Seiring masifnya perkembangan teknologi dan watak peradaban yang berkemajuan, umat Islam hari ini dihadapkan pada tantangan global yang semakin serius. Umat Islam Indonesia, dewasa ini setidaknya menjadi salah satu tonggak penjaga nilai-nilai aswaja dalam kehidupan sehari-hari. Bangsa yang masyhur akan heterogenitas suku, bangsa, dan bahasa ini diharapkan mampu mengembangkan wawasan keislaman yang santun dan toleran untuk peradaban Indonesia dan dunia.
Lalu, bagaimana nilai-nilai Islam Nusantara bila dibawa bertandang untuk membaca realitas peradaban lain? Berikut wawancara redaksi Bangkit dengan Dr. Ahmad Rafiq, Ph.D, Wakil Sekretaris PWNU DIY yang pernah berkiprah mengembangkan Islam Nusantara di Pensylvania, Amerika Serikat.
Bagaimana gambaran umum Amerika dalam konteks relasinya dengan orang asing?
Amerika punya slogan “melting top”. Artinya, suatu tempat dimana semuanya masuk dan berkumpul menjadi satu. Amerika ini negara imigran. Jika kita baca melalui sudut pandang kolonialisme, praktik kolonial di Amerika itu, orang yang asalnya dari luar, mereka datang, lalu menetap disana.
Berbeda dengan di Indonesia. Konteks di Indonesia, para pelaku kolonialisme ini, hanya datang dan mencari keuntungan, setelah itu mereka kembali ke tempat asalnya. Jadi, dalam konteks ini, Amerika dapat disebut sebagai central colonialism, dimana pada saat yang sama juga ikut mempengaruhi model orang masuk ke negara mereka. Banyak dari berbagai negara yang berimigrasi kesana termasuk dari negara-negara muslim seperti dari Asia Selatan, Timur tengah, Pakistan, dan Indonesia sebagian.
Di Amerika, kita juga membangun relasi dengan sesama muslim dari berbagai wilayah yang ada di sana. Tak hanya itu, kita juga mengkontekstualisasikan praktik keberagamaan kita dengan ruang dan realitas, sebab di sana adalah negara imigran dengan berbagai macam latar belakang agama dan budaya. Maka, saya kira, sangat terasa sekali nilai-nilai Aswaja tentang keseimbangan, keadilan, dan yang lainnya. Ada satu catatan penting tentang I’tidal (keadilan) di Amerika. Bahwa, disana semua orang dijamin statusnya oleh perangkat hukum. Jadi, keadilan itu tidak saja tentang sikap mental, namun keadilan juga memerlukan budaya hukum dan penerpan hukumnya.
Lalu, bagaimana membumikan nilai-nilai aswaja di Amerika?
Nah, dari gambaran umum tentang Amerika tadi, kita bisa masuk tentang Aswaja itu sendiri. Jadi kalau yang kita pahami tentang nilai-nilai asawaja itu, salah satunya adalah tasamuh (toleran), maka toleransi yang paling sederhana adalah model cara orang mengekspresikan keislamannya.
Dalam pengamalannya paling sederhana, misalkan fiqih, fiqih di Indonesia yang paling dominan hanya satu, yaitu fiqih madzhab Imam Syafi’i. Sedangkan, biasanya, tiga yang lainnya hanya varian-varian pendapat.
Tapi, kalau di Amerika ada fakta yang menarik. Melihat Amerika adalah negara imigran, jadi sangat masuk akal jika dari berbagai belahan dunia berimigrasi kesana dan sudah barang tentu dengan membawa model keberagamaan masing-masing.
Di Amerika, melihat praktik orang shalat dengan berbagai model itu merupakan fenomena yang biasa dalam kehidupan sehari-hari. Ada yang ala Maliki, Hanbali, Hanafi, Syafi’i, dan ada juga yang model Syi’ah Zaidiah, Syiah Ja’fari. Itu baru perkara shalat, belum fenomena yang lain.
Jadi, kalau prinsip aswaja salah satunya adalah tasamuh, maka tantangan dan aplikasinya menjadi jelas terlihat. Dalam konteks tertentu di Indonesia, kita terkadang menjadi “kaget” dengan adanya perbedaan karena memang secara praktik jarang, bahkan belum pernah mengalami pengalaman secara esktrim. Tapi, di Amerika segala perbedaan terlihat jelas segala sesuatunya. Mulai dari cara orang bicara, berpakaian, cara orang mengekpresikan agamanya, dan masih banyak yang lainnya. Maka, belajar menerapkan dan mengamalkan nilai-nilai aswaja menjadi lebih terasa. (Anwar/Hilman)