Mbah Ali Sangat Menekankan Pendidikan Karakter (II)

Mbah Ali Sangat Menekankan Pendidikan Karakter (I)

Mbah Ali Sangat Menekankan Pendidikan Karakter (II)

Tapi di beberapa literatur yang kami temukan, Mbah Ali dikenal reformis, bagaimana menurut Pak Lutfi?

Soal reformisnya memang reformis, karena beliau sudah membikin lembaga pendidikan formal tadi. Tetapi riil, jangan kemudian dibayangkan lembaga pendidikan formal yang dibentuk Mbah Ali itu harus taat sepenuhnya dengan sebuah rutinitas formalistik. Jam masuk, pelajaran bergonta-ganti dengan kurikulum yang ketat, jangan dipahami begitu. Pada momen-momen tertentu, Mbah Ali itu sering meliburkan santri yang itu berbenturan dengan rutinitas formalistik madrasah. Utamanya kalau disuruh kerjabakti.

Jadi, sisi reformis Mbah Ali itu ya membikin formalitas pendidikan dengan mendirikan sebuah madrasah formal. Dan pada saat itu masih sedikit kiai-kiai yang menekankan lembaga pendidikan formal. Maka kemudian, untuk ujian negaranya harus menginduk kepada lembaga-lembaga yang memang sudah diakui sebagai lembaga yang sah menyelenggarakan ujian negara. Ujian nasional tidak di Kapyak. Salah satunya di MAN Sabdodadi, Bantul. Sebelumnya kalau tidak salah di PGA NU Bantul.

Mbah Ali Sangat Menekankan Pendidikan Karakter (II)

Disisi mana sikap reformis Mbah Ali yang nampak kentara?

Kalau sisi reformis Mbah Ali yang paling kentara, Mbah Ali itu lebih menekankan tauhid dan “mengesampingkan fikih”. Bagi Mbah Ali, apa yang biasa disebut dengan talfiq (berpindah madzhab_red), itu memungkinkan mudah terjadi. Suatu ketika misalnya, Mbah Ali lupa tidak membaca Fatihah pada saat Idul Fitri. Kemudian Mbah Zaenal menginginkan untuk diulang. Akhirnya diulang, karena nglegani (menghormati_red) Mbah Zaenal. Beliau ngendika (berkata_red) begini, “Aku sek nomer 2 janjane kur nggo nglegani Kang Zaenal. Nek mungguh Imam Hanafi jane ya wes sah, opo maneh iki shalat sunnah (saya yang nomer 2 sebenarnya untuk menghormati Kang Zaenal. Kalau menurut Imam Hanafi sebenarnya sudah sah, apalagi ini shalat sunnah_red)”.

Contoh berikutnya, “sing jenenge shalat jenazah ki nek umpamane ra nduwe wudhu ya wes ra popo. Pokoke shalat jenazah. Wong hakekate shalat jenazah ki ndongakke lan kui ki fardhu kifayah. Umpama nang kono kui wes ono sek nduwe wudhu dadi ya wes gugur (yang namanya shalat jenazah itu andai tidak punya wudlu ya sudah ndak papa. Pokoknya shalat jenazah. Karena hakikatnya shalat jenazah itu mendoakan dan itu pun fardhu kifayah. Seumpama disitu sudah ada yang punya wudlu berarti sudah gugur_red)”.

Kemudian lagi, ada orang ragu memakai celana mau shalat. Bingung mau shalat atau tidak. Ditanya oleh Mbah Kiai, “lha kowe mau bar nguyuhi celonomu (apakah kamu tadi kencing di celana_red)?” “mboten (tidak_red)” “ ya berarti suci, ngono kok dipikir”.

Berikutnya, yang namanya istinja’ itu tidak harus memakai air. Bahkan, ketika hujan tapi tidak berani ke kamar mandi, pun boleh. Pelajaran seperti itu di Riyadhus Sholihin diulang-ulang. Padahal ada air, tetapi karena takut dingin.

Hal-hal yang seperti itu, memberikan kesan bahwa Mbah Ali itu mengesampingkan aspek fikih. Tapi, kalau sudah pada i’tiqad (aqidah), Mbah Ali itu kenceng sekali. Termasuk wacana “tiada tuhan selain Tuhan”, assalamu’alaikum, dan seterusnya. Itu, Mbah Ali kenceng. Termasuk menghormati orang non-muslim yang memang terindikasi kuat dia tidak memberikan kemaslahatan kepada orang muslim, Mbah Ali bersikap tegas.

Contoh, Mbah Ali meninggalkan forum di Situbondo ketika Mbah Samsul Arifin rangkulan sama LB  Murdani. Ditinggal pergi sama Mbah Ali karena indikasi kuatnya itu LB Murdani adalah orang yang tidak memberi manfaat kepada orang Islam. Bahkan mendoakan dan menjawab salam dengan non-muslim tidak boleh sama Mbah Ali. Jadi, kalau dalam dimensi tauhid, Mbah Ali tidak pernah main-main. Karena itu, Mbah Ali menggunakan buku karangan Hasan al-Bana. Itu karena memang tauhidnya kenceng.

Nah, kalau ditarik sisi reformasinya pada aspek penyelenggaraan madrasah, jujur saya bukan kapasitasnya menilai. Tetapi, boleh jadi, saya memahaminya adalah beliau tidak berpijak pada formalitas. Itu yang pertama. Yang kedua, Mbah Ali tetap menjadikan lembaga pendidikan formal itu bagian dari markas kaderisasi laskar Ahlussunnah wal Jama’ah. Ini tertandai dengan tulisan di ijazah yaitu ayat falau anna min kulli firqotin…, dan seterusnya (Q.S. At Taubah : 122). Tidak ayat yang lain.

Ayat tersebut berisi perintah bahwa jika kamu telah fakih maka tugas kamu adalah menyelamatkan mereka yang pulang dari peperangan. Artinya apa, ia harus mau terjun ke masyarakat, mengajarkan dan mengamalkan ilmunya.

Termasuk salah satu aspek reformasi pada pendidikan Mbah Ali, yaitu adanya pesantren untuk mahasiswa, dimana saat itu belum ada. Di tempat Kiai Tolchah tidak membikin pesantren. Mereka pada santri kalong semua. Datang ke rumah Kiai Tolchah kemudian pulang, sesuai jadwal yang sudah ditentukan Kiai Tolchah.

Mbah Ali sepertinya agak longgar di fikih tapi sangat ketat dalam persoalan akhlak?

Dalam persoalan akhlak sangat ketat, begitu juga dalam persoalan akidah sangat ketat. Contoh, Mbah Ali tidak pernah memakai ubel (sorban di kepala_red) hanya untuk menjaga agar tidak terkultuskan. Maka disini kemudian ada budaya untuk memanggil “Pak Ali” bukan “Kiai Ali”. Itu sebenarnya adalah cara Mbah Ali untuk tidak terkultuskan. Bolak-balik juga beliau mengatakan luweh apik diarani wong elek, daripada diarani wong apik (lebih baik disangka orang jelek, dari pada disangka orang baik_red).

Mbah Ali tidak pernah mau disebut sebagai kiai. Dan beliau cair dengan seluruh santrinya. Dalam sesi foto misalnya, santri disuruh bergaya, Mbah Ali pun ikut nggaya. Begitulah sikap egaliter beliau.

Demikian Mbah Ali Sangat Menekankan Pendidikan Karakter (II). Semoga bermanfaat.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *