Saya mencoba mensarikan pengalaman-pengalaman yang saya alami dan amati dari diri saya sendiri dan orang-orang sekitar di pesantren. Mengapa saya tidak menjadi muslim yang keras? Padahal sangat mungkin. Segala hal yang diyakini para teroris itu juga dipelajari di pesantren. Yang radikal, yang fundamentalis, itu dipelajari semua di pesantren. Dari dulu juga kita itu tidak sreg dan ada kecurigaan sama orang China, tidak nyaman sama Muhammadiyah, apalagi sama Ahmadiyah, juga sama non-muslim.
Tapi kenapa kita tidak sampai melakukan kekerasan verbal dan fisik terhadap sesama? Ya baru hari-hari ini saja kita kemudian perlu menambahkan penekanan tentang cinta NKRI, tentang jangan menjadi teroris, tentang hikmah perbedaan, dan sebagainya. Padahal dulu tidak pernah secara eksplisit kita sampaikan. Saling mengunggulkan kelompok sendiri dan mengabaikan kelebihan kelompok lain itu menjadi bumbu-bumbu pengajian-pengajian. Tapi ya tetap tidak ada yang jadi teroris, tidak ada yang beradu fisik gara-gara itu. Seakan hanya sekedar bumbu penguat soliditas kelompok saja, sehingga mu’amalah yang sehat tetap bisa dijalankan dan dirasakan oleh kita semua.
Sepertinya dulu perbedaan itu adalah berproses secara alamiah dalam masyarakat. Kelompok-kelompok dalam masyarakat tidak dapat dihindari dan itu menjadi bunga-bunga kehidupan yang justru mendewasakan. Sekarang ini perbedaan itu sudah diiringi dengan kepentingan politik yang lebih besar, bahkan negara, tidak hanya level RT, level kampung. Campur tangan pihak lain yang berkepentingan pun ditengarai ikut bermain. Ini yang perlu diwaspadai dengan penguatan internal kita, salah satunya penguatan model-model sosialisasi nilai dan proses pembelajaran yang selama ini sebenarnya sudah terbukti tangguh dalam mengatasi hidup dalam perbedaan. Salah satu yang menurut saya paling tangguh adalah proses pembelajaran di pesantren.
Saya mencoba merangkumkan hanya beberapa poin saja dalam proses pembelajaran santri yang menurut saya ikut meneguhkan proses beragama yang tidak tegang, tapi serius sekaligus santai. Proses itulah yang justru membuat sebuah pembelajaran merasuk menemani nilai-nilai sosial budaya yang ada di lingkungan sekitar.
Pertama, belajar agama itu bertahap dan kontinyu, dari muda hingga tua. Terus menerus tanpa henti. Resepnya adalah continuity. Sekolahkan anak kita di mulai madrasah ibtidaiyah, madrasah tsanawiyyah, madrasah aliyah, lalu akan lebih sempurna lagi lanjut ma’had aly. Bila anak kita belajar di sekolah umum, tetap sekolahkan di TPA, TPQ, lanjut madrasah diniyah (awaliyah, wustho, ulya) sembari sekolah di SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi. Lebih kaafah (menyeluruh-red) lagi bila semua dilakukan sembari mondok di pesantren. Keberlanjutan dan pentahapan itu penting, dibandingkan kita harus menemukan anak kita mendadak haus dan lapar belajar agama secara tiba-tiba di masa yang sudah tidak lagi muda. Biasanya, mereka ingin segera dapat banyak ilmu, akhirnya mengambil ilmu dari serampangan sumber atau rujukan yang tidak jelas. Lebih lagi, ghiroh (semangat) yang menggebu-gebu ingin segera dapat ilmu yang banyak sekaligus secara instan.
Pengajian-pengajian kadang terkesan materinya sedikit dalam setiap pertemuan. Kadang satu pertemuan pengajian itu ya cuma materinya dikit tapi lebih banyak cerita, tapi bukan berarti tidak ada makna dalam cerita-cerita guru atau kyai. Materi-materi dalam tahapan pembelajaran ala madrasah di pesantren itu sudah tersusun berdasar urutan keilmuan yang harus dikuasai oleh santri, baik terkait aqidah, akhlaq, muamalah, maupun ilmu alat. Dalam urutan materi keilmuan itupun memuat akhlaq ilmu dan harus dipatuhi pencari ilmu.
Nah, karena sedikit-sedikit dan perlu waktu lama, pengendapannya berlangsung selapis demi selapis. Pengendapan berlangsung tidak hanya di dalam kognisi, tapi juga spiritualitas, afeksi, dan psikomotor. Hasilnya tentu akan berbeda dengan yang langsung mendapat materi yang seabreg dalam waktu singkat.
Di sini pula yang nanti akan membedakan kualitas kemandirian berfikir santri dan esktrimis radikalis. Santri itu manut, taat, dengan kyainya, tidak membantah dengan dawuh kyainya tetapi tidak membungkam kemandirian dan kreatifitas berfikirnya yang tetap dapat tumbuh dan berkembang. Di sini pulalah yang akan menghasilkan kualitas taat yang beda dibandingkan dengan ala brain washing. Santri dituntut manut, taat kepada kyai, tapi karena ilmunya itu sedikit-sedikit, maka tidak mencegah santri membentuk cara berfikirnya sendiri.
Bandingkan dengan pemberian materi yang bertubi-tubi dan diberikan dengan cara yang menegangkan. Kalau di teorinya, ada unsur 3D : DEBIL, DREAD, DEPENDENCE dalam proses brain washing. Dalam waktu yang singkat, penerima brain washing dibuat seakan bodoh sebodohnya (debil) dengan cara beragama selama ini, yang intinya tidak benar. Dibuat haus dan lapar selapar-laparnya (dread) akan ilmu agama yang baru tadi. Dibuat dependan. Tidak mandiri, baik secara materiil maupun immateriil. Proses seperti ini tidak terjadi dalam hubungan santri dengan kyai atau guru di pesantren.
(Ibu Nyai Maya Fitria adalah Dosen UIN Sunan Kalijaga dan Pengasuh Pondok Pesantren Krapyak Yayasan Ali Maksum Yogyakarta)