Berita NU, BANGKITMEDIA.COM
JAKARTA- Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Prof KH Nasaruddin Umar mengajak para ahli tafsir dan pengkaji tafsir untuk membaca Al-Qur’an sampai level Iqro keempat. Jangan sampai membaca al-Qur’an hanya sebatas bacaan saja, karena itu bisa membahayakan. Al-Quran itu mencerahkan, bukan menyumpekkkan.
Penegasan Prof KH Nasaruddin Umar ini berlangsung dalam acara orasi ilmiah Simposium Tafsir Nusantara & Munas-IV FKMTHI di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta (21/03).
Prof Nasar berpesan kepada seluruh peserta FKMTHI bahwa tafsir hadits harus mampu membaca sampai iqro’ keempat. Mampu membaca, mampu memahami makna, mampu meresapi dan menjiwai isi Al-Qur’an.
“Tafsir hadits harus mencerahkan, bukan menyumpekkan orang lain. Selalu berbagi keceriaan, kegembiraan, dan energi positif. Maka jadilah seperti obor yang mengusir kegelapan. Saya ingin FKMTHI ini berkiprah lebih bagus lagi,” pungkas Prof Nasar yang juga Mustasyar PBNU.
Prof Nasar juga menegaskan bahwa bagi jurusan Ilmu Al-Qur’an dan tafsir hadits, mempelajari Al-Qur’an itu harus dimaknai sebagai kalamullah, bukan kitabullah. Kenapa demikian? Kalau kitabullah, sudah membumi, sudah diberikan teks, sedangkan kalau kalamullah masih di atas.
“Kalamullah lebih bersifat umum, tidak terbatas pada apa yang ada di kitab dan juga melekat di dalam diri Allah (Sifat-Nya). Sedangkan kitabullah adalah bagian dari kalamullah yang tertulis dalam kitab yang secara fisik bisa diperbaharui,” tegas Prof Nasar.
Menurut Rektor Perguruan Tinggi Ilmu Qur’an (PTIQ) Jakarta ini, syarat untuk memahami kalamullah adalah harus bersih, tulus, dan suci. Ahli tafsir belajar alqur’an berbeda dengan yang lain. Karena itu, siapapun yang ingin memahami kalamullah syaratnya harus ridha, dan memiliki jiwa yang suci.
“Al-Qur’an itu berlapis-lapis seperti bawang, itu ada maknanya. Bahwa seorang mufassir sejati itu tidak akan pernah puas memberikan penafsiran karena makna Al-Qu’an itu dalam, sama halnya kulit bawang tadi,” tambah Prof. Nasaruddin yang juga Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta.
Terjemahan yang paling bagus menurut Prof Nasar adalah terjemahan dari Kementrian Agama (Kemenag). Namun itu diperuntukkan bagi masyarakat umum, bukan mereka yang konsen dalam tafsir.
“Kita harus bangga menjadi komunitas tafsir hadits, sudah waktunya kita menggenggam Al-Qur’an dimanapun kita berada. Al-Qur’an itu bukan untuk alat membentur-benturkan dengan orang. Kita yang harus bisa memberikan tafsir dengan bijak,” tegas Prof Nasar. Berita Islam Terkini (icin)