Pangeran Diponegoro dan Sejarah NU DIY

Diponegoro

“Manut” dan “tunduk” dengan guru adalah akhlaq istimewa yang dibangun dalam tradisi pesantren dan tradisi lokal di Nusantara. Manut dan tunduk bukan berarti kehilangan nalar kritis, melainkan bentuk tranmisi dan transformasi ilmu, sehingga mendapatkan kejernihan dan kebeningan hati nurani. Tanpa akhlaq istimewa ini, maka spirit lokal bisa hanyut dalam arus deras perubahan jaman.

Inilah yang pernah dipraktekkan Raja Kerajaan Pajang, Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya), ketika mendapatkan nasehat dari sang guru, Sunan Kalijaga, untuk memberikan alas mentaok (sekarang menjadi Kota Gede) kepada Ki Ageng Pemanahan, atas janji yang sudah diucapkan. Di sana ada konflik politik, tetapi akhlaq dengan guru tidak akan runtuh hanya karena ambisi politik. Dari sinilah, lahir Kerajaan Mataram Islam. Putra Ki Ageng Pemanahan yang bernama Sutawijaya, bergelar Panembahan Senopati, menjadi raja pertama Kerajaan Mataram Islam.

Bacaan Lainnya

Akhlaq ini juga ditunjukkan oleh Pangeran Diponegoro yang pernah menjadi santri dari kiai-kiai di tanah Jawa. Sang Pangeran yang memiliki nama kecil Abdul Hamid ini pernah berguru kepada Kiai Hasan Besari Ponorogo yang juga guru pujangga besar Ronggowarsito. Berguru kepada Kiai Taftani Kartasuro, Kiai Baidlawi Bagelan dan Kiai Nur Muhammad Ngadiwongso Salaman Magelang.

Sebagaimana akhlak seorang santri, Pangeran Diponegoro tunduk dan patuh kepada semua gurunya. Tetapi ketika berhadapan dengan penjajah, Sang Pangeran berani melawan dengan gigihnya. Itu terbukti dengan meletusnya perang Diponegoro atau yang dikenal perang Jawa antara tahun 1825-1830 M. Perang yang dipelopori oleh Pangeran Diponegoro itu adalah perang terbesar dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajah. Akibat perang itu, Belanda mengalami kerugian yang tidak terkira.

Sorban Pangeran Diponegoro menjadi sorban kebesaran yang ditiru KH A Wahab Chasbullah dalam berbangsa dan bernegara. Ketika sidang di parlemen, banyak yang nyinyir atas sorban yang dipakai Kiai Wahab. Tetapi dengan tegas, Kiai Wahab menegaskan bahwa sorbannya adalah wujud semangat menyala dari Pangeran Diponegoro. Spirit perjuangan Pangeran Diponegoro menjadi inspirasi khusus dalam diri seorang Kiai Wahab.

Makanya, pada tahun 1929, selepas Muktamar NU di Cirebon, Kiai Wahab datang secara khusus ke Jogja, tanah leluhurnya Pangeran Diponegoro. Ketika di Jogja, yang dituju adalah KH. Imam di Wonokromo. Kiai Imam saat itu, adalah kiai muda aktivis yang mempunyai semangat luar biasa dan berjejaring lintas pesantren. Tahun itu juga, NU Jogja dideklarasikan di Masjid Pathok Negoro Wonokromo. Masyarakat sekitar berduyun-duyun menghadiri meriahnya deklarasi NU di Wonokromo. Semua kiai di DIY sangat senang dan mendukung penuh termasuk KH. Munawwir Krapyak.

 

Bergerak Penuh Semangat

Kiai Imam bersama KH. Abdul Qadir Munawwir adalah dua sosok anak muda yang “dipasrahi” Kiai Wahab Hasbullah untuk membangun NU secara organisasional di Jogja. Semangat ketaatan yang juga dicontohkan oleh Pangeran Diponegoro dan Jaka Tingkir, demikian juga Kiai Imam dan Kiai Abdul Qadir taat kepada Kiai Wahab Hasbullah. Keduanya, menggerakkan NU DIY dengan penuh semangat bahkan ketika Resolusi Jihad 22 Oktober tahun 1945, keduanya menjadi panglima para santri untuk berperang melawan penjajah di Surabaya. Santri Jogja ikut serta mendampingi Kiai Hasyim Asy’ari dalam melawan penjajah.

Menurut KH. Maimoen Zubair, Mbah Imam adalah seorang ulama ahli fiqh dan tasawuf. Keduanya diselaraskan dalam membangun gerakan kemaslahatan umat. Mbah Imam juga pengamal tarekat. Menurut Kiai Haris, cucu Mbah Imam, yang sekarang menajdi pengasuh Pesantren al-Imam Wonokromo, Kiai Imam juga dikenal sebagai pedagang yang memiliki saham di PG. Pleret. Dia menjadi menantu Kiai Kholil di Wonokromo. Sejak 1925, sudah membuka pengajian bersama masyarakat. Disamping membangun jaringan aktivis bersama kiai dan santri di Yogja dan sekitarnya. Makanya, masa muda Mbah Imam sudah disegani oleh masyarakat.

Kiai Imam punya adik bernama Kiai Juned yang bermukim di Kauman, Yogya. Namun Kiai Juned meminta ijin kepada kakaknya, untuk berjuang di Muhammadiyah. Kiai Imam mengizinkan dengan senang tanpa ada konflik apapun. Di kemudian hari, Gus Dur ketika sekolah di SMEA Yogyakarta dititipkan oleh ibunya di kediaman Kiai Juned. Jadi, selain belajar di sekolah, Gus Dur juga belajar mengaji kepada Kiai Juned dan tentu saja mengaji di Krapyak dengan Kiai Ali Maksum. Banyak santri-santri dari pengajian Muhammadiyah yang berguru kepada Kiai Juned. Sinergi dakwah yang sangat santun dan mencerdaskan!

Masa-masa NU di bawah kepemimpinan di bawah Kiai Imam dan Kiai Abdul Qadir adalah masa-masa di tengah penjajahan. Akan tetapi NU tidak pernah tunduk kepada penjajah. Jejaring antar santri di berbagai daerah menjadi kunci konsolidasi gerakan dalam membangun kemaslahatan umat. Semangat perjuangan ini setelah Kiai Imam wafat pada tahun 1948, dilanjutkan oleh KH. Afandy Munawwir, KH. Ali Maksum, KH. Abdul Qadir Munawwir, KH. Nawawi Abdul Aziz, KH. Mufid Mas’ud, KH. Marzuqi Giriloyo, KH. Asyhari Marzuki, Prof. KH. Machasin, KH. Asyhari Abta, dan KH Mas’ud Masduqi. Sementara di sisi tanfidziyah, lahir sosok-sosok hebat yang berpengaruh dalam perjalanan NU DIY yakni KH. Jamhari, KH. Syaiful Mujab, KH. R. Suwardiyono, KH. Sofwan Helmy, Prof. Mas’ud Mahfudz, Prof. KH. Ma’shum Mahfudz, Prof. Rachmat Wahab, dan Prof. Nizar Ali.

Dari kisah perjalanan Sunan Kalijaga, Pangeran Diponegoro dan Mbah Imam Wonokromo ada beberapa inspirasi yang menjadi pelajaran bersama. Pertama, Tunduk dan taat kepada guru itu pasti. Tapi tidak boleh tunduk di bawah kesewenang-wenangan dan ketidakadilan. Kedua, jejaring antar santri dan pesantren menjadi kekuatan terbesar NU untuk membangun kemasalahtan umat. Ketiga, spirit lokal menjadi pondasi utama para kiai dalam menerjemahkan ajaran-ajaran Islam dalam berbangsa dan bernegara. (md)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *