Alhamdulilah, bersyukur kepada Allah SWT, bangga sekaligus terharu, saya bisa menjadi bagian dari 170 peserta terpilih dari 1200 lebih pendaftar call for paper Muktamar Pemikiran Santri Nusantara. Muktamar pertama ini memungut tema “Islam, Kearifan Lokal, dan Tantangan Kontemporer” dan memilih Pesantren Krapyak Yogyakarta sebagai lokus.
Perhelatan ilmiah ini diselenggarakan oleh Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Kemenag RI. Sebagai rangkaian peringatan Hari Santri tahun 2018, Muktamar ini diramaikan dengan Malam Kebudayaan yang bertempat di Kandang Menjangan, kompleks Pesantren Krapyak Yogyakarta.
INSPIRASI DARI RAHIMA
Dalam Muktamar ini, saya mempresentasikan hasil penelitian saya tentang perkawinan anak dan strategi ulama perempuan dalam mencegahnya. Penelitian ini dilakukan karena inspirasi dari Swara Rahima, suatu NGO yang konsen pada isu perempuan dan hak-hak reproduksi.
Saya ingin berterima kasih kepada Rahima. Sebagai lembaga yang ikut memproduksi keulamaan perempuan, Rahima pernah melibatkan saya dalam kegiatan Workshop Penyusunan Kurikulum Belajar Penguatan Tokoh Agama dan Ulama Perempuan dalam Pencegahan Perkawinan Anak dan Kekerasan Berbasis Gender pada desember tahun lalu di Garut.
Berbalut pengalaman ini, saya bisa merasakan dan mencermati bagaimana Rahima mendorong berbagai pesantren di Garut untuk mencegah perkawinan anak. Salah satu pesantren terdepan dalam pencegahan perkawinan anak adalah Pondok Pesantren Manarul Huda. Pesantren ini beralamatkan di Desa Pancasura, Singajaya, Garut–di mana saya melakukan penelitian tentang perkawinan anak.
Dari lima sub tema yang ditawarkan Muktamar, saya memilih topik Pesantren dan Perempuan. Topik ini lumayan banyak peminatnya, baik dari kalangan pesantren, akademisi, maupun penggembira.
GERAKAN KUPI
Dalam presentasinya, saya menjelaskan bahwa
KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia) bukan sekadar gerakan spiritual semata. Akan tetapi, KUPI juga berkiprah sebagai gerakan intelektual, sosio-kultural, dan konstitusional yang hadir di tengah-tengah kehidupan masyarakat kontemporer. Gerakan ini tentu menjadi angin segar dalam menyikapi peliknya ragam persoalan yang dialami perempuan, terutama masalah perkawinan anak di Garut.
KEMENAG MEMPELOPORI
Muktamar Pemikiran Santri Nusantara ini adalah terobosan keren untuk menemukan dan memupuk kader ulama perempuan. Dalam konteks ini, saya ingin berterima kasih kepada seluruh panitia MPSN untuk tiga hari yang luar biasa. Ada nuansa yang baru, yakni memadukan nuansa akademik dengan pesantren. Ini memberi isyarat bahwa santri tidak terlepas dari dunia literasi. Santri merupakan pembangun peradaban yang memberikan kontribusi terhadap perkembangan peradaban Islam Nusantara.
Sungguh saya bangga dengan Pak Lukman Hakim Saefuddin, Menteri Agama RI. Dalam sambutan pada opening ceremony, dia mengaitkan pesantren dengan perempuan. Menurutnya, isu ulama perempuan perlu mendapatkan tempat khusus dalam sebuah kajian yang terencana, terstruktur, dan sistematis. Kajian ini agar bisa dipertanggungjawabkan secara akademis dan ilmiah. Menurutnya, Islam hadir untuk melindungi dan menjaga harkat martabat dan derajat kaum perempuan.
Anehnya, kata Pak Menteri, belakangan ini mulai muncul kembali paham-paham yang memosisikan perempuan dalam kajian Islam yang cenderung subordinatif. Karenanya, serunya,santri yang memiliki kapasitas dan kompetensi di bidang agama harus bertanggung jawab dan berada di garda terdepan untuk merespons cara pandang negatif ini.
SANGAT IMPRESIF
Pada akhir opening ceremony, saya juga dibuat merinding oleh Paduan Suara Santri Krapyak yang menyanyikan lagu Hari Santri dengan penuh penghayatan.
Pada malam harinya, suguhan Malam Kebudayaan kita nikmati. Pada malam berbintang ini, hadir banyak tokoh, seniman, budayawan, komika, dan para santri yang semuanya duduk setara, lesehan di Kandang Mejangan Krapyak Yogyakarta. Menurut saya, acara ini sangat keren sekaligus menakjubkan. Saya masih belum bisa move on dan terus memutar ulang acara ini di chanel youtube Krapyak TV. Silahkan kunjungi yaa gaessss.
SESI PANEL
Hari kedua semakin mengesankan lagi. Dari pagi hingga siang, panitia menyediakan 3 panel seminar internasional yang diisi oleh tokoh terkemuka tentunya. Saya memilih panel 2 dengan tema Pesantren, Women Ulama, and Social Transformation. Panel ini diisi oleh Syekh Bilal M Afifi Ghanim, Kyai Husein Muhammad, dan Nyai Hj. Hindun Anisah. Karena saya telat masuk forum, saya hanya menyimak Kyai Husein dan Nyai Hindun.
Kyai Husein yang biasa saya panggil Buya, merupakan kyai istimewa dan langka. Pemikirannya sangat progresif. Meskipun sudah berkali-kali mengikuti ceramah beliau, saya selalu mendapatkan ilmu dan pemikiran baru.
Buya Husein menjelaskan terkait peranan lembaga-lembaga yang berpengaruh pada terwujudnya KUPI sebagai puncak perjuangan para aktivis feminis muslim Indonesia. Lembaga tersebut adala Rahima, Alimat, dan Fahmina.
Menurut Buya, deklarasi KUPI merupakan perhelatan sejarah re-eksistensi ulama perempuan. Ulama perempuan telah ada dan berperan aktif dalam ruang-ruang sosial budaya, ekonomi, politik sepanjang sejarah. Telah banyak ulama perempuan memberikan informasi dan sumbangan yang berharga bagi peradaban Islam di bidang ilmu pengetahun dan sains. Akan tetapi, fakta sejarah ini tenggelam dalam tumpukan produk kebijakan patriarkisme.
Buya Husein menyampaikan tentang tugas ulama perempuan. Apa yang disampaikan beliau, selengkapnya bisa kunjungi pada laman Facebook Buya Husein Muhammad dengan judul “Eksistensi dan Peranan Ulama Perempuan.”
Senada dengan Buya Husein, Nyai Hindun Anisah memberikan pandangan lain tentang eksistensi ulama perempuan dalam perspektif sejarah. Diawali dengan cerita peranan Mbah Ali Maksum dalam mempraktikkan nilai-nilai keadilan gender, baik di dalam keluarga maupun di masyarakat. Hal ini dipraktikkan Mbah Ali Maksum sebelum istilah gender itu seksi.
Nyai Hindun mengungkap kembali sejarah keterlibatan ulama perempuan dalam ilmu pengetahuan. Atas sinar perempuan, dunia Islam berjalan dimanis, tidak statis. Menurutnya, pesantren merupakan lembaga yang memproduksi ulama perempuan. Karena itu, pesantren harus serius menggarap santri perempuan sebagai kader ulama. Perempuan harus saling mendukung satu sama lain untuk terlibat aktif di ruang publik.
Melihat sosok Nyai Hindun yang progresif, saya merasa optimis bahwa pesantren dan ulama perempuan akan memiliki masa depan yang cerah untuk membangun peradaban.
Nurul Bahrul Ulum
Yogyakarta, 10-12 Oktober 2018.
Terima kasih Kang Mas Marzuki Wahid yang selalu membimbing dan mendukungku. Love u so much