Ngaji Burdah 15, Akan Kusembunyikan Rahasiaku dengan Pewarna

gus mus dan cak nun

Oleh: Kiai Kuswaidi Syafi’i, Pengasuh Pesantren Maulana Rumi Bantul

 

لو كنت أعلم اني ما اوقره
كتمت سرا بدا لي منه بالكتم

Andai aku tahu bahwa aku tidak akan menghormati tamu yang berupa uban itu, tentu akan kusembunyikan saja rahasiaku itu dengan pewarna hitam.

Kalau uban hanyalah merupakan rambut yang putih belaka dan sama sekali tidak direspon secara spiritual dengan cara melakukan keberpihakan yang sungguh-sungguh kepada Allah Ta’ala, sia-siakah hadiratNya mengirim gerombolan tamu putih itu kepada seseorang?

Jika demikian, di hadapan hadiratNya kelak, uban-uban itu bukan merupakan saksi yang membahagiakan, tapi malah sebaliknya: memberatkan “tuan rumahnya” karena sudah menyia-nyiakan peringatan konkret yang datang secara langsung dari Tuhan semesta alam.

Sebagaimana diakui oleh penulis Kitab Burdah itu sendiri yang saya kira sebenarnya mewakili kebanyakan para pembacanya, ketika gerombolan tamu putih itu tidak “diagungkan” sebagaimana semestinya, dia atau bahkan mereka ingin rasanya mewarnai uban-uban itu dengan pewarna hitam.

Tapi apa dikata, membungkus uban-uban itu dengan warna hitam dalam konteks keculasan sama saja sejatinya dengan usaha menyembunyikan kebusukan yang tidak akan pernah kunjung berhasil. Bahkan menyembunyikannya berarti sama saja dengan memupuk pohon-pohon hipokrisi di dalam diri.

Jika hal yang tidak beres itu terjadi, sungguh yang sebenarnya berlangsung pada diri seseorang tak lain hanyalah bertambahnya umur, sama sekali bukanlah pendakian untuk mencapai puncak kedewasaan.

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *