Mengapa Kita Harus Berhati-hati dalam Memilih Guru Agama?

Tak Semua yang Manis itu Madu

K.H. Hasyim Asy’ari, dalam kitabnya yg berjudul Adabul ‘Alim wal Muta’allim, menasihati kita untuk berhati-hati dalam memilih guru agama. Mengapa?

Tidak semua yang disebut ulama memiliki niat yang tulus untuk membimbing umat. Tidak semua guru bersih dari cita-cita duniawi dan kepentingan pribadi. Tidak semua yang manis adalah madu.

Kenyataan menunjukkan, sebagian besar guru justru mengejar kesuksesan pribadi. Murid-murid sering dikorbankan demi cita-cita duniawi. Mereka berpikir, bagaimana nasib murid-muridku pada masa depan, itu bukan urusanku. Tugasku hanya mengajar untuk mendapatkan gaji.

Dari seribu guru, barangkali hanya satu atau dua guru yang hidupnya dituntun hikmah. Salah satu makna hikmah adalah, kearifan yang lahir dari pergulatan masa lalu, kemudian diamalkan demi kebaikan pada masa depan.

Beruntung sekali bila Anda sempat dididik oleh guru yang dituntun hikmah. Sebab, berkaca pada apa yang telah dialaminya sendiri, dia pasti memikirkan nasib Anda kelak. Dia tentu tidak memanjakan Anda. Ketegasannya adalah kasih sayangnya buat Anda. Marahnya adalah cinta tulusnya kepada Anda. Gemblengannya adalah doanya untuk Anda.

Dulu dia pernah jatuh terperosok. Dia tidak ingin Anda melakukan kesalahan yang telah dibuatnya.

Seperti itulah guru yang ikhlas. Seperti itulah ulama yang tidak memperjual-belikan ilmunya. Dia, meminjam adagium Ki Hajar Dewantara, berhamba kepada sang anak. Dalam naungan taufik dan pangestu Ilahi, dia membimbing umat agar tak salah langkah, agar hidup mulia dunia akhirat.

Semoga kita dipertemukan dengan guru-guru yang ikhlas.

(Lev Widodo, alumnus UIN Suna Kalijaga)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *