Oleh : M. Rikza Chamami, Wakil Sekretaris PW GP Ansor Jateng dan Dosen UIN Walisongo
Kondisi bangsa Indonesia dalam usia ketujuh puluh tiga pasca kemerdekaan membuat kehidupan semakin kompleks. Nuansa heterogenitas masyarakat tidak bisa dihindari. Perbedaan-perbedaan juga tidak dapat dihilangkan karena memang fitrah. Yang dibutuhkan hari ini adalah bagaimana heterogenitas dan perbedaan yang ada dibingkai rapi dengan ruh Pancasila.
Sebab nampak sekali, hadirnya ideologi transnasional yang tidak senafas dengan Pancasila menjadi cikal bakal perselisihan. Doktrinasi antipancasila sudah mulai ditanamkan kepada warga negara. Apalagi gerakan itu dimotori oleh organisasi berhaluan agama-radikal. Ini merupakan salah satu tantangan yang harus segera dihadapi.
Demokrasi yang sedang dikembangkan Indonesia memang mengharuskan siap menghadapi heterogenitas. Namun yang perlu ditegaskan adalah mengenai eksistensi pilar kebangsaan yang tidak boleh digantikan. Bahwa Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan Undang-undang Dasar 1945 adalah dasar ideologi yang tidak bisa digantikan.
Selama frame demokrasi itu berkiblat pada empat pilar itu, maka siapapun warga negara tetap diberikan ruang kebebasan. Namun jika gerakan berkedok demokrasi namun mengusik empat pilar itu, negara harus tegas menertibkannya. Sebab jika gerakan transnasional dibiarkan menari-nari di bumi Nusantara, maka kehancuran yang terjadi.
Pendidikan Pancasila
Masih adanya sekolah yang mengharamkan hormat bendera merah putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya, cukup menjadi bukti. Bahwa ada sebagian warga bangsa yang belum total menerapkan aturan kebangsaan. Belum lagi beberapa hasil riset dari Alvara, Mata Air Institute dan Universitas Diponegoro yang menegaskan potensi radikalisme dan intoleransi masih berkembang di sekolah dan kampus.
Padahal selama ini, pendidikan pancasila dan pendidikan kewarganegaraan sudah menjadi mata pelajaran wajib. Kenapa masih ada problem antipancasila yang berkembang? Ini disebabkan karena “musuh Indonesia” masih hidup. Mereka tidak rela Indonesia maju sebagai negara yang bersatu di bawah ideologi Pancasila.
Lalu siapa “musuh Indonesia”? Musuh bangsa ini adalah ketidak jujuran. Bangsa yang tidak jujur dalam mencintai Indonesia ini selalu membuat onar. Hidup dan berkiprah di Indonesia tapi hatinya belum mengindonesia. Belum lagi, gerakan “antipancasila” ini disponsori oleh pihak luar yang sengaja membuat Indonesia gaduh.
Ini adalah musuh nyata bangsa ini yang harus segera diselesaikan oleh Pemerintah. Ada empat hal pokok yang perlu ditanamkan dalam rangka menanamkan ruh pendidikan Pancasila ini. Pertama, penataan ulang isi kurikulum pendidikan pancasila dan pendidikan kewarganegaraan sesuai jaman kekinian. Bahwa dua mata pelajaran itu bukan hanya mata pelajaran teoritis, tapi menjadi pelajaran ideologis.
Pancasila ditanamkan sebagai ideologi bangsa yang disinergikan dengan keyakinan agama. Selama ini, Pancasila berdiri sendiri tanpa disandarkan dengan agama. Maka ada sebagian kecil warga yang masih mengharamkan Pancasila. Itu akibat wawasan Pancasila yang sempit dan memisahkan ruh Pancasila dengan nilai agama. Padahal dua-duanya memiliki nilai yang sama.
Kedua, literasi Pancasila. Warga bangsa yang terindikasi antipancasila perlu didekati oleh Pemerintah dengan pembinaan khusus. Termasuk jika ada lembaga pendidikan yang terendus antipancasila perlu dilakukan supervisi khusus oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri.
Dengan pola semacam ini, mereka justru mendapatkan perhatian dan pembinaan. Pemerintah mencari solusi terbaik dalam meluruskan ideologi kebangsaan yang sudah membelok. Sebab Pancasila memberikan ruang yang lebar dalam melakukan musyawarah yang berisi pembinaan warga bangsa sadar berpancasila.
Ketiga, membiasakan pembacaan teks Pancasila dalam setiap acara yang digelar oleh masyarakat. Semakin sering teks Pancasila dibaca, maka isinya akan selalu diingat dan secara otomatis akan mudah diterapkan. Yang terpenting adalah masyarakat hafal dan memahami isi Pancasila sebagai tuntunan hidup bermasyarakat.
Menjadi ironi jika masih ada warga bangsa yang tidak hafal teks Pancasila. Dan itu diakibatkan teks Pancasila jarang dibaca secara bersama. Jika sudah tidak hafal teks Pancasila, maka potensi tidak menjalankan Pancasila sangat besar. Oleh sebab itu, ruh Pancasila perlu kembali digugah dengan melafalkan setiap acara-acara dari pusat hingga RT.
Dan keempat, menempatkan Pancasila sebagai ruh kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat. Bahwa ketika ada perbedaan cara pandang agama (misalnya) segera dimusyawarahkan. Agama tidak untuk diperdebatkan. Sebab agama adalah keyakinan masing-masing. Maka jika keyakinan agama dimusyarahkan sesuai dengan ruh Pancasila, maka kehidupan beragama menjadi semakin baik.
Selama ini, perbedaan yang ada hingga melahirkan konflik selalu hadir karena lemahnya ruh Pancasila. Egoisme dan sektarianisme menjadi yang pertama didahulukan dengan melupakan persatuan dan musyawarah. Belum lagi di era global dimana media sosial (medsos) juga menjadi sumber berita hoax yang memecah belah bangsa.
Melihat pentingnya mengembalikan ruh Pancasila ini, maka sekolah, kampus dan lingkungan masyarakat harus kembali melakukan penyadaran berpancasila dengan cara-cara yang efektif. Salah satunya adalah seminar, lokakarya dan literasi Pancasila secara rutin berkala.*)