Menyebarkan ajaran agama Islam tidaklah mudah di negara yang banyak keberagaman seperti Indonesia ini, baik agama, ras, budaya maupun bahasa. Seperti yang dicontohkan Walisongo dalam menyebarkan tanpa menyinggung agama lain yang ada di negara ini. Dengan adanya wayang kulit, menara Kudus dan tembang-tembang (baca: lagu) yang diciptakan Walisongo zaman dulu menjadi bukti jejak penyebaran agama Islam di Indonesia. Tanpa menyisihkan ataupun saling menghujat, Walisongo dan para pejuang zaman dahulu sukses mentransfer ajaran agama Islam sampai dipelosok penjuru Nusantara. Jika kita telaah lebih lanjut dibalik kegigihan mereka, bisa kita ambil sikap yang luar biasa yakni sikap toleran dan humanisnya.
Toleran: Menghormati Bukan Berarti Mengikuti
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) toleran mempunyai arti bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Sikap toleran tidak mengajarkan harus meninggalkan dari apa yang kita percayai, namun dengan adanya sikap toleran diharapkan bisa memunculkan sikap saling menghormati, menghargai dan mengakui keberadaan manusia lainnya.
Terkadang ego kita sendiri yang menjadikan agama Islam terkesan keruh dan tidak nyaman lagi diikuti. Tanpa adanya sikap toleran tidak muncul perasaan aman dalam hidup, yang ada hanya saling mengancam tidak lagi saling melindungi. Padahal di al-Qur’an sudah tertulis dalam surat al-Hujurat ayat 13 yang artinya:
“Hai manusia, sesungguhnya kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan suku-suku agar kamu dapat saling belajar kearifan (lita’arafu). Sesungguhnya orang yang paling mulia diantaramu adalah yang paling sadar-Tuhan (Bertakwa).” (al-Hujurat:13)
Memang masing-masing dari kita mempunyai kepercayaan dan pemahaman sendiri-sendiri memaknai agama, akan tetapi dalam hubungan antar sesama manusia ada yang namanya ukhuwah wathaniyah (Persaudaraan bangsa) dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan umat manusia) yang menuntut kita agar hidup berdampingan tanpa adanya pemaksaan terhadap mereka agar ikut apa yang kita yakini.
Humanis: Manusiakan Manusia Seperti Kita Memanusiakan Diri Kita
Menjalani kehidupan didunia ini sudah seharusnya kita bersikap humanis terhadap sesama manusia. Seperti dikutip dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), humanis merupakan orang yang mendambakan dan memperjuangkan terwujudnya pergaulan hidup yang labih baik, berdasarkan asas perikemanusiaan; pengabdian kepentingan sesama umat manusia.
Sebenarnya antara sikap toleran dan humanis itu saling berkaitan dan saling melengkapi. Terkadang orang bingung membedakan dari dua kata itu, memang dari segi makna sudah terlihat perbedaannya tapi dalam aplikasiannya masih susah. Faktor utama karena kabanyakan orang faham ketika membaca arti dari masing-masing kata, namun ketika sudah mau mengamalkan lupa akan makna kata-kata tersebut.
Sudah jelas diskripsi dari pengertian humanis sendiri. Lebih mudah dan simpelnya kita bisa mengartikan dengan memanusiakan manusia, sudah itu saja, dari pada menggunakan kalimat yang ilmiah tapi susah untuk memahaminya. Sudah menjadi kewajiban kita agar menjaga ukhuwah wathaniyah (Persaudaraan bangsa) dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan umat manusia). Bukan saling membenci dan menjatuhkan.
Jika kedua sikap tersebut bisa terealisasikan dalam kehidupan kita sehari-hari, maka akan menjadikan Islam agama yang menyejukkan. Membawa kedamaian dan ketentraman seluruh manusia, tidak hanya bagi pemeluknya saja tetapi orang lain yang tidak menjadi pemeluknya akan merasa terlindungi. Islam sangat menganjurkan kita agar hidup berdampingan, saling menghormati dan saling mengasihi. Tidak menjadi orang Islam yang pemarah, suka mengancam dan membuat keonaran. Siapkan diri teman-teman semua garda terdepan untuk menjadikan Islam agama yang ramah bukan marah, mendidik bukan menghardik, membimbing bukan membanting dan lain sebagainya, sehingga menjadikan Islam agama yang Rahmatal lil ‘alamin (membawa Rahmat dan kesejahteraan bagi seluruh alam semesta).
*) Oleh : Achmad Zaky Faiz, Mahasiswa Magang UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta