Saat seseorang menjadi religius, harusnya dia juga semakin menjaga alam dan lingkungan. Menjaga alam sebagai cara manusia beribadah, dan memegang tanggung jawab sebagai khalifah di muka Bumi.
Konsepsi eko-teologi, eko-fikih (fiqh al-bi’ah), dan eko-sufisme bermuara pada penemuan entitas ketuhanan yang dilakukan oleh manusia melalui alam. Hal ini terangkum dalam penelitian berjudul Islamic Environmental Conservation: Navigating the Challanges and Demands of Globalization karya Umar Faruq Thohir, Achmad Gunaryo, Agung Suwandaru, serta Raharjo. Penelitian yang terbit pada 2023 tersebut bisa kita akses di jurnal ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin 24.
Dalam beberapa masa ke belakang, banyak muncul masalah-masalah kerusakan alam. Problem kerusakan alam bisa dihubungkan dengan nilai-nilai keagamaan sebagai basis dasar konservasi. Namun banyak pendekatan yang bisa digunakan untuk semakin melihat masalah utamanya. Para peneliti mengklaim kerusakan alam sebagai akibat dari krisis spiritual yang melanda manusia.
Untuk menyelesaikan masalah ini, penemuan terhadap basis nilai untuk membangun ulang spiritualitas manusia dalam konteks ekosentrisme dilakukan dalam penelitian ini, menggunakan metode kualitatif dengan analisis konten sebagai alat analisanya.
Dalam kesimpulannya, peneliti menuliskan bahwa keseimbangan alam menjadi elemen utama yang menyempurnakan ibadah, penghambaan, dan penyatuan terhadap nilai-nilai ketuhanan. Hal tersebut dapat mengisi ruang spiritualitas manusia. “Sehingga bangunan spiritualitas manusia dibentuk melalui pemanfaatan (al-intifā’), abstraksi nilai ketuhanan (al-i’tibār), dan konservasi (al-iṣlāḥ). Tiga etika lingkungan ini mengkaji perilaku manusia terhadap alam semesta dan menyelami hubungan di antara semua makhluk hidup dalam alam semesta yang luas ini,” tulis dalam penelitian tersebut.
Landasan konservasi lingkungan, sebagaimana dijelaskan oleh berbagai kajian tentang narasi Islam, bertumpu pada prinsip yang teguh dalam menempatkan entitas ilahi di puncak hubungan antara manusia dan alam. Dalam konteks ini, Tuhan, sebagai kekuatan tertinggi dan pembimbing dalam perjalanan pengabdian, mempercayakan manusia dengan tanggung jawab mulia untuk melayani sebagai wakil-Nya (khalifah) di Bumi.
Representasi ini mencakup atribut pengasuhan dan pengelolaan yang membangun kerangka dasar bagi interaksi manusia dengan alam, yang dianggap sebagai manifestasi nyata dari kehadiran Tuhan (tajalliyyāt). Tindakan yang membimbing manusia menuju penyatuan dengan Tuhan melalui perenungan alam dibentuk dalam prinsip-prinsip hukum Islam, mengambil bentuk pemanfaatan yang bertanggung jawab tanpa menyebabkan kerugian.
Tema utama dari tindakan ini berkisar pada perolehan wawasan yang lebih dalam tentang hakikat keilahian, yang menjadikannya sebagai dasar pemikiran di balik pengelolaan manusia. Identifikasi nilai-nilai etika yang membentuk kerangka fundamental untuk merevitalisasi dimensi-dimensi spiritual dicapai melalui analisis konten yang komprehensif, yang secara efektif menghubungkan konsep-konsep kunci dalam eko-teologi, eko-fiqh, dan eko-sufisme.
“Konsep sentral ini menyarankan pemenuhan kebutuhan spiritual dengan mengelola alam secara bertanggung jawab dan harmonis,” tulisnya.
–
Penulis: Antariksa Bumiswara