Pandangan Gus Baha Ketika Melihat Kemaksiatan.
Alhamdulillah, untuk kesekian kalinya KH. Bahauddin Nursalim (Gus Baha) rawuh di Bayt al-Quran. Seperti biasa, beliau menyempatkan ngaji pagi bersama para pengurus dan beberapa tamu undangan. Ohya, kegiatan ini dilaksanakan secara tertutup dan sangat terbatas. Hanya diikuti internal pesantren dan beberapa tamu undangan yang tak lebih dari sepuluh orang dengan menerapkan protokol kesehatan yang sangat ketat.
Jika sebelumnya membahas kitab Syajaratil Ma’arif, kali ini beliau membahas mengenai sosial yang biasa terjadi di masyarakat. Sebagai umat Islam di Indonesia penganut Ahlussunnah, kita semua meyakini akan ajaran Amr Maruf Nahi Munkar. Kita juga mengenal adanya sekelompok tertentu yang biasa melakukan “penertiban” beberapa tempat yang diduga sebagai sarang kemaksiatan, dengan dalih nahi munkar.
Lalu Gus Baha melontarkan pertanyaan: “Ketika kita melihat maksiat apakah seharusnya kita membenci pelakunya atau malah justru menunjukkan simpatik, dengan harapan kita membina mereka?”
Lantas beliau memberikan contoh perumpamaan. Ada sebuah keluarga yang cukup religius, sholih, sering mengikuti majelis ta’lim di kampungnya, tetapi memiliki anak yang suka mabuk-mabukan di jalanan, yang tentu saja menjadi beban bagi keluarga tersebut.
Dalam konteks apapun, Nahi Munkar dilakukan haruslah dengan cara yang proporsional. Maka jika kita menegur pemabuk tersebut dengan cara-cara yang serampangan dan ngawur, kemudian menjadikannya sakit hati dan menyimpan dendam amarah lalu berujung membunuh siapapun orang yang menegurnya, tentu ini adalah nahi munkar yang justru jelas menimbulkan munkar yang lebih besar.
Sudah tentu keluarga terbebani dengan perilaku anaknya yang pemabuk. Tetapi cara-cara kita dalam nahi munkar yang dilakukan tanpa perhitungan dan pengetahuan, justru menimbulkan kekacauan dan kegaduhan yang lebih dahsyat sekaligus menambah beban bagi keluarga si pelaku. Ketika mendengar anaknya membunuh tokoh yang dihormati misalnya, tentu beban ini jauh lebih besar daripada sekedar mabuk saja.
“Di antara syarat kewajibannya Nahi Munkar, aturannya jangan sampai yuaddi ila munkarin ma huwa aqbahu minhu/ syarrun minhu, -Nahi munkar yang justru malah menimbulkan kemunkaran yang lebih buruk.” Ucap Gus Baha mengawali.
Memang, salah satu tantangan dakwah adalah harus siap menyasar obyek-obyek yang secara umum kita tidak siap. Seperti orang-orang ahli maksiat, beda kultur, dan bahkan beda agama.
Lantas beliau mengutip Ihya’, bahwa orang-orang terdahulu termasuk para sahabat Rasul saw. memiliki sikap yang berbeda-beda dalam menanggapi sebuah kemaksiatan. Meski secara umum kita tidak memiliki guru yang reaktif terhadap suatu kemaksiatan, tetapi apabila dilihat lagi, mereka yang reaktif pun sebenarnya dapat dibenarkan selama dengan cara yang dibenarkan pula.
Secara umum Imam al-Ghazali membagi tiga, ada yang secara jelas menampakkan ketidaksukaannya (ويظهر البغض له), adapula yang tidak mengambil sikap (إلى من يعرض عنه ولا يتعرض له), dan ada yang bersikap simpatik memandang mereka dengan penuh rahmat dengan harapan mampu membinanya serta tidak memutus hubungan ataupun menjauhi mereka (ينظر إليه بعين الرحمة ولايؤثر المقاطعة والتباعد) . Sikap yang terakhir inilah yang dianut dan diterapkan oleh Walisongo dalam menyebarkan Islam di Nusantara.
Agama mengajarkan bahwa dalam mengajak kebaikan, maka harus menggunakan cara yang baik pula. Maka, kemampuan seseorang melihat ahli maksiat dengan pandangan kasih sayang adalah sebuah anugerah besar.
“Jadi kebencian itu tidak termasuk nikmat yang dihitung Allah. Yang dihitung Allah sebagai kenikmatan itu allafa baina qulubihim. Jadi rasa muallafah, merasa nyaman dengan teman kita/saudara kita meskipun beda ormas, beda kultur, atau beda apapun, itu bagian dari kenikmatan. Jangan mentang-mentang kamu demi nahi munkar (di hatinya) adanya hanya kebencian saja. Itu di al-Quran sudah jelas, bahwa nikmat terbesar Allah adalah allafa baina qulubihim.” Tegas Gus Baha.
Lalu beliau melanjutkan dengan mengutip QS. 8: 63, “Walaupun kamu menginfakkan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka.” Ayat ini menunjukkan bahwa perkara hati adalah urusan Allah. Gus Baha menggambarkan, seandainya saja negara menggelontorkan APBN untuk melakukan rekonsiliasi menyatukan hati seluruh masyarakat tentu tidak akan bisa. Tetapi jika Allah sudah menghendaki, tak ada lagi yang mampu mengendalikan kehendak-Nya. Maka sikap yang dipilih oleh Walisongo adalah sikap yang tidak mudah, memandang mereka dengan penuh kasih sayang dan mampu merubahnya.
“Makanya sebagian riwayat menyebutkan ra’s al-aqli ba’da al-iman billah; al-tawaddud ila al-nas. Setelah kita berargumen secara tauhid, urutan dakwah setelahnya adalah kita harus tawaddud ila al-nas, bersimpati kepada orang lain. Dengan harapan simpati itu membawa orang menuju jalan Allah dan Rasul-Nya.” Tutup Gus Baha.
wAllahu a’lam.
Bayt al-Quran, 6/4/2021.
Penulis: Yakhsyallah.
*Demikian tentang Pandangan Gus Baha Ketika Melihat Kemaksiatan, semoga manfaat. Melengkapi tulisan Pandangan Gus Baha Ketika Melihat Kemaksiatan, saksikan video berikut ini.