Dengan penggunaan fasilitas dan anggaran negara ini, bahkan hampir 20 tahun, sehingga tidak aneh bila gerakan dakwah Ikhwan itu akan selalu menang di perguruan tinggi. Hasilnya adalah banyaknya pasukan 212, hampir 90 persen adalah kaderisasi kampus.
Karena sudah bertahun-tahun seperti itu sehingga banyak sekali tulisan para aktivis ikhwan yang menggambarkan kemenangan dakwah ikhwan di Indonesia.
Seperti buku Atian yang berjudul “Menuju Kemenangan Dakwah Kampus: Panduan bagi Aktivis Dakwah Kampus” (Era Intermedia,2010). Di web tarbawia, Muchlisin menulis kedekatan kampus dan dakwah ikhwan sebagai berikut:
“Menjelang Pemilu Legislatif 2009 lalu, sebuah televisi swasta menggelar acara Uji Kandidat. Malam itu, hadir Tifatul Sembiring sebagai peserta. Pada sesi awal setiap peserta diuji dengan kata berkait. Presenter membacakan kata/istilah, dan peserta harus menjawabnya dengan kata/istilah yang terkait erat. Salah satu kata yang dibacakan presenter acara itu adalah: “Dakwah”. Dengan cepat, hampir tanpa jeda waktu Tifatul langsung menjawab: “Kampus!”.
Itu hanya sebuah contoh betapa dakwah dan kampus adalah hal yang sangat erat dalam dunia Islam modern, termasuk di Indonesia. Sama seperti Tifatul, banyak diantara kita yang juga akan mengucapkan “kampus” untuk meneruskan kata “dakwah”.
Dakwah kampus memang memiliki kekhasannya sendiri dari dakwah-dakwah pada segmen lainnya. Ia identik dengan idealisme, semangat, dan jiwa muda. Dakwah kampus juga menjadi basis penyuplai kader. Dari dakwah kampus lahirlah kader-kader yang kemudian menjadi tulang punggung dakwah. Banyak qiyadah yang dihasilkan dari sana. Tidak salah jika kemudian dakwah kampus disebut sebagai primadona.
Kesuksesan mengelola dakwah kampus ini, dengan demikian, akan menjadi kontribusi sangat besar bagi kesuksesan dakwah secara makro. Kemenangan dakwah kampus ini, dengan demikian, adalah kemenangan awal bagi dakwah seluruhnya; di segala lini dan bidang kehidupan. Tentu saja, kemenangan dakwah kampus tidak hanya sekedar diukur dari keberhasilan mendudukkan kader dakwah sebagai presiden BEM. Tidak hanya diukur dengan maraknya masjid oleh kegiatan keislaman. Bukan hanya itu.” (https://www.tarbawia.com/2010/05/menuju-kemenangan-dakwah-kampus.html)
Jasa fasilitas negara juga terlihat pada lahirnya ratusan buku kaderisasi dakwah Ikhwanul Muslimin yang dihasilkan karena terinspirasi pengalaman membina LDK.
Bahkan ada penerbit di Jogja dan di Solo yang fokus menerbitkan tentang kaderisasi, partai juga mempunyai koordinator kaderisasi yang fokus pada LDK Kampus.
Dengan fokus pada kaderisasi kampus saja telah dihasilkan lebih dari 1000 anggota DPR DPRD seluruh Indonesia. Enak sekali bukan kaderisasi ikhwan yang difasilitasi uang negara?
Selama keadaan ini tidak dirubah, kampus negeri akan terus menjadi basis radikalisasi di Indonesia karena perguruan tinggi adalah tempat calon pemimpin bangsa dilahirkan. Sehingga wajar kita lihat paham radikal menyusup kemana-mana di institusi negara.
Bukankah LDK bukan HTI? Memang bukan. Akan tetapi LDK yang ikhwanul muslimin ada kesamaan dengan HTI dalam cita-citanya berkhilafah. Bila HTI pendekatannya adalah langsung, Ikhwan berusaha mewujudkan khilafah setelah terbentuk pemerintahan yang Islami. (Lihat gambar)
Ikhwan dimana-mana menimbulkan masalah dan benturan dengan negara dan masyarakat karena diantaranya 4 hal dalam ajarannya yaitu pembid’ahan amalan aswaja, sektarianisme berbasis agama yang mendorong clash of civilization, pembentukan pemerintahan Islami dan membentuk khilafah.
Sumber-sumber kegoncangan di dunia Islam adalah pergerakan aktivis ikhwan yang membidahkan amalan aswaja, memobilisasi isu-isu sektarian dan kebencian terhadap nonmuslim, juga terhadap pemerintah walaupun pemerintahnya juga muslim. Ikhwan selalu mengobarkan permusuhan pada pemerintah meski pemerintahan itu juga muslim, bila pemerintahan itu bukan oleh mereka.
Ikhwan memanipulasi bahasa agama untuk tujuan politik dan menggunakan teknologi sibernetik untuk menguasai otak dan hidup seseorang sehingga menjadi patuh dan mudah dikendalikan.
Oleh karena itu hubungan LDK dan Ikhwanul Muslimin harus diputus. Bagaimana memutusnya?
Solusi
Caranya memformat ulang LDK. Di Kampus perlu dibentuk LDK baru misal diberi nama LDK Nusantara dengan perekrutan anggota secara ketat.
Mahasiswa yang tergabung di LDK harus benar-benar kader yang mempunyai ilmu agama, dan kesetiaan terhadap Pancasila. Misal penggiat LDK diseleksi dengan kemampuan baca kitab kuning, tajwid, tahlil dhikir, qunut dan menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Selanjutnya Pimpinan kampus bersama tokoh agama setempat terus membimbing LDK agar aktivis LDK memperoleh wawasan keagamaan yang benar dari para ahlinya, serta kegiatan LDK berwawasan ahlus sunnah wal jamaah, pembicara yang dihadirkan haruslah yang benar-benar ulama, bukan aktivis politik.
LDK perlu dibimbing dan diarahkan agar kegiatan berisi kegiatan ahlus sunnah wal jamaah yang diikuti masyarakat Indonesia pada umumnya seperti maulud nabi dan sebagainya yang esensinya adanya mengajak cinta nabi dan cinta tanah air.
Apabila keadaan ini tidak segera dirubah pasti radikalisasi akan terus terjadi di kampus, dan kemudian menyebar ke seluruh bagian bangsa dan negara.
Mungkin ada pertanyaan, bukankah kegiatan kegiatan yang diselenggarakan bertujuan baik, yaitu kuliah umum keagamaan dan asistensi agama Islam bertujuan untuk mengajar baca al-Qur’an?
Itu hanya kedok belaka. Tujuan aslinya adalah untuk merekrut anggota baru. Ada panggung depan ada panggung belakang. Panggung depan tampak manis. Panggung belakang adalah indoktrinasi fikrah ikhwanul muslimin.
Oleh karena itu kalau sudah ber LDK biasanya tidak mau lagi sholawatan, tahlilan manaqiban yasinan atau mengaji dengan habaib atau kiai ahlus sunnah wal jamaah.
Tidak semua LDK berfaham wahabi ikhwan. Ada juga yang berwawasan ahlus sunnah wal jamaah. Tapi sebagian besar LDK berafiliasi ke ikhwan. Ciri cirinya LDK non ikhwan adalah mereka mau sholawatan, tahlilan dan kegiatan bermaulud nabi.
Kalau tidak ada tindakan yang substantif yang diambil, pasti akan ada radikalisasi dan kegaduhan kegaduhan mengenai berbagai persoalan kebangsaan dan keagamaan, bahkan tidak mustahil adalah benturan antara negara dan umat Islam Indonesia versus Ikhwanul Muslimin seperti di negara islam lain, karena kader ikhwan terus menerus diproduksi di kampus negeri.
Benturan itu adalah suatu kepastian bila tidak ada tindakan yang kongkrit akan radikalisasi di kampus. Gerakan 212 adalah benturan pertama secara nasional.
Perubahan dan pembinaan LDK ke faham ahlus sunnah wal jamaah yang benar ini hanya bisa terjadi bila dikoordinasikan oleh Menristekdikti. Karena tidak semua pimpinan kampus menganggap radikalisasi sebagai suatu ancaman bagi bangsa dan negara atau tidak mengetahui secara detil bagaimana deradikalisasi itu harus dilakukan.
Mahasiswa hanyalah korban
Sedangkan untuk kader ldk, hendaknya bisa memperluas ilmu agamanya dengan benar, jangan menganggap setiap kritik adalah keinginan untuk menghalangi dakwah.
Mahasiswa hanyalah korban saja. Renungkanlah lima hal ini. Pertama, Bukankah sangat banyak ulama sejak Rasululloh SAW sampai sekarang, yang alim dan sholih bahkan merupakan wali wali Alloh. Mengapa dari sekian banyak ulama yang dipakai hanya Hassan al Banna dan Sayyid Qutub, bukankah ini suatu kesalahan bila kemudian mengkritik dianggap bodoh atau menghalangi dakwah seperti yang diintroduksikan aktivis ikhwan.
Kedua, bukankah sangat banyak ulama Indonesia yang sangat mumpuni dalam ilmu agama, seperti KH. Hasyim Asy’ari yang hafal kutubus sittah, Quraish Syihab yang ahli tafsir, ulama-ulama yang alim lainnya dan hafid Qur’an serta jaman dahulu para wali sembilan dan wali wali penerusnya, mengapa yang dipakai hanyalah Hasan Al-Banna serta aktivis Ikhwan seperti Fathi Yakan yang banyak dipakai Ikhwan yang sejatinya bukanlah ulama, tapi hanya aktivis politik keagamaan? Mereka tidak paham ilmu agama, tidak paham situasi dan sejarah Indonesia, mengapa kita memperjuangan konsep kebangsaan yang mereka pikirkan? Bukankah itu suatu kesalahan.
Ketiga, bukankah suatu keanehan bila kita menjadi pengikut ldk ikhwan, kemudian kita membatasi diri kita dari mengaji kepada para ulama dan habaib yang benar-benar menguasai ilmu agama, dhahir dan batin, syariat dan akhlak, yang sanadnya sampai kepada Rasulullah SAW sementara kita memilih mengaji kepada aktivis politik?
Keempat, bukankah kita kehilangan besar dengan berhenti atau tidak mau bersholawat kepada Nabi Muhammad SAW, padahal keterkaitan hati dengan Nabi adalah sebuah anugerah besar untuk hidup kita, saluran agar kita terus mendapat hidayah dan itu adalah perintah Alloh dalam Al-Qur’an Surat Al-Ahzab 56?
Kelima, mengapa dimana-mana ikhwan menimbulkan benturan dan kegoncangan seperti yang terjadi di Lybia dan Syria? Mengapa di seluruh tempat dilarang? Bukankah kita harus menjaga bangsa Indonesia ini yang sudah menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk beribadah, menuntut ilmu dan mencari rizki? Bukankah ribuan masjid, ribuan pesantren, ribuan majlis taklim, ribuan majlis haul, ribuan majlis haul bisa aman di Indonesia tidak ditempat lain yang tidak ada seperti itu?
Apa gunanya perubahan dasar pemerintahan tapi semua keamanan dan kenyamanan itu tidak ada seperti di negeri negeri yang telah hancur karena aktivisme ikhwan, seperti Lybia negerinya Fathi Yakan yang pemikiran dan bukunya banyak dipakai ikhwan Indonesia?
Dr. Abdul ‘Alim (Peneliti pada Pusat Kajian Deradikalisasi Perguruan Tinggi)