Ngaji Gus Mus: Hakikat Pesantren Itu Pendidikan, Bukan Pengajaran

gus mus ngaji

Hakikat pesantren sebagai lembaga pendidikan, bukan hanya lembaga pengajaran.

Santri sejati senantiasa haus akan ilmu, tidak mengenal ikhtitam dalam belajar. Saat Gus Mus masih menjelaskan, pikiran saya langsung teringat pada kalimat “No Day Without Learn” di Gedung C. Dulu tulisan itu ide Bapak. Selama ini saya tidak terlalu menghiraukan. Makin lama makin panjang daftar penyesalan saya…

Tentang semangat belajar yang seharusnya tidak ada akhirnya, Gus Mus kemudian mencontohkan Kiai Mahrus Ali Lirboyo Allahu yarham, yang kala itu sudah memiliki putra yakni Kiai Kafabih, masih mondok walaupun ngaji pasanan (pada saat bulan puasa). Ini yang membedakan orang dulu dengan orang sekarang. Sekarang banyak yang karena tidak diterima sekolah disana sini akhirnya mondok saja, jadi mondok itu sebagai alternatif terakhir. Sebagian besar hadirin tertawa, termasuk saya. Mungkin ada diantara mereka yang tersindir.

Bacaan Lainnya

Gus Mus melanjutkan, di pesantren yang ditekankan adalah pendidikan (tarbiyah), bukan sekadar pengajaran (ta’lim). Pengajaran itu nomor sekian. Makanya jangan heran kalau santri jaman dulu itu nulisnya di punggung temannya karena tidak ada bangku, kalau temannya ngantuk ya ndlewer semua tulisannya. Hadirin kembali terbahak-bahak.

Sekarang, pendidikan dikacaukan (dan direduksi) hanya menjadi pengajaran. Sekolah-sekolah formal yang sesungguhnya merupakan warisan jaman Belanda itu, isinya hanya pengajaran saja. Pengajaran berbeda dengan pendidikan. Pengajaran hanyalah pemberian informasi, anak diberi infomasi Matematika maka ia tau Matematika, diberi informasi Bahasa Indonesia maka ia tau Bahasa Indonesia, diberi informasi Bahasa Inggris maka ia tau Bahasa Inggris, diberi informasi Hadist maka ia tau Hadist, diberi informasi al-Qur’an maka ia tau al-Qur’an, tapi kelakuannya Qur’ani atau tidak itu lain urusan.

Pengajaran tidak menjalankan fungsi pendidikan. Gus Mus kemudian mencontohkan komputernya yang disebut “alim” luar biasa. Komputer Gus Mus hafal Kutubuttis’ah. Semua tafsir “di luar kepala”, mulai dari tafsir Jalalain, tafsir Qurtuby, tasir Ibnu Katsir, tafsir Khozin, tafsir Baidhowy, hafal semua. Komputer Gus Mus juga bisa menjawab semua pertanyaan. Jika ditanya mengenai satu hadist, dari mana sumbernya, nashnya bagaimana, siapa rawinya, maka dengan sekali klik, dia akan menjawab dengan cepat luar biasa. Pintar. Tapi ya itu… walaupun Gus Mus duduk di bawah, komputernya tetap “angkrik-angkrik” di atas meja alias nggak punya adab. Hadirin kembali tidak bisa menahan tawa….

Dari penjelasan Gus Mus saya akhirnya memahami filosofi nama pesantren kami yaitu “Pondok Pesantren Tarbiyatul Islam Al-Falah”. Ternyata titik tekannya tarbiyah, bukan sekadar ta’lim. Sampai akhir hayat Bapak belum menjelaskan itu, atau sesungguhnya saya saja yang bebal hingga baru tau maknanya setelah Gus Mus menjelaskan.

Penulis: Siti Rofiah, salah satu pengasuh Pondok Pesantren Tarbiyatul Islam Al-Falah, Salatiga.

*Catatan ini dihasilkan dari ngaji Gus Mus pada Senin 5 Agustus 2019 di Pondok Pesantren Tarbiyatul Islam Al-Falah, Salatiga.

*Catatan ini adalah bagian kedua, sedangkan bagian pertama berjudul “Gus Mus: Ngaji Sesungguhnya Tidak Mengenal Khataman.”

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *