Perempuan Menjadi Imam Shalat, Ini Pendapat Kiai Asyhari Marzuqi

kiai asyhari marzuqi

Perempuan menjadi imam shalat bagi perempuan lain merupakan hal yang mafhum. Tapi bagaimana dengan perempuan yang menjadi imam shalat bagi laki-laki? Hal ini memang cukup menjadi polemik di kalangan umat Islam, sehingga membutuhkan penjelasan yang bisa memberikan titik terang.

Dalam persoalan tersebut, Kiai Asyhari Marzuqi, Rais Syuriah PWNU DIY periode 1992 – 2004, mengetengahkan beberapa pandangan. Pertama, telah menjadi kesepakatan ulama bahwa laki-laki tidak boleh menjadi makmum perempuan. Demikian seperti yang terdapat dalam kitab fikih mughni al-muhtaj juz 1 halaman 230 :

Bacaan Lainnya

لا تصح قدوة رجل ولاخنثى باءمرأة ولاخنثى. وقد قال النبي صلى الله عليه وسلم : لن يفلح قوم ولوا أمرهم إمراة

(Tidak sah seorang laki-laki dan banci menjadi makmum wanita, ataupun banci, Nabi saw bersabda : “Tidaklah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita”)

وروى ابن ماجه : لاتؤمن امرأة رجلا

“Seorang  wanita sekali-kali tidak sah menjadi imam seorang laki-laki” (H.R. ibnu Majah)

ومن شروط الامامة الذكورة المحققة فلاتصح إمامة النساء وإمامة الخنثى المشكل إذا كان المقتدى به رجال

“Diantara syarat-syarat pemimpin (imam) adalah laki-laki sejati. Sehingga tidak sah kepemimpinan (imam) wanita dan banci ketika para makmum adalah laki-laki” (Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, juz 1 : 409)

قال علي : إما منعهن من إمامة الرجال فلأن رسول الله صلى الله عليه وسلم أخبر أن المرأة تقطع صلاة الرجل وأن موقفها فيالصلاة خلف الرجل والأمام لابد له من التقدم أمام المؤتمين…الخ

Ali ra berkata : bahwa wanita dilarang mengimami laki-laki, karena Rasulullah memberitahukan, “bahwa wanita memutus shalat laki-laki, dan posisinya dalam shalat dibelakang laki-laki sedangkan imam harus berada di depan para makmum (Al-Muhalla, juz IV : 219)   

Kedua, ada riwayat hadis yang mengatakan sebagai berikut :

عن ام ورقة رضي الله عنها : أن النبي صلى الله عليه وسلم أمرها أن تؤم أهل دارها (رواه أبوداود وصححه إبن حزيمة

والحديث دليل على صحة امامة المرأة اهل دارها وإن كان فيهم الرجل فإنه كان لها مؤذن وكان شيخا كما فى الرواية. والظاهر أنه كانت تؤمه وغلامها وجاريتها. وذهب إلى صحة ذلك ابو ثور والمزنى والطبرى وخالف فى ذلك الجماهر

Dari Ummu Waraqah ra bahwasanya Nabi saw memerintahnya untuk mengimami keluarganya (H.R. Abu Dawud dan dishahihkan Ibnu Khuzaimah)

Hadits di atas menunjukkan bolehnya wanita menjadi imam bagi keluarganya, meskipun ada anggotanya yang laki-laki yang sudah tua sebagaimana disebutkan dalam riwayat. Dhahir teks hadis tersebut menunjukkan bahwasanya Ummu Waraqah mengimami orang tua tersebut, anak-anaknya, dan pembantunya. Abu Tsur, Al-Muzni, dan at-Thobari mendukung pendapat tersebut, sedangkan mayoritas ulama tidak menyetujuinya (subulus salam, juz II : 76)

وهناك قول لبعض الفقهاء يبدو غريبا وهو القول بجواز إمامة المرأة للرجال، واستدل بالحديث المذكور

Ada pandangan sebagian ahli fiqih yang tampak aneh, yakni kebolehan wanita mengimami laki-laki berdasarkan hadis diatas (Yas-alunak fi ad-Din wa al-Hayah, I : 63)

Dari berbagai pandangan yang membolehkan wanita menjadi imam shalat bagi laki-laki, jumhur ulama menjawab (meng-counter) pendapat yang berdasar hadis riwayat Abu Dawud di atas dengan hadis riwayat Ad-Dar Quthni sebagai berikut :

عن ام ورقة إنه صلى الله عليه وسلم أذن لها أن تؤم نساء دارها

Dari Ummu Waraqah bahwasanya Rasulullah mengizinkan Ummu Waraqah mengimami para wanita keluarganya (al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, juz II : 170)

*) Sumber Tulisan : Buku “Kyai Menjawab Masalah Keagamaan dan Kemasyarakatan”, karya KH. Asyhari Marzuqi

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *