Menolak Film The Santri, Pantaskah?

Hukum Masuk Gereja: Menjawab UAS dan Uu Ruzhanul Ulum
Hukum Masuk Gereja: Menjawab UAS dan Uu Ruzhanul Ulum

Tidak lama akan tayang di layar lebar, film The Santri besutan PBNU dan sutradara Livi Zheng ditolak oleh sebagian kecil kelompok Islam dengan alasan² subjektif-ideologis. Alasan penolakan sebagaimana tersebar di internet, ‘Wasiat ULB dan HA, yaitu tidak mendidik, terbilang liberal, adanya acting pacaran, campuraduk lawan jenis dan adegan membawa tumpeng ke Gereja.

Entah dari mana alasan-alasan itu disimpulkan, faktanya The Santri belum tayang full, hanya trailer tujuh menitan. Dengan alasan apapun, menyimpulkan hal yang belum dilihat secara utuh, terlebih tanpa tabayyun, adalah kebiasaan tidak baik yang layak dijauhi siapapun. Kebiasaan menjeneralisasikan hal yang partikular tidak boleh menjadi watak generasi anak bangsa.

Alquran mengajarkan tabayyun ketika dirasa ada hal yang mengganjal (QS. Al-Hujurat: 6). PBNU sebagai penggagas film tersebut menegaskan adanya The Santri sebagai upaya pendidikan moderasi beragama ala pesantren, toleran, dan ingin menunjukan wajah Islam di Indonesia. Gagasan yang kemudian menjadi layar lebar itu berkaitan munculnya umat beragama yang kaku, tidak mau bergaul dengan pemeluk agama lain, dan gemar menyalahkan ibadah orang di luar dirinya. Dari pernyataan Ketum PBNU di akhir trailer itu terlihat gamblang nilai esensial film tersebut, yakni pendidikan kerukunan, kemajemukan dan dialog antar umat beragama.

Pendidikan kerukunan demikian sudah sejak lama diajarkan Nabi Muhammad. Dr Hani Ahmad Fakih dalam karyanya, Khatwaat Fi Fiqh al-Ta’ayusy wa al-Tajdid, memaparkan bahwa sejak Nabi Muhammad di Madinah, ia tidak menjauhi umat beragama Yahudi dan Kristen. Ia justru menerima setiap pemberian mereka, mengadakan kontrak sosial, dan menjamin keamanan agama selain Islam. Tidak hanya itu, Mukhairiq, seorang Pendeta Yahudi kaya raya, gemar memberikan harta kepada Rasulullah dan sahabatnya untuk bekal perang. Di akhir hayatnya, pendeta kaya raya itu memberikan setengah hartanya untuk Rasul. Rasul pun tak sedikitpun menolaknya. Betapa Rasulullah adalah tauladan terbaik dalam menerima pemberian dari orang yang beda agama.

Sebaliknya, orang Islam memberikan pemberian kepada non Islam pun bernilai pahala. Muhyiddin Syarf An-Nawawi dalam kitabnya, Al-Majemu’ Syarhul Muhadzdzab menyatakan:

فَلَوْ تَصَدَّقَ عَلَى فَاسِقٍ أَوْ عَلَى كَافِرٍ مِنْ يَهُودِيٍّ أَوْ نَصْرَانِيٍّ أَوْ مَجُوسِيٍّ جَازَ وَكَانَ فِيهِ اَجْرٌ فِي الْجُمْلَةِ

 

Artinya, “Jika seseorang memberikan sedekah kepada orang fasik atau kafir seperti orang Yahudi, Nasrani, atau Majusi maka boleh, dan dalam hal ini ada pahalanya,”.

Lalu bagaimana asumsi adanya adegan pacaran dan kumpul lawan jenis dalam film The Santri? Jika dilihat pada penggalan tarjamahan kalimat dalam adegan dua tokoh, GA dan WM, tersuratkan kata “friendship”: persahabatan, pertemanan. Di sinilah jika kita meminjam istilah Clifford Geertz, antropologoi simbolik, patut dilihat simbol-simbol secara utuh untuk membaca apa makna sebenernya, terlebih dalam posisi film yang belum tayang full. Dalam Trailer itu digambarkan bagaimana satu santri dengan santri lain baik laki-laki dan perempuan bersaing meraih beasiswa ke luar negeri. Bagaimana misalnya kesedihan ketika salah satu pemeran itu lolos ke luar negeri dan yang lain kehilangan sahabat. Ada nilai persahabatan dalam pesantren yang cukup tinggi dalam adegan singkat itu.

Jika pun terpaksa dimaknai sebagai adegan campuraduk laki perempuan, toh banyak kejadian besar umat Islam, bahkan dalam skala nasional dan atas nama agama, antar laki-laki kumpul satu lapangan berdesakan, dan shalat campuraduk antar berbeda lawan jenis dalam satu tempat. Jika memang tujuannya karena menegakkan syariat, konsistensi tindakan adalah hal utama. Mengapa aktivitas nyata campuraduk laki-laki perempuan dalam shalat tidak dilarang, ditolak, atau diultimatumkan untuk tidak dilihat? Mengapa justru film yang ditolak?

Sudah ratusan film-film Indonesia yang jelas-jelas bernuansa mengajarkan pacaran, bahkan lebih dari itu. Tak bisa disangga oleh siapapun. Negara Demokrasi yang kita anut meniscayakan itu. Tidakkah film-film tersebut harusnya ditolak dan tidak boleh ditonton? Kemana saja bentuk penolakan sebagaimana menolak The Santri atas anggapan adanya adegan pacaran dan campur aduk laki-laki dan perempuan melalui kesimpulan video tujuh menit tersebut?

Kita bisa melihat fenomena pelarangan itu dengan kacamata pertikaian politik (Contentious Political Theory), dengan tokohnya Throw dan Willy. Bahwa menurutnya, adanya problem yang muncul atas suatu hal karena adanya kebutuhan dan kepentingan suatu kelompok yang bersifat politik, etnis atau keyakinan. Agaknya fakta itu dikonfirmasi dari sisi historisnya, dimana kelompok yang menolak film The Santri adalah kelompok yang sejak dari dulu menolak PBNU, menolak ‘amaliyyah NU, dan menolak Islam Nusantara sebagai gagasan Islam dalam NU.

Bagi Throw dan Willy, problem sebagaimana di atas tidak lain hanya karena kepentingan politik. Tidak ada dasar karena kepatuhan syariat. Islam sudah sejak 14 abad lalu mengajarkan arti pentingnya berinteraksi dan berdialog antar pemeluk agama-agama dan saling menerima pemberian dari pemeluk agama lain. Islam pun mengajarkan arti pentingnya persahabatan dan saling memotivasi baik sesama lawan jenis atau berlawanan (QS. Al-Hujurat: 13). Nilai-nilai penting dalam film The Santri adalah pendidikan toleransi, moderasi beragama, kerukunan beragama dan persahabatan antar semua manusia tanpa dibedakan oleh ras, suku, jenis kelamin bahkan agama.

Menolak The Santri, pantaskah???

Penulis: Lufaefi

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *