Kenapa PBNU seperti uring-uringan gak dapat Menteri Agama?
Senyatanya, sejak reformasi belum ada menteri agama yang resmi menjadi wakil PBNU. Mari kita lihat datanya:
1. Malik Fajar (Muhammadiyah) di era Habibie.
2. Tolchah Hasan era Gus Dur. Meski menterinya Gus Dur, PBNU tidak dapat jatah menteri. Waktu itu, jika tidak salah ingatan, yang dari PBNU adalah Rozi Munir. Saya lupa beliau duduk di posisi apa.
3. Agil Munawar di era PBNU. Tentu beliau NU, pernah pengurus PBNU. Tapi saat jadi menteri bukan representasi dari PBNU.
4. Maftuh Basyuni di era SBY pertama. Beliau juga NU, keluarga pesantren. Tapi lagi-lagi bukan wakil dari PBNU. Bahkan Pak Maftuh ini tidak terlalu populer sebagai orang NU.
5. Surya Darma Ali era SBY kedua. Jelas ini orang NU, pernah jadi ketum PB PMII juga. Tapi lagi-lagi bukan wakil dari NU.
6. Agung Laksono (tentara, golkar) jadi Pjs saat SDA terciduk KPK. Ini masih era SBY.
7. Lukmah Hakim S di era SBY bulan-bulan akhir, menggantikan Agung L. Beliau wakil PPP.
8. Lukman Hakim di era Joko Widodo. Lagi-lagi bukan dari PBNU, meski orang NU (anak Menag era Soekarno)
9. Fachrul Rozi (tentara) Joko Widodo di periode terakhir. Jelas bukan orang NU.
Coba hitung, berapa lama PBNU menunggu pos yang memang sejarahnya dari NU?
20 tahun. Nanti dulu, 32 tahun Orba berkuasa, tidak ada orang NU, apalagi PBNU, yang menjadi menteri agama. Terakhir, orang PBNU jadi menteri agama pas era Bung Karno. Orba awal sempat ‘mencicipi’, yakni Moch Dahlan.
Di sisi lain, ini sialnya, masa reformasi ini saat ada Menag kena kasus korupsi, semua tudingan mengarah ke PBNU, padahal elit Kramat Rata 164 gak tahu menahu. PBNU yang menanggung beban itu.
Satu-satunya harapan PBNU punya wakil untuk menteri agama adalah periode terakhir Joko Widodo ini, lebih-lebih Wapresnya ada orang nomor satu di PBNU. Lah kok ‘ucul’?
Wajar kan kalau uring-uringan? Apalagi PBNU sudah menyiapkan kader utamanya sebagai Menag: musa, cerdas, bersih, dan menampilkan diri sebagai orang yang pintar di urusan tata kelola.
Lah saya gimana? Saya punya simpati pada PBNU, meski saya tidak setuju uring-uringan. Tapi memang, sebagai alumni UIN yang suka dengar senior bicara Arkoun, Nasr Hamid, Amin al-Khulli, perutku mules denger Menag ngomong di depan istana. Hah piye, wong tentara kok, moso arep ngomong ihwal sastra Arab atau peradaban Islam?
Penulis: Hamzah Sahal, founder Alif.Id.