Oleh: Syaifur Rohman, M.Pd.I., Guru di Madrasah Ibtidaiyah Nurul Ummah, Kotagede, Yogyakarta. Tinggal di PP Nurul Ummah, Jln. Raden Ronggo, KG II, 982, Kotagede, Yogyakarta
Kalau tidak mau menyesal dalam hidup ini, maka jangan pernah menyepelekan pendidikan!
Iya, pendidikan merupakan bentuk ikhtiyar manusia untuk menggapai kebahagiaan di masa depan. Melalui pendidikan, manusia akan mempunyai kesempatan lebih besar dalam menggapai kebahagiaan. Ada korelasi positif antara pendidikan yang baik dengan kebahagiaan dan masa depan yang lebih cerah, begitu pula sebaliknya. Pendidikan merupakan tempat menyemai benih-benih kebaikan untuk sebuah masa depan.
Ki Hadjar Dewantara menegaskan bahwa pendidikan merupakan tuntunan dan pendampingan di dalam hidup tumbuhnya seorang anak. Pendidikan adalah alat yang dapat digunakan untuk mengarahkan potensi–potensi yang dimiliki setiap anak agar mereka menjadi manusia yang merdeka, berbudaya dan mandiri. Karena itulah, jika Indonesia menghendaki masa depan gemilang maka wajib bagi segenap elemen negara ini untuk menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas.
Pendidikan juga diharapkan aktif dalam mengawal keberagaman bangsa ini agar keberagaman yang ada menjadi kekuatan untuk mengatasi konflik horizontal antar suku, agama, dan ras. Saat ini, konflik horizontal bukan hanya menyasar usia dewasa namun telah merambah kepada usia belia. Fenomena klitih di Yogyakarta adalah salah satu akibat luntur dan gagalnya lembaga pendidikan dalam menanamkan nilai-nilai luhur budaya kepada generasi muda yang hidup di tengah derasnya arus teknologi yang pragmatis dan hedonis.
Tantangan Teknologi
Kita hidup di era globalisasi dengan derasnya arus teknologi. Mau tidak mau, seluruh aspek kehidupan saat ini bersentuhan dengan teknologi, termasuk dalam proses pendidikan. Ada yang positif, ada yang juga yang negatif dalam memanfaatkan teknologi. Dampak negatif dikarenakan informasi tanpa kontrol yang menyebabkan lunturnya budaya suatu bangsa. Selain itu, anak yang berkembang bersama canggihnya teknologi tanpa filter akan tumbuh menjadi pribadi hedonis serta kehilangan jati diri.
Gawai dengan segala kecanggihannya menawarkan kesenangan pragmatis yang menggiurkan. Perlahan-lahan membentuk karakter anak yang menginginkan segala sesuatu serba instan. Rendahnya pemahaman terhadap penggunaan media sosial secara tepat guna serta kontrol emosi yang labil menjadikan anak-anak terutama usia remaja seringkali gegabah dalam mengambil keputusan dan berujung pada penyesalan, pergaulan bebas, minum-minuman keras hingga narkoba. Dari sini, masyarakat Indonesia yang terkenal dengan nilai-nilai luhur kebudayaannya hanya tinggal cerita.
Generasi muda yang tumbuh dari teknologi tanpa budaya ibarat pohon yang tak memiliki akar kuat, pohon tersebut akan dengan mudah roboh tertiup angin sebelum berbuah. Maka tidak salah jika ada yang mengatakan Indonesia akan kehilangan jati diri dan hancur di masa depan. Keberadaannya seperti ketiadaannya.
Berkaca dari fakta di atas, maka pendidikan harus menjadi garda depan dalam mengawal tumbuh kembangnya generasi muda menjadi manusia berbudaya. Lembaga pendidikan harus kembali menjadi kawah candradimuka yang menyiapkan generasi tangguh sebuah bangsa, yaitu generasi yang siap mewarisi budaya-budaya adiluhung para pendahulunya.
Proses pendidikan harus mampu menjadi sebuah proses pewarisan budaya dari generasi ke generasi. Budaya adalah manifestasi dari cipta rasa dan karsa para generasi terdahulu yang berisi nilai nilai adiluhung yang tumbuh dan berkembang dari masyarakat. Karena itulah, stigma kuno terhadap budaya harus dihilangkan.
Generasi milenial membutuhkan budaya sebagai filter terhadap derasnya arus teknologi saat ini. Kegiatan dan proses pendidikan mempunyai peran strategis dalam proses pewarisan budaya, kegiatan tersebut bisa dimulai dengan langkah kecil misalnya praktek jual beli di kantin kejujuran, piket harian di kelas, serta gerakan literasi sekolah.
Kegiatan-kegiatan ini menjadi langkah awal membentuk karakter mulia pada anak-anak yang selanjutnya diharapkan bertransformasi menjadi budaya kejujuran, gotong-royong, kerjasama serta budaya membaca dalam diri setiap anak. Dengan menanamkan budaya-budaya tersebut, diharapkan generasi muda tidak terjerumus ke dalam arus kehidupan hedonis, pragmatis dan serba instan. Teknologi harus menjadi alat bagi mereka untuk mengokohkan jati diri bangsa, bukan sebaliknya.
Indonesia akan mencapai kejayaan bukan karena terbawa arus teknologi atau antipati terhadap teknologi, namun karena mampu mengawal perkembangan dan perubahan melalui budaya dan teknologi. Generasi muda akan paham bahwa kebahagiaan hidup tidak hanya diukur dengan banyaknya materi atau canggihnya gawai yang dimiliki. Bahagia akan muncul ketika bisa hidup bersama serta memberikan manfaat kepada orang lain.
Seperti yang diajarkan nenek moyang kita bahwa gotong royong, kejujuran, ketekunan dan semangat pantang menyerah adalah esensi dari kebahagiaan hidup menurut Ki Hadjar. Bahagia bukan tentang banyaknya materi, tapi bahagia adalah sesuatu yang dibangun dari kasih sayang terhadap sesama.