Pengetahuan dan Kemanfaatan Ilmu

Oleh: Dr. Khoirul Himmi Setiawan, Peneliti LIPI, Alumnus Kyoto University, Jepang, dan mantan Pengurus PCI NU Jepang.

Dalam satu pekan di awal Maret 2016, saya berkesempatan mengikuti HOPE Meeting, sebuah forum ilmiah yang diselenggarakan Japan Society for the Promotion of Science (JSPS). Forum ini mempertemukan para ilmuwan muda dari berbagai negara di Asia Pasifik dan Afrika dengan para penerima hadiah Nobel (Nobel Laureates).

Bacaan Lainnya

Sempat ada keraguan, apa ada manfaatnya ikut forum ilmiah dengan bidang keilmuan interdispliner seperti ini. Semakin tinggi level pendidikan, semakin spesifik bidang yang kita tekuni. Alhasil, semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin kita tidak tahu akan bidang selain yang kita tekuni. Boro-boro mikir nobel, urusan primer saat ini (tahun 2016-red) adalah menyelamatkan diri sendiri dulu, alias lulus program PhD.. haha… Namun, selalu ada ruang untuk belajar dan menempa diri. Itu motivasi pertama yang terbersit. Setelah menyelesaikan 5 hari konferensi, saya tersadarkan pada nilai utama yang melandasi forum ini, yaitu “Pengetahuan dan Kemanfaatan ilmu”.

Ingatan saya melayang pada pesan salah satu guru kami di madrasah tsanawiyah (SMP-red). Yi Hanafi, begitu kami biasa memanggilnya. Guru kami yang sangat tawadhu’, rendah hati dan penuh kesederhanaan. Pesan beliau kepada kami para santri-santri culun ketika itu, adalah hendaknya kita mengejar “ngelmu manfaat“, ilmu yang bermanfaat. Tak heran, do’a yang diajarkan kepada kami adalah “Robbana zid-na ‘ilman nāfian, wa waffiq-na ‘amalan shālihan“. Ya Tuhan, berikanlah kami tambahan ilmu yang bermanfaat, serta bantulah kami (dengan perkenan-Mu) untuk melakukan amal kebaikan”. Kombinasi yang ideal: ilmu yang membawa manfaat dan amal kebaikan. Menguasai teori, pengetahuan dan sekaligus mampu menerapkannya untuk kebaikan.

Ada 6 Nobel laureates yang hadir pada HOPE Meeting ke-8 ini: Prof. Makoto Kobayashi (Jepang, Nobel Fisika tahun 2008); Prof. Serge Haroche (Perancis, Nobel Fisika tahun 2012); Prof. Shuji Nakamura (Jepang, Nobel Fisika tahun 2014), Prof. Jean-Marie Lehn (Perancis, Nobel Kimia tahun 1987); Prof. Ada Yonath (Israel, Nobel Kimia tahun 2009), dan Prof. Barry J. Marshall (Australia, Nobel Fisiologi/Kedokteran tahun 2005).

Mereka dianugrahi Nobel karena hasil karya penelitian yang dinilai membawa kemanfaatan terbesar bagi umat manusia. Hal ini sejalan dengan pesan Alfred Nobel, yang mendonasikan harta kekayaannya untuk memberikan penghargaan “to those who, during the preceding year, shall have conferred the greatest benefit on mankind“, kepada pihak-pihak yang memberikan kemanfaatan terbesar bagi umat manusia. Pak Nobel ini, sebagaimana Yi Hanafi, juga memahami esensi universal “kemanfaatan ilmu dan amal”.

Ambil contoh Prof. Nakamura, yang dianugrahi Nobel bidang fisika (2014) bersama Prof. Isamu Akasaki dan Prof. Hiroshi Amano karena menemukan lampu LED (light-emitting diodes) biru yang efisien, yang mampu menghasilkan sumber cahaya terang dan hemat energi. Sejak penemuan dan komersialisasi lampu LED hingga saat ini, diperkirakan mampu menghemat penggunaan energi setara dengan 60 unit pembangkit listrik energi nuklir. Sebuah terobosan dan sumbangsih luar biasa bagi umat manusia.

Tidak hanya itu, penemuan LED telah menginspirasi aplikasinya pada berbagai bidang: televisi dan monitor panel LED, gadget telepon pintar, layar laptop, dll. Bisa dibayangkan, tanpa penemuan LED, dunia kita tak seberwarna, semaju dan segemerlap sekarang. Adalah satu anugrah bisa mendengarkan kuliah mereka. Kita tidak hanya belajar tentang ilmu, namun juga belajar tentang kehidupan. Prof. Yonath misalnya, dibalik capaian akademis yang luar biasa, adalah seorang ibu dan seorang nenek. Capaian medali Nobel beliau sandingkan dengan pigura tulisan tangan cucunya “The best gra-ma of the year is Ada Yonath”, nenek terbaik tahun ini adalah Ada Yonath.

Sungguh menginspirasi. Lalu Prof. Marshall, dengan temuan Helicobacter-nya telah mengubah paradigma medis tentang bakteri di sistem lambung manusia, meski harus berjuang melawan skeptisme dan cibiran. Kita belajar mengenai bagaimana ilmu yang bermanfaat bagi umat, belajar mengenai motivasi yang tepat, mengenai dedikasi, kepercayaan diri sekaligus kerendahan hati. Bahwa apa yang kita kerjakan harus kita nikmati dan kita lah yang memberi arti (value) karya kita: Ilmun nāfi’un wa amalun shālihun, kemanfaatan ilmu dan amal.

Dan saya pun semakin yakin, manusia hanya diberikan pengetahuan yang sedikit, wa mā ūtītum minal ‘ilmi illa qalīlan.. Ada sebegitu banyak fakta semesta yang belum terjelaskan… dan siapa tahu kita yang memberikan terobosan penjelasannya, dengan ilmu dan amal…. Allahul muwaffiq.

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *