FEATURE, BANGKITMEDIA.COM
(Kisah Khotimatul Husna, Perempuan Pejuang Pendidikan Anak)
Kisah ini berawal ketika saya menemukan keteduhan dari mata seorang perempuan tangguh di depan saya. Dialah Khotimatul Husna, perempuan berusia 40 tahun yang memiliki tiga putri cantik yakni Ratu Sheba Sofie Ahimsa, Queen Aisha Permata Ahimsa, dan Malika Kimya Mutia Ahimsa.
Saat itu saya dan Khotim (panggilan akrabnya) sedang duduk bersama menyaksikan acara khatmil quran di pondok pesantren Nurul Ummah Kota Gede, di mana putri keduanya yang bernama Queen Aisha Permata yang masih kelas 3 Madrasah Ibtidaiyah itu ikut serta sebagai peserta khatmil Qur’an bil hifdzih 3 juz (sudah hafal 3 juz dalam al-Qur’an). Hebat ya?
Khotim bukan hanya sukses dalam mendidik anaknya sendiri, akan tetapi Khotim juga memperjuangkan pendidikan di desanya melalui lembaga pendidikan yang didirikannya yakni Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Flamboyan Desa Jambidan Banguntapan Bantul DI.Yogyakarta. Perjuangan itu dimulai tahun 2013.
Sering saya berkunjung ke rumahnya yang terletak di dusun Kepanjen Rt.01, Dk. Bintaran, Desa Jambidan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, D.I. Yogyakarta. Khotim memiliki magnet yang kuat untuk mengispirasi saya dalam melakukan gerakan pendidikan berbasis desa. Karena dia juga saya tahun ini memberanikan diri untuk mendirikan PAUD di Masjid samping rumah saya, alhamdulillah berjalan lancara dan semua itu berkat arahan dan ilmu yang diberikan Khotim.
Terkadang Pengabdian Dari Hati Diragukan
Cukup tentang saya, di sini saya ingin mengkisahkan tentang Khotim, supaya bukan hanya saya yang mendapatkan ilmunya tetapi semua masyarakat terinspirasi dan bisa memberikan kemanfaatan bagi masyarakat sekitar kita.
Di depan rumah Khotim masih tertempel papan tulisan “KB Flamboyan” dan Griya Baca Masyarakat “Kandank Ilmu”. Halaman rumahnya juga sangat sejuk, lantaran banyak sekali tanaman-tanaman hijau yang menghiasi rumahnya. Bagian tembok tertentu di dalam rumahnya masih tertempel stiker-stiker khas PAUD, dan ratusan buku menghiasi ruang tamunya.
Ya, Khotim memulai pengabdiannya dari rumahnya sendiri. Berawal dari keresahannya melihat banyak anak-anak usia 2-5 tahun di sekitar tempat tinggalnya yang selalu bermain dan tidak peduli dengan pendidikan. Di benaknya muncul pertanyaan “Kenapa mereka tidak sekolah atau belajar di Kelompok Bermain? Padahal usia itu adalah usia emas yang sangat bagus untuk mendapatkan pendidikan, khususnya pendidikan karakter.”
Pertanyaan itu selalu mengganggu pikirannya, apalagi putri kedua dan ketiganya saat itu juga berusia balita. Akhirnya Khotim mencari tahu tentang PAUD di dekat rumahnya. Ternyata dari situ dia mengetahui alasan kenapa anak-anak di desanya banyak yang tidak belajar di PAUD, lantaran biaya pendidikannya dirasa tinggi oleh masyarakat sekitar yang mayoritas buruh tani.
Penghasilan yang pas-pasan ini yang membuat orang tua tidak mampu membayar biaya pendidikannya yang cukup mahal sehingga mereka tidak begitu peduli dengan pendidikan anak usia dini, mereka akan langsung menyekolahkan anaknya jika sudah cukup usia di Sekolah Dasar (SD) atau di TK tapi hanya satu tahun. Ini akan mengakibatkan kemampuan belajarnya kalah dengan anak yang sudah pernah belajar di usia dini.
Dari situlah Khotim memiliki semangat mendirikan Kelompok Bermain PAUD Flamboyan. Karena baginya pendidikan usia dini sangat penting, apalagi ditambah dengan mengajarkan nilai-nilai karakter dan akhlak bagi mereka. Dia mengajak beberapa warga yang berkenan membantunya. Salah satunya adalah Lies dan Wasiroh.
Lies dan Wasiroh begitu antusias membantu Khotim di awal pendirian, namun tidak semudah yang dipikirkan. Banyak halangan dan rintangan bahkan penolakan dari beberapa warga sekitar, karena mereka masih ragu dengan apa yang akan dilakukan Khotim. Bahkan ada yang merasa terancam status sosialnya jika Khotim berhasil mendirikan KB ini.
Lies yang dari awal ikhlas membantu tiba-tiba dilarang suami dan ibunya. Mereka tidak tahan mendengar ocehan warga, Lies menangis dan meminta maaf kepada Khotim karena dia tidak sanggup membantu lagi. Namun, Khotim berusaha meyakinkan Lies.
“Saya bilang ke Mbak Lies, kalau ini tidak ada apa-apanya dibandingkan apa yang dilakukan ibu saya waktu berperan di masyarakat. Bahkan ibu saya pernah berurusan dengan polisi. Alhamdulillah kita hanya jadi bahan omongan, jadi tidak usah didengarkan,” begitu lanjut Khotim.
Keyakinan Lies kembali muncul, namun Wasiroh pun tiba-tiba menangis dan bilang kepada Khotim kalau ia tidak kuat mendengar hinaan dari warga.
“Saya cuma penjual sayur juga jajanan kecil, Bu, tiba-tiba banyak yang sepertinya memuji tapi sebenarnya mereka menghina saya. Mereka bilang ‘Ciee… sekarang Bu Dhe Wasiroh jadi Bunda PAUD’ lha itu kan di hati nyesek, Bu,” jelas Wasiroh.
Khotim tidak menyerah menyemangati dan memberi kekuatan kepada mereka hingga akhirnya KB Flamboyan berdiri. Karena mereka belum memiliki tempat, dengan berani saat itu Khotim mempersilahkan proses belajar anak-anak di rumahnya.
Gotong Royong Mewujudkan Mimpi Bersama
Berdirinya PAUD ini, tak lepas dari peran aktif Khotim dan menjalin komunikasi yang baik dengan masyarakat. Sosok yang amanah ini mampu membuat masyarakat percaya sepenuhnya kepada Khotim dan pengurus PAUD untuk selalu meningkatkan pendidikan bagi anak-anak mereka yang hanya buruh tani, sehingga ketika TK atau SD anak-anak di dusun Kepanjen ini mampu bersaing dengan anak-anak lain.
Setelah empat tahun berjalan, Kelompok Bermain PAUD Flamboyan semakin berkembang. Semakin banyak anak anak yang mewarnai ruang tamu dan garasi rumah Khotim. Awalnya semakin banyak anak-anak yang ikut belajar di rumahnya sehingga sudah tidak muat bahkan sampai berdesak-desakan. Dia selalu berdoa semoga PAUD nya diberi tempat yang layak, sehingga proses belajar mengajar lebih kondusif dan lebih nyaman.
Tidak mudah mendapatkan tanah untuk menjadi tempat belajar anak. Dia beserta Lies mengajukan permohonan kepada Kepala Desa untuk meminjamkan tanah desa yang akan digunakan untuk bangunan KB. Namun, Khotim malah mendapat respon yang tidak baik. Mereka menolak permintaan Khotim dengan alasan yang macam-macam tapi tidak jelas.
Khotim tidak menyerah dia yakin jika melakukan sesuatu dengan keikhlasan, maka jalannya akan dipermudah. “Alhamdulillah ada warga yang baik hati yang menawarkan tempat untuk KB kami. Warga sekitar sangat antusias, kami membangun gedung KB dengan gotong royong,” jelasnya.
Saat itu terlihat air mata yang menetes di pipinya. Khotim mengingat perjuangannya untuk memberikan yang terbaik bagi masyarakat sekitarnya. “Tak disangka, banyak sekali warga yang memberi bantuan,ada yang memberi batu bata, pasir, pintu, jendela, kramik, ada juga berbetuk uang dan yang saya sangat terharu ada teman saya yang dengan ikhlas menjualperhiasannya untuk membantu pembangunan PAUD ini.” Katanya sambil berlinang.
Saya sering berkunjung di bangunan baru PAUD Falmboyan, bangunan sederhana yang berdiri di tengah-tengah rumah warga, masih di kelilingi semak-semak. Dari kesederhanaan bangunan itu terpancar nilai-nilai perjuangan Khotim dan warga Kepanjen. Demi mewujudkan pendidikan anak yang lebih baik, mereka tak segan gotong royong.
“Saya selalu mengingat pesan ibu saya. Jadilah orang yang selalu “nggelar klasa” atau membukakan tikar bagi siapa saja yang membutuhkan alas untuk duduk, untuk tidur, untuk belajar, untuk makan, dan untuk kebaikan apapun dan di manapun. Karena kanjeng nabi Muhammad SAW berpesan sebaik baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lain.” Katanya yang tak terasa giliran air mata ini yang ikut menetes. Saat itulah saya berpikir bahwa apa yang sudah saya lakukan untuk masyarakat sekitar? Jika Khotim saja bisa, maka saya pun harus bisa. Terima kasih Khotim, sudah memberi banyak inspirasi bagi saya, semoga PAUD Masjid Az-Zahrotun Wonocatur yang kami bangun, bisa istiqomah dan memberi manfaat bagi yang lain.
Lalu, apa yang sudah anda lakukan untuk anak-anak di sekitar rumah anda? Mari kita membuat sejarah untuk generasi-generasi bangsa!
Penulis: Siti Muyassarotul Hafidzoh, Guru.