MI Sananul Ula Piyungan Tumbuh Bersama Kepercayaan Masyarakat
Piyungan. Jika nama itu disebut, pikiran kita tentu tertuju pada sebuah situs di internet yang begitu gemar menebar fitnah di dunia maya. Citra Piyungan sebagai basis gerakan transnasional pun merebak akibat adanya situs tersebut. Namun siapa sangka, di Piyungan pula, muncul sebuah Madrasah Ibtidaiyah (MI) berhaluan aswaja yang populer di masyarakat. Madrasah tersebut bernama MI Sananul Ula dan menjadi salah satu sekolah favorit di sana. Seperti apa kisahnya?
MI Sananul Ula yang terletak di Dusun Daraman, Desa Srimartani, tercatat sebagai satu-satunya sekolah ma’arif yang berada di Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul. Meskipun hanya satu-satunya, sekolah yang kini dipimpin oleh Bapak Ridwan, S.E., mendapatkan kepercayaan yang tinggi dari masyarakat di sekitarnya. Bahkan kepercayaan itu bukan hanya datang dari Piyungan saja, tapi juga dari beberapa kecamatan di sekitarnya, seperti Kecamatan Pathuk, Berbah dan Prambanan.
Berawal dari Madrasah Diniyah (Madin) Sananul Ula, cerita MI Sananul Ula dimulai. Hal itu seperti yang diungkapkan kepala madrasah Ridwan, S.E., bahwa sebelum ke lembaga pendidikan formal, justru madrasah diniyah yang pertama kali ada.
“Jadi ngaji setiap habis maghrib sampai Isya setiap hari. Itu awalnya seperti itu, baru kemudian tahun 1970 formalnya ada (MI Sananul Ula-red),” ujar Ridwan.
Ridwan menuturkan bahwa izin operasional MI Sananul Ula keluar sebelum madrasah ini menghasilkan alumni. Ia juga mengatakan bahwa MI Sananul Ula di masa awal berdirinya bukan tidak menghadapi rintangan. Ada banyak rintangan yang menghadang, utamanya persoalan kepercayaan masyarakat.
“Periode sulit madrasah ini terjadi antara tahun 1997 sampai awal tahun 2000. Bahkan ketika tahun 2000-an madrasah ini tidak ada peminatnya. Alhasil tidak bisa meluluskan siswa,” ungkap Ridwan yang merupakan alumni Universitas Cokroaminoto.
Mengatasi masalah tersebut, Ridwan dan guru-guru lainnya di tahun 2000 berjuang mencari murid dengan cara door to door (dari rumah ke rumah).
“Tantangannya berat untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat. Kita minta data lulusan TK, kita datangin mereka, datangin rumahnya. Dulu itu susah untuk mendapatkan siswa 10 saja. Masyarakat di sekitar sini saja belum tentu mau daftar”, kenang Ridwan.
Setelah mengalami titik terendah tersebut, MI Sananul Ula terus berbenah dengan menerapkan berbagai strategi tahun 2001. Salah satu strategi yang digunakan adalah dengan menarik kembali beberapa alumni yang dinilai cukup memiliki kompetensi, komitmen dan qualified untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat.
“Ada lima alumni yang ditarik ke MI Sananul Ula. Berkat strategi tersebut, sedikit demi sedikit siswa yang masuk semakin bertambah banyak,” ungkap Ridwan.
Akan tetapi, lanjut Ridwan, dari lima alumni tersebut, hanya dirinyalah yang tersisa yang kemudian diangkat menjadi kepala sekolah tahun 2007. Empat temannya sudah meniti karier di tempat lain. Meski sekarang kepercayaan masyarakat sudah didapatkan, tantangan baru tetap ada. Jika dulu tantangannya adalah bagaimana meraih kepercayaan masyarakat, maka sekarang bagaimana MI Sananul Ula mengelola dan menjaga kepercayaan tersebut.
“Karena banyaknya murid yang daftar, sementara sarana yang dimiliki terbatas, maka mau tidak mau madrasah melakukan proses seleksi kepada setiap calon siswa yang mendaftar,” tukas Ridwan.
Sistem Pendidikan
Madrasah harus mempunyai karakter yang kuat agar memilliki nilai tawar di masyarakat. Sebab, karakter yang kuat akan menghadirkan kepercayaan masyarakat. Dalam konteks tersebut, MI Sananul Ula menawarkan karakter keagamaan yang dikemas dengan berbagai kegiatan.
“Mulai dari program tahfidz, mata pelajaran keagamaan, hadroh atau rebana, seni lukis kaligrafi, drumband, silat pagar nusa dan beberapa ekstrakurikuler lain yang barnafaskan Islami. Selain itu juga meng-istiqomah-kan beberapa amalan yang dapat menanamkan nilai-nilai Islam pada anak-anak, seperti sholat berjama’ah, do’a bersama, wajib membaca al-Qur’an sebelum proses belajar-mengajar dimulai selama 30 menit,” ujar Ridwan.
Sistem pendidikan MI Sananul Ula tidak berbeda jauh dengan madrasah-madrasah lainnya. Hanya saja dikemas lebih menarik dalam lingkup keagamaan yang kuat. Semi full-day, begitulah Ridwan membahasakan keseharian di madrasah ini. Hal itu dikarenakan proses belajar mengajar di MI Sananul Ula, khusus kelas 4–6 sampai pukul 15.00 WIB. Khusus hari Jum’at dan Sabtu, siswa pulang lebih awal. Namun jika ikut kegiatan ekstrakurikuler, pulangnya bisa lebih sore
Menurut penuturan Ridwan, bagi kelas 6 sudah ada tambahan les mata pelajaran Ujian Nasional mulai dari semester 1.
“Tidak dapat dipungkiri, masyarakat juga menganggap bahwa salah satu kesuksesan suatu sekolah adalah dari hasil UN, walaupun itu tidak sepenuhnya benar. Makanya, MI Sananul Ula memberikan les mata pelajaran kepada siswa kelas 6,” paparnya.
Sebuah Bukti.
Pak Ali Yasifa, salah satu wali murid MI Sananul Ula menuturkan bahwa anaknya senang bisa bersekolah di MI Sananul Ula. Sebagai wali murid, ia juga percaya akan kegiatan-kegiatan yang dijalani anaknya di MI Sananul Ula.
“Anak saya sekolah di sini mantap sekali, saya tawarkan sekolah lain, tidak mau. Pokoknya inginnya di MI ini. Menawi wangsul niku, nopo ingkang diajarkan di sini itu langsung dihafal (kalau pulang dari sekolah, apa yang diajarkan langsung dihafalkan). Seperti qiro’ah, asmaul husna, ataupun hal lain, menggambar, hitung-hitunganan itu langsung digarap,” ujar Ali.
Hal senada diucapkan dengan Pak Suteja, dari Munggur-Srimartani-Piyungan,
“Teng mriki niku, agama-nipun rodo ngajeng. Kulo tanamaken teng lare kulo niku, bener lan jujur. Karena kangge nopo kepinteran tanpa jujur. Kulo lebih cenderung teng mriki. (Di sini itu, agamanya lebih dikedepankan. Saya tanamkan sama anak saya, harus benar dan jujur. Karena buat apa pintar tanpa kejujuran,” tegas Suteja. (Badrun)
Demikian MI Sananul Ula Piyungan Tumbuh Bersama Kepercayaan Masyarakat. Semoga bermanfaat.