Membangun Kemandirian Pesantren untuk Indonesia Hebat

Pengurus Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) Nahdlatul Ulama Jawa Tengah menggelar acara silaturrahin daerah (Silatda) yang dihadiri para pengurus cabang RMI dan pengasuh pondok pesantren se-Jawa Tengah. Ketua panitia Gus Fadlullah Turmudzi  menyampaikan bahwa acara tersebut merupakan forum silaturrahim untuk saling mengenal antara pengurus RMI se-Jawa Tengah. Acara yang berlangsung dua hari itu, yakni hari Jum’at-Sabtu (1-2/3/2019), memilih Pondok Pesantren al Mubarrok, Manggisan, Wonosobo, sebagai tuan rumah.

“Kami berharap kegiatan ini ada lanjutannya, yaitu silatul afkar,” ujar Gus Fadl dalam sambutan pembukaan acara Silatda.

Selain itu, Gus Fadl juga menjelaskan bahwa pada forum Silatda, RMI Jateng menambahkan satu bidang garapan, yakni bidang RMI Putri. Pada kepengurusan sebelumnya, bidang RMI putri belum ada.

Dengan demikian, ada tujuh bidang yang menjadi pembahasan dalam forum Silatda ini. Yaitu bidang pesantren salafiyah, bidang pesantren ‘ashriyah, bidang madrasah diniyah, bidang kerjasama, bidang seni budaya, olahraga dan kompetensi, bidang mdia, data dan informasi, serta bidang RMI Putri.

Sementara itu, Ketua RMI Jateng KH Nur Machin mengatakan bahwa forum ini merupakan amanat dari PWNU Jateng dalam rangka memperkuat peran pesantren dalam tafaqquh fiddin. Menurutnya, RMI bertugas membantu para Kiai Pesantren.

“RMI bukan membawahi para kiai pesantren, tapi kita sebagai pembantu para kiai pesantren,” katanya.

Kiai Nur Machin berharap agar kegiatan ini bisa ditindaklanjuti dan mempererat hubungan dengan para pengurus RMI di tingkat Cabang.

Senada dengan Kiai Nur Machin, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Mubarrok, KH Nur Hidayatullah menyampaikan harapan besar terhadap harakah (gerakan) NU untuk kemajuan pondok pesantren, baik dalam bidang tafaqquh fiddin, dakwah, maupun pemberdayaan masyarakat.

“Akhir-akhir ini kalau tidak pintar mengadapi kemajuan zaman akan tergeser oleh medsos. Oleh sebab itu peran RMI di sini sangat dibutuhkan,” tuturnya.

Kiai Nur Hidayatullah juga menyinggung masalah lain yang masih dihadapi pesantren yakni soal rekognisi atau pengakuan.

“Pesantren hanya disanjung, kalau sudah berbicara pengakuan, belum benar-benar terasa,” ungkapnya.

Jati Diri Pesantren

Rois Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah Kiai Ubaidillah Shodaqoh menyampaikan kritikan kepada pondok pesantren. Menurutnya, pesantren mulai kehilangan jati dirinya seiring berkembangnya zaman. Oleh karena itu, pesantren harus terus diperkuat.

“Pesantren meskipun lokal, punya sanad yang jelas dari sisi keilmuan. Namun, sekarang dengan berbagai kebutuhan, kayaknya pesantren mulai kehilangan jati dirinya,” kata Gus Ubed, sapaan Kiai Ubadillah Shodaqoh, dalam Serasehan Pondok Pesantren sebagai rangkaian Silatuurahmi Daerah (Silatda) Rabhitah Ma’ahid Islamiyah di Aula Pondok Pesantren Al-Mubarak Manggisan, Wonosobo, Sabtu (2/3/2019).

Jati diri pesantren menurut Gus Ubed adalah kemandirian. Ini tidak berarti bahwa pesantren berdiri berdiri sendiri dan tanpa bantuan. Kemandirian pesantren tidak bisa lepas dari sejarah.

“Mandiri bukan berarti berdiri sendiri bukan tanpa bantuan, tapi pesantren memiliki akal sejarah yang lama yang membentuk NKRI dengan proses pendidikan yang dimiliki oleh kiai, didanai sendiri, kurikulum ditentukan sendiri. Karena itu pesantren seperti kerajaan kecil,” jelas dalam diskusi bertajuk “Membangun Kemandirian Pesantren untuk Indonesia Hebat” tersebut.

Menurut Gus Ubed, memperkuat pesantren perlu dilakukan dengan tetap menjaga ciri khasnya sebagai lembaga yang mendidik santri tafaquuh fii al din. Memang, perubahan zaman menuntut perubahan sehingga pesantren butuh menyesuaikan. Tetapi jangan sampai menghilangkan ciri khas tersebut.

“Pembekalan agama tidak bisa ditinggalkan. Umpanya pesantren pertanian, bagaimanapun, anak didiknya tidak bisa ditinggalkan dari pendidikan keagamaan. Karakter pesantren ahlussunah wal jamaah, harus demikian,” paparanya.

Selebihnya, lanjut Gus Ubed, tidak masalah jika santri ingin dibekali pengetahuan apapun. “Boleh saja kita ingin mendalami filsafat misalnya, tapi pesantren harus menciptakan karakter itu, malakah ini yang tidak bisa dikesampingkan,” tandasnya.

Mengenai kemandirian pesantren, kata Gus Ubed, dulu pesantren memang membangun sendiri. Namun, karena sekarang zaman sudah berubah, maka pesantren tetap membutuhkan bantuan, baik sarana maupun yang lain. “Inilah pintu masuk pemerintah untuk membantu pesantren,” katanya.

Namun, Gus Ubed mengingatkan, jangan sampai bantuan dari pemerintah membuat pesantren berurusan dengan pidana. Karena hal ini akan merusak citra pesantren. Sebagai PWNU, pihaknya memberikan kesempatan yang seluas-luas untuk membangun kerjasama dengan pemerintah.

“Tapi kalau sudah berurusan dengan uang jangan sampai tledor. Kepercayaan harus dijaga betul. Satu rupiah, dua rupiah, kalau ini bobol nanti akan merusakan citra pesantren. Ini harus kita jaga betul-betul,” jelas Gus Ubed.

Sementara itu, Gubernur Jawa Tengah dalam sambutan tertulis yang dibacakan Asisten Pemerintahan dan Setda Jawa Tengah Sarwo Pramana mengatakan, jumlah pesantren di Indonesia sebanyak 25. 958  dengan jumlah santri sebanyak 3.992.700 orang. Dari jumlah tersebut 82 persen pesantren ada di Pulau Jawa.

“Data tahun 2016 Jawa Tengah berada di urutan ketiga secara nasional dengan jumlah pesantren 4.759 dan 614.569 orang. Jumlah ini tidak sedikit dan sampai saat ini tentu terus mengalami kenaikan,” katanya.

Menurut Gubernur, jumlah tersebut menunjukkan pendidikan pesantren lebih unggul. Di pesantren landasan moral begitu kuat, nilai agama bisa diserap dan hasilnya bisa dilihat sendiri,” imbuhnya (rls/rky)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *