dari diri mereka sendiri. KOIN sangat membantu dalam hal ini, karena semangat peduli dari KOIN bukan saja peduli dalam hal infak saja, melainkan juga peduli dalam hal-hal yang lain,” tegas Fauzan, kepala sekolah.
Fauzan juga mengisahkan bahwa sudah 4 tahun ini SDNU membuka asrama/pesantren. Yang dianjurkan adalah mereka yang sudah kelas 4, 5 dan 6. Kalau kelas 1-3 masih diberikan pilihan bebas. Tapi kelas 4-6 sifat sangat dianjurkan, walaupun tidak sampai diwajibkan. Jumlah murid SDNU saat ini ada 325 siswa, yang tinggal di pesantren ada 5 anak.
“Anak-anak SDNU bukan saja belajar peduli dari KOIN, tetapi juga belajar mandiri. Ini ditempa di pesantren. Walaupun tidak semua berada di pesantren, tetapi iklim kemandirian pesantren menjadi spirit semua siswa SDNU. Semangat pesantren menumbuhkan jiwa mandiri para siswa SDNU, sehingga mereka begitu antusias untuk peduli dan berbagi. Di pesantren, mereka merasakan hidup mandiri, tidak bersama orang tuanya,” pungkas Fauzan.
*] Mahasiswa MSD Yogyakarta