Meluruskan Kerancuan Pemikiran Albani, Imam Kaum Wahabi.
Jama’ah wahabi salafi begitu taklid buta terhadap Albani, berbagai gelar disematkan dari gelar Syekh sampai sebutan Imam. Sebuah gelar yang bukan kaleng-kaleng, di mata Salafi Wahabi adalah seorang ulama hebat, canggih, dan sangat harus dimuliakan, karena dianggap sebagai Ahlul Hadits yang mampu memberikan tingkatan kepada suatu Hadits. Namun bagi kita, apakah itu penting?
Apakah misalnya ada hadits diriwayatkan dengan sanad-sanad dhaif sebelum Albani, lalu setelah itu Albani meriwayatkan hadits tersebut dengan sanad shahih, sehingga hadits tersebut menjadi shahih? Ataukah maksudnya hadits tersebut dhaif, lalu setelah itu Albani datang, lantas ia menghilangkan kedudukan dhaif hadits tersebut?
Misalkan, di dalam hadits tersebut ada perawi yang tidak diketahui, lalu Albani menjelaskan siapakah perawi tersebut, atau di dalam sanadnya ada rangkaian perawi yang terputus, lalu setelah itu Albani menyambungnya… Ataukah hadits tersebut memang sudah shahih sebelum Albani? Sehingga dengan demikian pernyataan kitab; “Dishahihkan Albani,” tidak ada artinya, karena bukan dia yang menshahihkan hadits tersebut, tapi para ahli hadits sebelumnya-lah yang menshahihkannya.
Dia sendiri mengakui bahwa sebenarnya dia tidak hafal sepuluh hadits dengan sanad muttashil (bersambung) sampai kepada Rasulullah meskipun begitu dia berani “Mentashih dan Mentadh’ifkan” hadits sesuai dengan kesimpulannya sendiri, namun banyak bertentangan dengan kaidah para ulama salaf ahli hadits.
Pada mulanya, Albani adalah seorang tukang jam. Ia memiliki kegemaran membaca buku, ia mendalami ilmu hadits secara otodidak (belajar sendiri), tanpa mempelajari hadits kepada para ulama, sebagaimana yang menjadi tradisi ulama salaf asli & ahli hadits. Oleh karena itu Albani tidak memiliki sanad hadits yang mu’tabar (bc-diakui).
Adalah Syaikh Hasan bin Ali al Saqqaf (seorang sayyid keturunan Husein ra) yang berjudul Tanaqudhat al Albani al Wadhihat merupakan kitab yang menarik dan mendalam dalam mengungkapkan kesalahan fatal Albani . Salah satu perkataan Albani dalam kata pengantar kitabnya Shahih al Kalim ath Thayyib li ibn Taimiyyah yang tercantum di halaman 16, cetakan ke 1 tahun 1390 H:
انصح لكل من وقف على هذا الكتاب و غيره, ان لا يبادر الى العمل بما فيه من الاحاديث الا بعد التأكد من ثبوتها, وقد سهلنا له السبيل الى ذلك بما علقناه عليها, فما كان ثابتا منها عمل به وعض عليه النواجذ, والا تركه
“Aku nasihatkan kepada setiap orang yang membaca buku ini atau buku yang lainnya, untuk tidak cepat-cepat mengamalkan hadits-hadits yang tercantum di dalam buku-buku tersebut, kecuali setelah benar-benar menelitinya. Aku telah memudahkan jalan tersebut dengan komentar-komentar yang aku berikan atas hadits tersebut, apabila hal tersebut (komentar dariku) ada, maka barulah ia mengamalkan hadits tersebut dan menggigit gerahamnya. Jika tidak ada (komentar dariku), maka tinggalkanlah hadits tersebut.”
Perhatikan, dari perkataan albani diatas beberapa kalimat terakhir meskipun susunannya kacau masih dapat ditangkap dan dapat dipahami bagaimana albani memposisikan dirinya sebagai ahli HADIST yang kemampuannya melebihi ulama hadits mu’tabar yang terdahulu.
Dia melarang umat muslim untuk mengamalkan hadits-hadits shahih dari para imam muhaddits asli Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Abu Dawud dll… terkecuali setelah ada komentar dari albani bahwa hadits itu dinyatakan sebagai hadits shahih oleh albani.
Jika belum ada “STEMPEL” shohih oleh Albani, maka hadits-hadits tersebut ditinggalkan??.
Yang menjadi permasalahan: Apakah kapasitas keilmuan Albani lebih jauh hebat daripada ulama-ulama muhaddits asli? Sedangkan para ulama ahli hadits yang mu’tabar tersebut masa kehidupannya jauh lebih dekat dengan masa Rasulullah saw.
Coba bandingkan dengan masa kehidupan Albani di abad 20 Masehi.
Sungguh hebat, seorang yang belajar dari perpustakaan dapat melakukan hal seperti itu??.
Dari statement singkat Albani di dalam kata pengantar bukunya tersebut, dapat disimpulkan juga bahwasanya menurut albani dan pengikutnya apabila sebuah hadits tidak ada “embel-embel” dishahihkan oleh Albani maka hadits tersebut diragukan keshahihannya meskipun hadits tersebut tercantum di dalam Kutibus As Sittah (6 kitab pokok hadist: 2 sahih Bukhari, Muslim dan 4 kitab sunnan).
Kembali kepada kata pengantar Albani di atas perhatikan kalimat :
فما كان ثابتا منها عمل به وعض عليه النواجذ, والا تركه …
“…apabila hal tersebut (komentar dariku) ada, maka barulah ia mengamalkan hadits tersebut dan menggigit gerahamnya.”
Kalimat diatas terkesan canggung. Seharusnya, apabila memang albani adalah orang yang mumpuni di bidang hadits, tentunya tidak akan menuliskannya dengan tata bahasa yang kacau (di mirip-miripkan dengan kalimat sebuah hadist).
Syaikh Hasan bin Ali As Saggaf di dalam kitabnya “Tanaqqudhat al Albani al Wadhihah” meluruskan kalimat tersebut :
الصحيح ان يقول: إعمل به وعض عليه بالنواجذ. وقد أخطأ فى التعبير لضعفه فى اللغة
“Kalimat yang benar seharusnya berbunyi: “I’mal bihi wa ‘adhdhu ‘alaihi bi an nawajidz”.
“Amalkanlah dan gigitlah dengan gerahammu kuat-kuat. Dan sungguh ia telah salah di dalam mengungkapkan kalimat itu dikarenakan lemahnya ia di dalam berbahasa arab.”
Para muhaddits salaf asli bersepakat bahwa sesungguhnya keahlian “Mentashih dan Mentadh’ifkan” suatu hadits itu, adalah tugas para hafidz (ulama yang hapal sekurang-kurangnya 100rb hadits).
Setidaknya ada tiga syarat bagi “Pentashih dan Pentadh’if” hadits menurut Imam Ibnu Hajar Asqallani:
1. Masyhur dalam menuntut ilmu hadits dan mengambil riwayat dari lisan para ulama, bukan semata-mata membaca kitab-kitab hadits saja.
2. Mengetahui dengan jelas Thabaqat generasi periwayat dan kedudukan mereka
3. Mengetahui Jarah dan ta`dil (cabang ilmu yang membahas tentang keadaan perawi dari segi celaan & pujian) dari setiap periwayat, dan mengenal mana hadit yang shahih atau yang Dhaif, sehingga apa yang dia ketahui lebih banyak dari pada yang tidak diketahuinya, juga menghapal banyak matan haditsnya.
Bukan sekedar itu ketidaksesuaian Albani dengan syarat-syarat yang telah dijadikan standar oleh para ulama salaf, bahkan Albani secara serampangan berani menyalahkan Imamul Muhadditsin, yaitu Imam Bukhari, hingga Albani berani meragukan keislaman dan keimanan Imam Bukhari.
Tatkala Imam Bukhari mentakwili ayat mutasyabihat yaitu Firman Allah كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَه yang artinya: “Segala sesuatu akan hancur kecuali wajah-Nya”. Berkata Imam Bukhari: ”Makna (lafadz wajah-Nya) adalah mulkuhu (kerajaan/kekuasaan Allah)”
Ternyata Albani menentang keras dan berkata هذا لا يقوله مسلم مؤمن yang artinya: “Ini sepatutnya tidak dituturkan oleh seorang muslim yang beriman “.
Tentu saja ucapan Albani ini mempunyai makna pengkafiran terhadap Imam Bukhari
Contoh lain dari kesesatan Albani, dalam buku nya “Sifat Shalatun Nabi”, ia mengatakan bahwa dalam Tasyahud shalat, hendaknya membaca السلام على النبي (keselamatan atas diri Nabi) sebagai ganti dari ucapan yang umum dilakukan oleh umat Islam السلام عليك أيها النبي, (semoga keselamatan atas dirimu, wahai Nabi).
Ternyata Albani tidak paham bahwa Sayyidina Abu Bakar, Umar bin Khaththab dan Abdullah bin Zubair telah mengajarkan ucapan Tasyahud kepada umat Islam di atas mimbar, setelah Nabi SAW wafat yaitu السلام عليك أيها النبي و رحمة الله و بركاته (semoga salam sejahtera, rahmat dan berkah Allah semoga tetap tercurahkan atas dirimu, wahai Nabi).
Saat itu, tidak ada seorang pun dari para shahabat yang mengingkari ajaran beliau bertiga itu.
Namun seakan-akan Albani lebih paham dibanding Sayyidina Abu Bakar, Umar bin Khaththab dan Abdullah bin Zubair terhadap ajaran agama, bahkan ia berani menyalahkan para shahabat tersebut.
Albani tidak dalam posisi sebagai “muhadist” sebab imam an Nawawi memberi persyratan, ilmu Hadis terdiri dari dua disiplin ilmu, yaitu Ilmu Dirayat dan Ilmu Riwayat.
Ilmu Dirayat lebih dikenal dengan ilmu Mushtalah Hadis yang membahas status hadis terkait sahih, hasan, dlaif atau maudlu’nya. Sementara ilmu Riwayat berkaitan dengan sanad hadis sampai kepada Rasulullah. Kedua disiplin ilmu ini tidak dapat “dipilih” salah satunya saja bagi ahli hadis, keduanya harus sama² mampu dikuasai.
Sebagaimana yang dikutip beberapa kitab Musthalah Hadis terkait pengakuan Imam Bukhari bahwa beliau hafal 300.000 hadis, yang 100.000 adalah sahih dan yang 200.000 adalah dlaif, maka Imam Bukhari juga hafal dengan kesemua sanadnya tersebut.
Ilmu hadis memiliki kesamaan dengan ilmu Qira’ah al Quran, yaitu tidak cukup dengan ilmu secara teori dari teks kitab dan tidak cukup secara otodidak, tetapi harus melalui metode ‘Talaqqi’ ( Transfer ilmu secara langsung dari guru kepada murid dalam majlis ilmu).
Ahli-ahli hadist jaman Kholaf (generasi pertengahan) Ibnu Hajar Hitsami, As Suyuthi, an Nawawi dll… saja yang jelas lebih faqih dari Albani dalam ilmu hadist saja tidak menjadikan nama mereka embel-embel dalam periwayatan hadist.
Dan berahirlah sepak terjang Nashiruddin Albani imigran yang lahir di skoder (albania) yang hidup 900 kemudian setelah era para imam Hadist yang asli, dia “Mati” di Yordania pada Oktober 1999 umur 85 tahun. (Tanaqudhat Albani al Wadhihat).
Demikian tentang Meluruskan Kerancuan Pemikiran Albani, Imam Kaum Wahabi, semoga manfaat.
والله اعلم
Penulis: Musa Muhammad.