Saya kemarin kaget ketika ditanyai seseorang. Kata dia: “Bisakah anak saya dapat menghapal al-Qur’an dengan cepat dan lancar di pesantren?”
“Untuk apa?” Tanya saya.
“Untuk mengikuti lomba,” jawabnya.
Sekarang terjadi disorientasi nilai besar-besaran sebagaimana contoh di atas. Menghafal al-Qur’an yang dulunya bersifat taa’budiyyah dan untuk tafaqquh fiddin, sekarang menjadi ajang pemenuhan duniawi seperti hanya untuk mendapatkan imbalan lewat lomba atau untuk bisa mendapatkan beasiswa di suatu lembaga.
Dari sini, instansi untuk penghapal al-Qur’an menjamur di mana-mana dan mempromosikan kecepatan waktu untuk menghapalkannya. Di samping itu, kegiatan ceremonial bagi yang telah khotam dibuat megah dan berkelas. Sehingga tidak ada bedanya antara ajang pencarian putri sunsilk atau putri Indonesia dan majlis khotaman. Yang cewek dihiasi dengan baju yang mahal dikalungi samir berwarna mencolok mirip dengan pemenang ajang pencarian putri Indonesia.
Wajah dipoles dengan bedak yang mahal dan bahkan pergi ke salon untuk mendapatkan polesan wajah yang sempurna. Yang cowok dihias dengan baju bagus dan bersurban serta berpeci mahkota layaknya sang raja yang turun dari arasynya. Ini tiada lain hanya karena menyesuaikan panggung yang sudah disetting oleh para ahli.
Majlis khotaman yang seharusnya diwarnai dengan kesahajaan dan kekhusuan diiringi lantunkan ayat-ayat al-Qur’an dan doa menjelma menjadi panggung yang penuh dengan keglamoran yang kadang jauh dari nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an. Sorotan lampu warna warni mengiringi panggilan nama pengkhotam dan naik ke panggung dengan jalan yang meliak-liuk dan berpose di depan kamera bagaikan pragawati yang memamerkan balutan bajunya.
Contoh di atas adalah bagian kecil dari pergeseran nilai yang jumlahnya banyak sekali.
(Penulis: Hamid Luthfie)